Fitri Anora

Fitri Anora, S.Pd SDN 14 Muara Panas kec Bukit Sundi Kab Solok Menulis itu mengukir sejarah...

Selengkapnya
Navigasi Web
Perempuan Tua dan Seikat Daun Kunyit

Perempuan Tua dan Seikat Daun Kunyit

Perempuan tua dan Seikat Daun Kunyit

Suatu siang di sebuah pasar. Meski pedagang ramai, namun pengunjung terlihat lengang. Dari ujung kios ikan, terpandang jelas kios sayur. Dari los penjual daging, tak terhalang pandang ke los bawang. Begitulah lengangnya pasar saat itu.

Suasana begitu mungkin karena hujan lebat yang tadi turun. Atap-atap terpal di pasar, terlihat basah mengandung air. Jalanan pasar jadi becek. Maklumlah pasar tradisional. Di beberapa tempat terlihat genangan air. Emak-emak yang berbelanja harus berjalan ekstra hati-hati, kalau tak mau kakinya kotor karena terinjak becek.

Munah harus agak menyingsingkan roknya agar tak basah oleh genangan air. Keranjang belanjanya belum penuh. Baru terisi sebagian. Ia harus belanja beberapa keperluan lagi.

Dari ujung kios cabe, terlihat seorang perempuan tua berjalan. Usianya mungkin sudah dekat 70 tahun. Ia membawa seikat daun kunyit yang tidak terlalu banyak. Munah memperhatikan perempuan itu mendekati seorang penjual sayur.

" Maukah membeli daun kunyit saya ini?" Tanyanya pada penjual sayur.

"Oh...tidak. Saya punya banyak. Tuh lihat," jawab penjual sayur sambil menunjuk daun kunyit di hadapannya.

Perempuan tua itu melangkah meninggalkan penjual sayur. Kali ini ia menuju penjual rempah.

"Beli daun kunyit saya ya," katanya kembali menawarkan daun kunyit yang dibawanya.

"Ah, tidak. Saya tadi sudah beli," jawab penjual rempah.

Perempuan tua tersebut terlihat kecewa. Ia berjalan meninggalkan penjual rempah. Rupanya ia mau menjual daun kunyit yang dibawanya kepada pedagang di pasar itu. Tetapi, walau sudah menawarkan ke sana ke mari, daun kunyit itu tidak laku juga. Tak ada yang bersedia membeli.

Munah memandangi perempuan yang berjalan menjauh itu dengan iba. Entah ke mana akan ditawarkannya daun kunyit itu lagi. Apakah akan laku atau tidak. Kalaupun laku, bisa dapat uang berapakah? Mungkin sepuluh ribu? Atau dua puluh ribu? Lebih dari itu rasanya tak mungkin.

Akhirnya Munah selesai berbelanja. Ia pun pulang ke rumah. Sampai di rumah, Munah masih teringat perempuan tua itu. Apakah daun kunyitnya laku? Adakah orang yang bersedia membelinya? Mungkin saja uang hasil menjual daun kunyit tadi akan dibelikan lauk pauk untuk hari itu.

Tiba-tiba Munah ingat sesuatu. Mengapa tadi tak dibelinya saja daun kunyit perempuan itu? Ia bisa saja mengatakan bahwa ia butuh daun kunyit untuk keperluan memasak acara syukuran di rumah misalnya. Perempuan itu pasti gembira bila daun kunyit yang dibawanya itu laku terjual. Munah bisa membelinya. Toh harganya tidak mahal. Takkan lebih dari dua puluh ribu. Munah bisa niatkan itu sebagai sedekah padanya. Ah, mengapa baru teringat sekarang? Pikir Munah. Kesadaran itu baru datang setelah Munah pulang ke rumah, saat ia tak bisa lagi menjumpai perempuan tua itu. Ah, Munah menyesali jiwa sosialnya yang terlambat muncul. Kesempatan untuk menggembirakan hati perempuan tua penjual seikat daun kunyit tadi hilanglah sudah. ***

Muara Panas, 13 Desember 2022 (5)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Semoga ada yg membantu ya

13 Dec
Balas

Aamiin

13 Dec



search

New Post