SECERCAH EMBUN DI PADANG SAHARA, KISAH BAINTAIAN SEMASA SEKOLAH BAGIAN IV
Sekira hari Kamis tanggal 13 Januari tahun 2000 bertepatan dengan 6 Syawwal 1420 H hari terakhir puasa enam. Aku pulang dari Sitiung Tiga Sungai Rumbai Dharmasraya. Putar balik saja dari Canduang bersilaturrahim selama tiga hari ke rumah sanak-famili dalam suasana hari Raya. Disamping itu, aku juga membawa list sumbangan,infaq dan Sadaqah untuk pembangunan Pondok Pesantren MTI Canduang.Aku duduk di sebelah sopir, bus melaju dengan santainya dari terminal Bareh Solok menuju kota Batusangkar. Aku menikmati sekali perjalanan ini, memandang keluar jendela nampaklah sawah berjenjang-jenjang, bukit berjejer-jejer kemudian sampailah di hamparan danau Singkarak. Siang itu danau Singkarak amat menawan, ombaknya tenang, airnya jernih pula, nampak kebiruan dari jalan raya.Rencananya hari ini aku mau ke kampung halaman dulu Sumanik, menemui kedua orang tua, nginap agak semalam kemudian besok paginya berangkat lagi ke Canduang.Di perjalanan dekat Rambatan iseng aku bertanya kepada sopir "Pak.. kenal pak Burhan pak.. beliau Agen Bus di terminal Dobok Batusangkar", "Iya, kenal". "Rumahnya di mana pak?" "Rumahnya kalau dari sini dekat simpang menjelang terminal". "Tolong tunjukkan aku rumahnya ya pak", "Iya, nanti saya tunjukkan" kata pak Sopir.
Sopir memperlambat laju bus, lalu menghidupkan lampu sen kiri, "dik! itu rumahnya" katanya seraya menginjak rem, Bus berhenti. Anggapanku ada penumpang lain yang turun disitu, aku melihat ke rumah itu, "oh ini ya rumah Sahara" batinku. "Iya dik, itu rumahnya" kata sopir itu tegas mengisyarakatkan aku turun di situ.Ops. aku serba salah, tadinya hanya iseng aja pengen tahu, rupanya sopir mengira aku mau berhenti di sana. Segan dengan sopir, lalu aku turun juga di depan warung di simpang itu.Bus melanjurkan perjalanan, aku kebingungan berdiri di sana. Seorang ibu melihat kepadaku dari dalam warung, lalu aku menyapanya. "ibu..." terus melangkah masuk ke sana. "Dari mana nak?" tanya si ibu. "Aku dari Solok bu, ibu aku pesan teh hangat ya... baru pulang dari perjalanan jauh" pintaku. Lalu si Ibu membuatkan teh hangat kemudian menyuguhkannya kepadaku. "Ibu.. rumah pak Burhan di mana bu.." tanyaku memastikannya. "Rumahnya tu... di sana, di seberang jalan sebelah kanannya" jawab si Ibu. "oh.. yang atap putih itu bu?". "Iya benar" jawabnya menyuguhkan pisang dan kue lebaran kepadaku. Hatiku bertanya-tanya, mengapa ibu ini memperlakukanku sebagai tamu? Padahal aku hanya membeli minuman saja di warungnya.
"Ada pak Burhan sekarang di rumah bu?" tanya ku lagi. "Tidak, sekarang beliau tidak di rumah, masih di terminal, mungkin sebentar lagi pulang, sudah hampir Zuhur" jawabnya mengambil posisi duduk di hadapanku."Dari Solok ya, Soloknya di mana?" tanyanya lagi. "Sebenarnya awak dari Kiliran Jaho bu, terus ke Solok, sebelumnya dari Koto Baru, Sebelumnya lagi dari Sungai Rumbai dari Sitiung berlebaran ke rumah keluarga." he he he heSeorang anak gadis keluar dari kamar belakang pengen tahu ibunya mengobrol dengan siapa. "eh jauhnya... jadi sebenarnya aslinya dari mana?" telisiknya lebih dalam "Aku kemaren dari Canduang bu, kak.. terus ke Sitiung, dan sekarang tujuannya mau ke Sumanik dulu, besoknya baru ke Canduang lagi" jelasku."Jadi kampungnya di Canduang ya, adik saya ada sekolah di situ" jelas si kakak. "Bukan kak, awak orang Sumanik sekolah di MTI Canduang. "Oh... begitu... saya dulu juga sekolah di Canduang sampai tujuh tahun" katanya antusias. "di Canduang juga dulu ya kak...", "Iya, kelas berapa sekarang dik?" katanya. "Aku baru kelas Enam kak", "wah sekelas dong sama Sahara" jelasnya lagi.Ops.. jantungku berdegup mendengar nama Sahara, "Iya buk, kak.. Sahara rumahnya di mana buk?" tanya ku oon. "Sahara itu anak ibu, adiknya kakak ini, rumahnya di sini, sekarang ia dengan adik-adiknya sedang ke rumah bakonya, sore mungkin baru balik" jelasnya lagi.Tiba-tiba ingus beningku keluar karena kikuk mengobrol dengan calon mertuaku, h a ha hah ah a. Ketawa bloonku mengiringi setiap menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Mereka semakin senang nampaknya mengintrogasiku.
