Fitri Nilasanti

Saya adalah guru di sebuah SD swasta di Kota Malang. Karir saya menjadi guru dimulai tahun 2003, satu tahun setelah saya menyandang gelar sarjana pendidika...

Selengkapnya
Navigasi Web

CERPEN

MURIDKU TERNYATA ANAKMU

Kupandangi sekali lagi wajah innocent laki-laki kecil di depanku ini. Aku tidak tahu, berapa puluh kali aku memberi nasihat kepadanya, tak bisa aku memarahinya karena wajahnya yang polos itu, walaupun kebandelan-kebandelan ala anak-anak sering kali dilakukannya, mulai keisengannya mengganggu temannya yang sedang berkonsentrasi menyimak pelajaranku, sampai keisengannya berteriak dengan sangat keras di telinga temannya, lagi-lagi, aku tak bisa memarahinya. Paling-paling aku bisikkan istighfar di dekat telinganya, berharap hatinya melunak karena istighfarku, dan hatiku bisa bersabar karenanya. Nak, bagaimana perlakuan orang tua kamu selama ini kepadamu di rumah? Apakah dia akan marah? Bisakah dia bersabar dengan kelakuan isengmu di rumah?

Peristiwa yang tidak kuinginkan pun tiba. Kejadian itu begitu cepat terjadi di kelasku, saat aku tidak ada di dalamnya. Aku harus keluar sebentar untuk mencarikan minyak kayu putih untuk muridku yang baru saja muntah. Aku masuk kelas, dan kulihat, Galang, muridku yang pendiam itu terduduk di lantai sambil meringis kesakitan. “Kamu kenapa, Nak?”, tanyaku. “Bu Intan, kursiku ditarik oleh Krisna, dan aku terjatuh gara-gara dia,” Galang mengadu kepadaku. “Kamu, bisa berdiri kan, Nak? Ayo bu guru bantu!”, pintaku sambil membantunya berdiri dari posisi bersimpuhnya. Setelah Galang duduk di kursinya, aku panggil Krisna yang sedang menunduk.

“Krisna, tidak ada lima menit Bu Intan keluar kelas, kamu sudah membuat keonaran. Tidakkah kamu tahu, kelakuan kamu itu bisa membahayakan temanmu. Bagaimana seandainya Galang tidak bisa berdiri kembali? Bagaimana kalau dia sampai cacat, tidak bisa berjalan karena tulangnya ada yang retak? Ya Allah Krisna, kapan kamu berhenti dari keisenganmu itu, Nak?” Seperti biasa, matanya berkedip-kedip, seolah menyesal telah menyusahkan temannya.

“Saya tidak bisa terima anak saya diganggu seperti itu, Bu Intan. Nanti malam saya mau rontgen Galang jika dia masih mengeluh pantatnya sakit? Kalau sampai tulang ekornya ada yang retak, saya akan bawa masalah ini ke polisi”, telpon mama Galang siang itu, sepulang sekolah.

“Sabar ya Bu, masalah ini Insya Allah bisa kita bicarakan secara kekeluargaan,” hiburku kepada mama Galang. Kepalaku tiba-tiba pusing. Ya Allah, mudah-mudahan Galang tidak apa-apa ....., doaku.

Jariku menari-nari memijit huruf-huruf di hand phoneku. Bagaimanapun, aku harus memanggil orang tua Krisna ke sekolah. Aku tidak mau ada kejadian yang lebih membahayakan terjadi di kelasku. Tadi malam aku sudah menghubungi mama Galang, menanyakan hasil rontgennya. Alhamdulillah, everything is oke. Hanya ada luka memar di tubuh Galang bagian belakang. Berkali-kali aku meminta maaf kepada mama Galang dan meminta untuk tidak memperpanjang masalah.

Aku menghela nafas dalam-dalam. Tenang Intan, berdoalah agar orang tua Krisna mau mengerti dengan sifat anaknya yang membuat mulutmu tidak berhenti meneriakkan nama anaknya di kelas, Krisnaaaaaa........! Aku tersenyum dan mencoba mengumpulkan segala kepercayaan diriku. Kemarin aku sudah intervew Krisna tentang keluarganya. Dia lima bersaudara, laki-laki semua. Ibunya sangat sibuk mengurus ketiga adiknya yang masih balita. Tentunya, Si Krisna berusaha untuk mencari perhatian sang ibu dengan keisengannya di rumah. Ayahnya seorang pendidik, sama dengan aku. Bedanya, aku mendidik anak-anak sekolah dasar, sedangkan ayahnya mendidik para calon intelektual di sebuah kampus ternama. “Ayah saya, sekarang sekolah S3, Bu Intan”, kata Krisna. “Kalauu begitu, Krisna, tidakkah kamu bangga dengan ayahmu, Nak? Jangan buat sedih hati ayah dan ibumu dengan kelakuanmu yang merugikan orang lain, Krisna”, kataku sambil kuusap kepalanya. Mata bulatnya berkaca-kaca. Sekali lagi aku tidak tega memarahinya.

Aku duduk di ruang tamu sekolah, menunggu ayah Krisna yang berjanji akan memenuhi panggilanku. Entah kenapa, hatiku berdebar-debar tidak karuan, padahal aku sudah biasa bertemu dengan wali murid dari berbagai tipe dan berbagai kalangan. Ketika langkah kaki seseorang itu mendekat, aku terkejut! Dadaku berdesir....Ya Allah, tidak salah, ini Mas Farhan, kakak tingkatku waktu kuliah dulu. Memang sih, dulu, aku tidak dekat dengannya, hanya kenal sekilas. Tapi aku ingat sekali, orang ini sering memarahi aku ketika OSPEK. Ada saja alasannya supaya aku dihukum. Aku sebal sekali waktu itu. Teman-temanku satu geng, Mia, Nabila, Ira, mengolok aku untuk merayunya. Kata Nabila, “Intan, dia itu cari perhatian kamu tuh, makanya dari kemarin kamu jadi sasaran kemarahan dia, ha ha ha.....”. “Atau jangan-jangan, kamu mirip mantan pacarnya, ha ha ha”, kata Ira. “Ah, mana ada cewek yang mau sama cowok temperamental kayak dia“, kata Nabila lagi. “Intan, cobalah kau rayu dia dengan suaramu yang merdu itu, siapa tahu setelah itu dia termehek-mehek sama kamu”, saran Mia bercanda. “Iya sih, sebenarnya aku sebal juga kalau dia marah-marah. Tapi kalau dilihat-lihat, semakin marah dia, semakin terlihat tampan raut wajahnya.....” kataku menimpali kelakar teman-temanku.

“Hei, kamu! Yang dari kemarin selalu buat kesalahan, lihat saya!” panggil Mas Farhan. Ya ampuuun, kenapa selalu aku, batinku. “Apa hobimu?” Hah, ngapain coba, dia tanya-tanya hobiku. “Saya.....hobi saya menyanyi, Kak!” “Kak kak kak!!! Kamu belum hafal juga ya, dari awal kan sudah saya bilang, kalau saya ajak bicara, panggil dengan sebutan Kak Farhan Ganteng! Kamu masih muda sudah pikun!” . “I iya Kak Farhan Ganteng”, kataku sambil menelan ludah menahan kemarahan dan ketakutan. Bagaimanapun, aku keder juga mendengar suaranya yang menggelegar. Aku mendongak, mencuri pandangan wajahnya yang memang semakin tampan kalau dia sedang marah. “Coba, kalau hobi kamu menyanyi, kamu nyanyi untuk saya”. “Sekarang Kak?” “Besok, nunggu malam minggu! Ya sekarang lah”, hardiknya. Entah kenapa, tiba-tiba lagu yang aku nyanyikan lagu Siti Nurhaliza yang sedang hits waktu itu. “Betapa kucinta padamu, katakanlah, kau cinta padaku........” “Hei, kamu mencoba ngrayu saya ya!! Sudah suaranya jelek pula!!” Batinku, apa, seorang Bintang Radio seperti aku dibilang suaranya jelek??? Aku jadi semakin sebal melihat dia. Apalagi aku dia bilang merayunya, hedeh.....

Dua minggu pasca OSPEK, aku bertemu dengannya di tempat foto kopi. “Eh, kamu, yang mahasisiwi baru itu, ya”, sapanya terlebih dulu. “Ehm, iya Kak” , kataku setengah kaget, tidak menyangka kalau suaranya lembut juga kalau tidak sedang marah. “Jangan panggil aku Kak, lah. OSPEK sudah berlalu. Panggil saja aku Farhan. Atau Mas Farhan juga nggak salah, kamu kan adik tingkat aku. Nama kamu siapa?” “Intan, buruan, kita hampir telat nih”, panggil Ira yang ternyata sudah di belakangku. “Lho, ada Mas Farhan, nih. Sori ya Kak, kami harus segera pergi”, kata Ira sambil menggandeng aku dengan cepat.

Setelah pertemuan di tempat foto kopi itu, aku jarang melihatnya. Sesekali saja dia terlihat di kampus, maklum, mungkin karena semester akhir jadi dia tinggal mengerjakan skripsi.

Kini dia di depanku. “Emmmm, maaf Bu Guru, ada kejadian apa sehingga anda memanggil saya kemari?” tanya laki-laki di depanku. Farhan, ya, tidak salah lagi, ini Farhan Si Tampan nan galak itu. Tidakkah dia mengingatku, wanita yang dulu ‘disiksanya’? My God!

“Maaf, anda Bapak Farhan, ayah Krisna?” “Ya betul, Bu Intan. Krisna banyak cerita tentang anda, guru idolanya yang baik dan penyabar”. Duh, sempat-sempatnya dia merayu aku. Memang bisa? Batinku ke ge-er an. Aku menjelaskan tentang tingkah laku Krisna di sekolah kepada ayahnya. Tapi aku tidak bisa melihat wajahnya, khawatir jika dia mengingatku. Alhamdulillah, sampai aku selesai menceritakan tingkah laku anaknya yang sering membuat aku sakit kepala, dia tidak ingat. Sampai akhirnya....”Baiklah Bu Intan, saya akan menasihatinya kembali. Maafkan anak saya, ya, Bu Intan. Oiya, anda.....mirip sekali dengan adik tingkat saya di kampus saya dulu. Apakah benar anda adik tingkat saya, ya?”

Aku tersenyum, entah senyum manis, atau senyum sinis. Aku juga tidak tahu, apakah besok di kelasku akan ada ‘OSPEK’ kecil-kecilan atau tidak. Aku tidak tahu.....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Maaf ya, masih belajar "menulis"

23 Jun
Balas

Bagus ceritanya bu.

23 Jun
Balas



search

New Post