Fitra Yadi

Nama Saya Fitra Yadi Malin Parmato, biasa dipanggil Malin. Sekarang mengajar di Pondok Pesantren Ma'arif As-Saadiyah Batu Nan Limo Koto Tangah Simalanggang keca...

Selengkapnya
Navigasi Web
KISAH DIBALIK MUSIBAH JATUH DI BUKIK POSUAK MAEK BAGIAN IV
Relawan tim penyelamat sedang mengevakuasi

KISAH DIBALIK MUSIBAH JATUH DI BUKIK POSUAK MAEK BAGIAN IV

Setelah mengerjakan shalat magrib dengan berbaring, petugas Medis Erika Mardiana menyelimutiku dengan kain Sarung. Tenagaku kembali lagi, hawa hangat menjelar ke sekujur tubuh, Aku perhatikan wajah-wajah kelelahan relawan di sekelilingku, dalam hati aku berucap syukur dan mendoa'akan mereka semuanya semoga Allah memberi balasan yang setimpal atas semua usahanya.

"Meluncur ke TKP 86" terdengar bunyi Handphone milik Pondri Noza Dt. Sutan Nan Panjang berdering seperti suara radio HT polisi. "Hp saya ini nada deringnya sama seperti radio bapak-bapak polisi" katanya melucu sambil mengangkat telpon."Halo.. assalamu'alaikum".. "A.. iya iya.. baik, dilaksanakan" katanya menjawab seruan di balik telpon genggam Brandcode yang mirip seperti HT Polisi.Suasana mulai mencair, gaya Handphone Pondri Noza jadi topik pembicaraan, mulai dari bentuknya yang pakai antena, ketahanan batrainya bisa berfungsi sebagai power bank juga, tambah lagi nada deringnya seperti bunyi Radio HT Polisi. Pondri Noza Datuak Sutan Nan Panjang menceritakan sebuah kisah tentang Seorang galiah yang banyak akal lagi lucu "Saha Lombok" namanya. Ia sudah lama meninggal dunia warga Sopan Tanah Maek juga, nada bicaranya Lombok (lunak dan pelan). "Datuak Sati Gunuang Malintang, Bontuaknyo bontuak ka mati, tapi aka indak ilang (bentuknya seperti mau mati, tetapi akalnya tidak hilang", ledeknya menertawaiku.Alkisah "Saha mengampo Gambir bertiga di ladang mamaknya di Mudiak Ampaian. Ketika itu sedang ada acara pacuan kuda di Payakumbuh, ia ingin sekali menyaksikannya, namun mamaknya melarang.Lalu Saha membuat temberang, pura-pura pingsan, ia ditandu dengan kain sarung pulang ke kampungnya. Namun mamaknya masih ragu dengan Saha ini, ini asli atau temberang. Di tengah perjalanan Saha diletakkan diatas rerumputan yang ada semut Salimbadonya. Saha kesakitan, mulutnya berbuih dan badannya menggigil menahan rasa sakit digigit semut Salimbado. Melihat buih keluar dari mulutnya, mamaknya percaya, bahwa Saha memang dalam keadaan sakit berat.Sesampainya di kampung Saha disuapi makan dan diberi minum oleh istrinya si Siti kemudian ia disuruh istirahat tidur sendiri tinggal di rumah. Ketika orang-orang di rumah tidak ada, si Siti sedang di sawah, Saha bangun lalu makan sekenyang-kenyangnya. "waduh. Saha lupa, kan lagi pura-pura sakit" ingatnya. Supaya tidak ketahuan lalu ia memasukkan kucing ke dalam songkok nasi terus tidur lagi supaya istrinya mengira kucing yang makan.Keesokan harinya Saha dibawa berobat oleh istrinya ke Payakumbuh, namun Ia tidak ke rumah sakit, malahan mengajak istrinya ke lapangan Kubu Gadang menonton pertandingan Pacu Kuda. Ha ha ha haHa ha ha ha haha  ha ha kita semua tertawa terbahak-bahak mendengar ceritanya. "Lai ka indak ka bantuak Saha pulo ko Malin? Dek Panek turun bukik, baimbau bantuan (kamu tidak seperti Saha ini kan Malin? Karena penat turun dari bukit lalu kamu panggil bantuan), ndak kan?" ledek Dt. Sutan Nan Panjang."Ha ha ha aha ha ndak lah Da, aku memang asli sakit, pinggang dan punggung benar-benar tidak bisa digerakkan" sanggahku. Sejak itu aku dipanggil teman-teman relawan sebagai "Saha Lombok".Kedua Handphoneku aku titipkan kepada bidan Erika Mardiana. Sedangkan Dt. Sutan Nan Panjang dan Halim nampak sedang berkoordinasi dengan regu pencari lainnya via telpon. Dari percakapan mereka diketahui bahwa regu BPBD (Badan  Penanggulangan Bencana Daerah) sudah separoh jalan menuju Posuak. Sedangakan dari perkampungan sudah terdengar pula adzan Isya, kembali aku melaksanakan shalat sambil berbaring dengan gerakan isyarat saja.

Jam sudah menunjukkan pukul 20.00 Wib. Dt. Sutan Nan Panjang beserta yang lainnya mengambil inisiatif untuk segera mengevakuasiku. Halim dan yang lainnya menebang sebatang pohon kecil untuk digunakan untuk mengangkatku dengan dua lembar kain sarung.Ayo.. satu.. dua.. tiga... regu penyelamat serentak memanggulku dengan sebatang kayu. Awalnya Halim mengarahkan jalan ke Pematang Panjang, namun karena kebanyakan relawan belum kenal medannya dikenali kemudian balik lagi ke belakang mengambil jalan ke arah lubang Posuak Saja. Terbayang letihnya memanggul kayu kecil itu dengan berat beban lebih 74 Kg. Kadang mereka terseok-seok, kadang sempoyongan pula, entah mereka digigit serangga atau luka ditusuk duri entahlah, Allah lebih tahu, aku bermohon semoga diberi balasan yang berlipat ganda.

Aku ditandu pelan-pelan menyusuri jalan sempit dan curam, di kirinya ada tebing dan di kanannya ada lurah pula. Ketika mereka penat, tandu dikendorkan, aku diletakkan diatas tanah, enak punggung terasa, pinggang terasa nyaman tatkala tertekan batu tumpul atau kayu-kayu kecil. Ketika dipanggul, punggungku sering tergesek sampai ke tanah, kadang diurut batu dan kadang pula diremas akar kayu."Gimana Saha... sakit?" tanya Dt. Sutan Nan Panjang. "Tidak uda, rasanya seperti diurut" jawabku lugu. "Ah bercanda Saha, masak iya rasa diurut, lawak Saha ma, ha hah ah a"."Benar uda, memang benar enak". "Ah ndak percaya, bergurau saja Saha ini" jawabnya.Kadang kain sarung itu meluncur ke belakang, sehingga aku jatuh ke tanah, susah sekali mereka memanggulnya, kayunya kecil sehingga sakit pula bahu mereka jadinya. Untuk menahan supaya aku tidak jatuh, diantara mereka ada pula yang menarik celanaku dari kaki sampai ke pinggang.

Regu penyelamat itu terdiri dari berbagai unsur, diantara mereka ada pemuda, niniak-mamak, kepala jorong, anggota polisi dan petugas medis. Subhanallah, ya Allah berilah kemudahan terhadap hidup mereka dan berilah pahala yang berlipat ganda. Amin.Suasana Lurah Posuak semakin gelap, kondisi penerangan kurang memadai, lampu senter kepala hanya ada satu, Pondri Noza Dt. Sutan Nan Panjang saja yang memilikinya, sedang yang lainnya membantu penerangan memakai lampu senter dari Hp saja. Jangkrik dan makhluk malam lainnya sudah keluar dari persembunyian meneriakkan yel-yel masing-masing kelompoknya. Kalaulah tidak ada hajat seperti ini mungkin tidak akan ada orang yang berani datang ke sini, seram,curam dan berbahaya.Sesekali aku disapa oleh anggota polisi atau yang lainnya meneriakkan panggilan "Saha...". Aku menjawab "yop.. semangat pak". Kemudian sampailah regu penyelamat membawaku ke sebuah tempat yang agak tinggi, mereka kesulitan menaikkanku ke atasnya, kain sarung itu selalu terpeleset dari kayu penyangga. Pinggulku tersangkut di akar kayu, aku khawatir kedua dompetku terjatuh, Aku periksa, alhamdulillah masih ada. Supaya lebih aman dompet itu aku titipkan dulu kepada Dt. Sutan Nan Panjang.Mereka serentak bersama-sama menarik dan mendorongku hingga sampailah diatas kemudian meletakkanku di tanah. Subhanallah... jujur aku tidak ada merasakan sakit ataupun ngilu ketika itu, memang serasa diurut, he he he. Aku luruskan kaki menikmatinya. "Baa Saha" ledek Dt. Sutan Nan Panjang. "Saha kok sakik bana galak lai co itu juo baru da" jawabku bercanda. "yo baitu Saha, bagalak-galak kito basamo-samo supayo indak taraso paenek" sahut yang lain.

Hanya sekitar 200 meter regu penyelamat itu bisa menanduku dengan kain sarung, kemudian disambut oleh regu BPBD Lima Puluh Kota dan BASARNAS, medannya terlalu sulit. Aku diamankan dengan tandu khusus kemudian diberi tali-menali pengaman dan diselimuti kain sarung. "Yo lamak di ateh tandu iko yo Saha, angek kan?" ledek Pondri Noza Dt. Sutan Nan Panjang. "Indak ado lai da, yo sabana sero" jawabku ketawa.Jalan di tepi tebing itu begitu sempit, tidak ada jalan lain selain mengatrol untuk mengangkutku. Mula-mula regu penyelamat menurunkanku ke dalam lurah, kemudian dinaikkan lagi ke seberangnya. Banyak tanah masuk ke telinga dan leherku, muka sering disiram dedaunan kering dan kadang tergores ranting kecil. Untuk mengantisipasinya salah seorang petugas memakaikan BUFF (Multi Function Bandana) menutupi wajahku yaitu sejenis kain syal yang terbuat dari bahan microfiber polyester elastis, bisa digunakan sebagai masker (scarf), penutup mulut dan hidung, leher serta kepala.Proses itu berjalan lebih kurang setengah jam. Selain tubuhku berat, penghalang lainnya adalah kondisi medan, jurang yang dalam serta celah tebingnya begitu sempit untuk dilalui. Kemudian sampailah kita di Posuak yaitu Lubang besar di tengah-tengah bukit. "Kami sampaikan juo maksud Saha naik ka Bukik Posuak ko Saha a" kata Dt. Sutan Nan Panjang. "Ondeh.. iko nyo nan Posuok tu da? Tarimokasih banyak, sampai juo Saha kamari jadinyo" jawabku.Di teras Posuak itu aku diletakkan petugas ditempat yang aman dari angin kencang, gabungan regu penyelamat itu beristirahat dulu di situ, makan minum seadanya. Aku juga disuapi makan dan diberi minum. Dt. Sutan Nan Panjang selalu mencandaiku, "Apo lai Saha, apo nan kurang, kini Saha manjadi rajo, apo kebutuhan Saha kami nan manyadiokan" katanya terkekeh-kekeh. "Gata bahu Saha da, banyak tanah masuak ka dalam talingo, tolong digarut" pintaku. "Waang ingin mauji bana kasiah den ka waang yo Saha. Maa nyo nan gata tu bia den gawuik" jawabnya penuh perhatian. He he he heAda satu masalah lagi, setelah minum itu aku bertambah kebelet pipis. "Bang.. tolong bang.. aku kebelet pipis, tolong dimiringkan tandunya ya bang" pintaku kepada tim Sar. Lalu dua orang petugas memiringkan tandu dan aku bersiap-siap mau pipis. "Tolong matikan lampu senter ya bang, gak mau keluar pipisnya, malu" kataku jujur. "Ha aha hahaha kami matian malah" kata abang-abang tu". Ada beberapa menit tandu itu dimiringkan tetapi pipisku tidak tuntas keluar semuanya, namun rasa sakit yang menyesak di ari-ari sejak tadi sudah hilang, alhamdulillah.

Setelah istirahat di teras Posuak, proses evakuasi dilanjutkan. Tandu tidak bisa diangkat, karena jalan begitu sempit, di kanannya ada dinding batu dan di kirinya terdapat jurang pula. Tandu hanya bisa ditarik saja pelan-pelan oleh tim penyelamat. Jalan yang kita lewati ini adalah di belakang Bukit Posuak, jalan itu terletak di dinding bukit sebelah belakang kemudian terus ke arah depannya.Aku sampai tertidur beberapa jam lamanya, ketika tidur sempat juga aku dikerjai oleh tim penyelamat, suara ngorokku mereka perdengarkan ke Radio HT memberi laporan kepada Komandan bahwa korban aman-aman saja, he he he he he. Aku batuk-batuk bertanda bangun dari tidur, seseorang memanggilku "Saha.. yo lamak lalok ang yo, kami lah panek-panek bajalan, Saha lalok lamaknyo di elo" canda mereka. "Iyo bang, terimakasih, aa juo ka kajo Saha lai da, dek lamak ayunnyo, tantu talalok Saha jadinyo" jawabku ngantuk.Sekira jam tiga subuh, regu penyelamat istirahat lagi di tengah jalan, aku diletakkan di posisi yang aman, lalu mereka makan dan minum, aku disuapi kacang padi oleh seorang petugas. Ketika itu regu penyelamat hanya tinggal beberapa orang laki-laki dewasa saja, yang lainnya sudah turun duluan. Dt. Sutan Nan Panjang masih terlihat di sana, walaupun sudah penat, namun suaranya masih terdengar menggelegar membuat ketawa semuanya, ha ha ha ha ha."Alah Saha, bajalan awak lai?" kata Dt. Sutan Nan Panjang, "tunggu dulu Da, saya kebelet pipis" kataku. Tanpa diminta dua orang petugas segera memiringkan tandu ke kiri dan mematikan lampu senter. He he heh he he mereka sudah paham kalau aku pemalu. Perjalanan dilanjutkan, Dt. Sutan Nan Panjang berkata "Saha... tibo di bawah beko jan bajalan pulo wa ang ndak... kami sipak-sipak ang beko, alah panek kami manjapuik ka bukik Posuak mah, indak lalok bagai do ha". "Ha ha ha ha ha ha, iko asli sakik mah da, indak ka talok bagai bajalan dek Saha do" jawabku ketawa.Tandu terus ditarik, kadang diangkat kadang dijinjing, tapi lebih banyak ditarik di tanah. "Yo barek ang mah Saha, bamutilasi mambaok ang ka bawah namuah nyo lai ko, beko sampai dibawah dipasangkan baliak" canda Dt. Sutan Nan Panjang. Ha ha ha ha ha hah ha semua orang ketawa. Memang terasa hangat suasana malam itu dengan guraun-gurauannya, candaan itu bagai tambahan vitamin bagiku. "Jikok pai manonton pacu kudo ang beko Saha jan tahu urang ndak" tambah nya lagi. H aha aha ha ha aku ketawa.

"Ko ado carito tentang Saha ciek lai ha" celoteh Dt. Sutan Nan Panjang sambil menarik tandu, anggota yang lainnya diam menyimak ceritanya. "Suatu hari si Saha mau berangkat ke Kapur IX mengampo Gambir, namun ia tidak punya ongkos. Lalu ia berjalan ke rumah-rumah keluarganya mengatakan kalau ia besok mau pergi ke Manggilang apakah etek-etek ada yang akan berkirim Saka? tanya Saha.Daripada jauh berangkat sendiri ke pasar Manggilang, lebih baik berkirim sajalah kepada Saha ini fikir etek-eteknya. Lalu mereka menitipkan uang minta dibelikan Saka (gula merah) kepada Saha, ada yang berkirim 1 Kg, ada yang 2 Kg dan sebagainya. Saha ketawa, duit banyak di tangannya, ongkosnya ke Kapur IX sudah aman.Sepulang dari sana lalu ia belikan kiriman etek-eteknya tadi. Sesampai di kampung mereka bertanya "mengapa kamu terlambat pulang Saha?" "Ayia Gadang tek awak indak bisa manyubarang". Ha aha ha aha hahaa semua orang tertawa mendengar ceritanya. Walaupun kaki sudah sakit namun semangat tetap hangat. Ha ha ha ha haWajahku tertutup scraft melindungi muka dari ranting dan dedaunan. Di perjalanan itu kadang-kadang aku tertidur dan kadang-kadang bangun. Satu setengah jam kemudian anggota regu penyelamat kelelahan, tidak terdengar lagi kehebohan. Semuanya beristirahat di suatu tempat yang agak lapang, masyarakat menyebutnya sebagai Parontian Galak.

Tandu terasa berhenti, lalu aku membuka scraft penutup muka, beberapa orang dari tim penyelamat masih kelihatan memegang tali duduk mencangkung terangah-engah menundukkan kepala menahan kantuk serta lelah, mereka mengitariku. Nampak wajah pak Zal, Pak Saip, Pak Len, Pak Don berdiri memperhatikan kondisiku. Aku senyum menyapa mereka dengan gembira, tepi mereka nampak murung saja bertanda khawatir, wajahnya kusut menahan kantuk begitu lelah ditusuk dinginnya udara subuh.

"Bang.. bagaimana kalau kita istirahat dulu di sini, sekarang masih pukul 04.00 Wib. Setelah subuh kita lanjutkan lagi ke bawah" kata seorang petugas kepada atasannya. Setelah berkoordinasi dengan posko utama di bawah, lalu mereka memutuskan untuk istirahat dulu di lokasi itu semuanya.Untuk kenyamanan tidur, aku meminta kesediaan seorang petugas membuka tali pengaman di kedua kakiku biar bisa menekuk lutur tidur dengan rileks. Awalnya petugas itu agak enggan, namun kemudian ia mau juga membuka talinya setelah aku memohon-mohon. Kita semuanya istirahat, tidur di sembarang tempat, namun diantaranya masih ada yang bangun berjaga-jaga. Mataku terasa begitu berat kemudian tertidur dengan pulasnya.

Bersambung ke:

KISAH DIBALIK MUSIBAH JATUH DI BUKIK POSUAK MAEK BAGIAN V#37Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdIDi SarilamakSelasa, 10 Februari 2020 M - 15 Rajab 1441 H

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Pengalaman pribadi yang mengkhawatirkan kami semua

10 Mar
Balas

Iya buk.. terimakasih juga atas doa-doanya

12 Mar

Mantap pak tulisannya

10 Mar
Balas

Terimakasih supportnya buk trisna

12 Mar



search

New Post