Rupanya itu adalah Warungnya Sahara, dan rumahnya di seberang jalan itu, Sahara sekarang lagi keluar pergi ke rumah Bakonyo, "aku malu tidak ingin bertemu Sahara sekarang di rumahnya, lain kali saja" batinku.Azan Zuhur berkumandang, kami shalat di warung itu, kemudian mereka menyuguhkan nasi untuk makan siang, tambah segan aku jadinya.
Tidak lama kemudian pak Burhan datang, "eh.. Fit" sapanya. Pak Burhan masih ingat dengan aku. "Iya pak, sampai juga aku di sini pak", "sudah lama?", "Belum pak, baru setengah jam", "sudah shalat Zuhur?" katanya. "Sudah pak, barusan di sini" jawabku.Sambil makan ibu dan si kakak bercerita kepada pak Burhan bahwa tadi aku berhenti disini, pesan minum, lalu beliau menyuruh masuk, menyuguhkan kue lebaran terus cerita-cerita. Rupanya sekelas dengan Sahara. "iya benar, sebelum Ramadhan saya ada bertemu dan bercerita-cerita pula dengan Fitra di Canduang, saya ajak ia main ke sini, ni dia sudah datang" tambah pak Burhan.
Aku tidak berdiam lama di situ, malu kawan... Aku segera pamit pulang ke Sumanik. "Kok cepat amat.. tidak menunggu Sahara pulang dulu.." ledeknya. "Gak kak.. gak usah, menunggu itu sesuatu yang membosankan" jawabku oon. Aku menyetop angkutan umum lalu terbang mengirai-ngiraikan bulu seumpama Kinari baru siap mandi.
Wajahku cerah bak dapat emas bungkah, membaca salam masuk ke rumah, "emak dan bapak terperangahlah sudah, baru seminggu dari sini kok datang lagi?" Mungkin orang tuaku heran, kemaren berbulan-bulan tidak pulang, sekarang baru jarak seminggu sudah sampai lagi di rumah. Aku ceritakan kepada bapak kisah perjalanku, bapak asyik mendengarkanku, sesekali beliau menyela bertanya tentang kabar beberapa orang keluarga di Dharmasraya. Tidak cukup di situ, aku ikuti bapak menyabit rumput terus ke kandang Sapi, sampai pulang lagi, tidak habis-habis cerita, namun cerita tentang Sahara aku sensor, malu lah.... he hehhe Sekarang rasanya aku begitu akrab dengan bapakku, tidak ada lagi sekat-sekat pembatas, aku bebas mengekspresikan diri, beliau seolah memperlakukanku sebagai seorang dewasa, sebagai kawan berdiskusi baginya. Emakku nampak senang, beliau bahagia melihatku akur dengan bapak.Aku masih ingat sebelum Ramadhan dulu, ketika itu beliau menangis dikala aku minta maaf kepada bapak, aku cium tangan bapak, beliau membelai punggung dan kepalaku, emak menangis tersedu-sedu begitu terharu. Hatiku sangat bahagia Sahara, sejuk sekali, aura kasihmu membekas di jiwaku. Jika cinta itu nur, maka ia menular menerangi sekelilingnya. Tidak ada lagi derita menerpa, kalau dulu setiap saat petir menggelegar, gemuruh halilintar menyambar. Sekarang secercah embun membasahi Padang Sahara, sepotong hati berdiam di sana, sejuk menyegarkan.
#17Ditulis oleh: Fitra Yadi, S.PdIdi SarilamakRabu, 19 Februari 2020 H - 25 Jumadil Akhir 1441 H
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar