Gendis
"Mbak, Mbak Kabti! Kembange wangi, yo," seloroh Gendis. Gadis manis delapan tahun tetangga rumahku.
Ia menciumi kelopak wijaya kusuma yang mekar tadi malam. Bunga dengan kelopak putih itu ditanam ibuku di halaman rumah. Tepat di sisi pagar. Setiap mekar, Gendis selalu datang. Menciumi kelopaknya lalu meminta satu, dua atau tiga kelopak yang mulai menguncup. Aku tak pernah keberatan. Gendis adalah anak yang ceria dan tak pernah merepotkan. Sesekali kuberikan beberapa potong kue bolu yang kubuat.
"Suwun, Mbak Kabti," ucapnya.
"Mekare bengi, Ndis," kataku.
"Kapan-kapan mau lihat kembangnya mekar, Mbak," selorohnya lagi dengan wajah khas anak-anak.
"Boleh, datang ke sini. Tapi bilang dulu sama Mbokmu,yo," jawabku.
Gendis sangat ingin melihat mekarnya wijaya kusuma. Ia akan berceloteh menanyakan kepadaku setiap kali mampir. Aku berjanji akan menemaninya menyaksikan bunga itu mekar. Ia mengangguk senang.
***
Sudah tiga hari Gendis tidak lewat pun mampir ke rumah. Bapak dan Ibunya juga tidak terlihat.Jendela rumahnya tertutup. Rumah besar itu nampak sepi. Kupikir mungkin Gendis menginap di rumah Mbah Kakungnya, seperti yang biasa ia lakukan jika sedang libur sekolah.
Anehnya, setiap malam aku mendengar suaranya. Berceloteh tentang wijaya kusuma yang mekar di sisi pagar. Sesekali sosoknya terlihat melintas dengan rok yang berkibar-kibar. Ah, barangkali aku hanya merindukan anak itu. Pikirku.
Hingga seminggu kemudian, kabar itu datang ...
"Ti, Kabti!!" teriak Ibu sambil berlari.
"Ada apa,Bu? Kok kaya dikejar setan gitu?"
"Gendis, Ti. Gendis ... ," suara Ibu tersendat-sendat. Napasnya ngos-ngosan.
"Iya, Gendis. Gendis kenapa,Bu?"
"Gendis meninggal," suara Ibu akhirnya keluar.
"A-apa,Bu?? Tenanan tho,Bu??"
Gendis, gadis pecinta wijaya kusuma itu ditemukan tenggelam di Sungai Banyusari. Padahal debit air sedang surut, hanya selutut orang dewasa. Tubuhnya juga tidak bengkak sebagaimana orang tenggelam. Namun tak ada yang bertanya, menginvestigasi ataupun autopsi, bahkan kedua orangtuanya pun menganggap itu kematian biasa.
Hatiku remuk. Ada anak sungai yang mengalir di pipi.Bagaimanapun gadis ini sudah mengisi hari-hariku.Dengan celotehannya setiap kali mampir meminta satu,dua,atau tiga kelopak bunga.
Sepeninggal Gendis, tak ada lagi yang memetik bunga-bunga wijaya kusumaku. Rumahnya sepi tanpa penghuni. Kedua orangtuanya menghilang bak ditelan bumi. Namun, setiap malam saat bunga sedang mekar, aku mendengar suara Gendis di balik pagar ,"Mbak, Mbak Kabti, kembange wangi,yo."
Muara Teweh, 6 Januari 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Masya Allah luar biasa. Semoga itu hanya ada di artikel ini. Salam sukses dan salam Literasi
Terima kasih sudah mampir,Pak.Salam Literasi.
Setelah membacanya,serasa hanyut dan masuk dalam cerita ...Ada sensasi bahagia, haru dan horornya juga dapet bangetPaket lengkap..Dan nice picture
Suwun sudh mampir bu e. Kembange cantik ky yg punya