Fitri Rika Noviyanti,S.Pd

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Dua Ribu

Aku yang sejak pagi hanya bermalas-malasan bersama anakku yang baru menginjak 1 tahun 5 bulan. Memang tidak mudah bagiku untuk membebaskan diri kemana pun. Hari ini dikulkas kulihat hanya tinggal beberapa telur sedikit bawang dan cabai merah. Situasi saat ini memang tidak mendukung untuk belanja setiap hari. Seminggu lalu aku belanja dan kini bahan makanan memang sudah habis. Aku yang berencana ingin belanja dari pagi hari pun tidak bergerak juga. Matahari sudah tepat diatas kepala tandanya hari sudah semakin siang dan tak lama kemudian suamiku pamit untuk melaksanakan sholat jumat di mesjid. Tanpa fikir panjang aku mengambil beberapa telur dan memasaknya, kemudian aku membuat sambal kecap sebagai pelengkap. Sesederhana ini makan siang kami, terlalu sederhana namun rasa syukur tidak akan pernah berkurang. Selesai menghabiskan santap siang kami masih bercanda satu dengan yang lain, putri kecilku itu sangat dekat ayahnya. Sehingga kadang aku suka menjahili mereka. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02:00 siang. Aku begegas memakai jaket, aku harus segera pergi belanja kebutuhan besok kalau tidak bisa-bisa besok kami tidak akan makan. Perlahan aku keluarkan sepeda motor dari dapur, karena aku harus pergi tanpa diketahui putri kecilku. Sepeda motor ku pecut perlahan, hari ini hari ke 13 pemerintah memberi amanat untuk kami agar bediam diri dirumah bahasa kerennya lockdown. 13 hari ini yang kurasakan tidak semangat karena kami semua harus rela berdiam diri dirumah. Tidak dipungkiri aku merindukan suara anak-anak yang riuh yang selalu menjadi teman sepanjang hari jika disekolah. Namun aku harus berdamai dengan hati karena ini semua demi kebaikan bersama. Sepanjang jalan kuperhatikan setiap sudut jalan, perjalananku agak lengang, jadi dengan jelas kulihat wajah-wajah penanti rezeki dari Tuhannya. Mereka tampak murung dan termenung menatap jalan, entah apa yang mereka fikirkan namun hatiku saat itu dapat menebak kesedihan mereka. Aku tidak bisa berbuat banyak, hanya doa yang ku mohonkan kepada Tuhan untuk kebahagiaan mereka. Perjalananku cukup santai hingga akhirnya aku sampai ditempat pasar tradisional, tempat yang biasa aku kunjungi. Langkah ku terhenti disalah satu penjual sayuran, tempat ini yang selalu menjadi pilihanku. Pemiliknya adalah orang tua dari salah satu muridku dikelas. “ Apa kabar bu?” tanyaku dengan ceria “ Beginilah bu keadaannya ” Ia menjawab dengan nada sedikit sedih. “ Semangat buk, sepi ya? ” “ Iya bu dari pagi gini-gini aja, ini udah mau sore ” jawabnya tambah sedih “ Sabar ya bu, semoga cepat berlalu “ Kemudian kusibukkan diriku mencari sayur mayur yang aku inginkan, sambil mendengarkan si “ Ibu” yang sedang bercerita dengan keadaan yang ada. Sesekali aku menyahuti dan memberi tanggapanku. Ternyata kesedihan, keresahan serta ke khawatiran yang ku rasakan tidak sebanding dengan si Ibu dan teman-temannya disini. Sekali lagi aku tidak mampu berbuat apapun kecuali mendengar keluh dan mendoakan mereka. Setelah selesai mencari dan membayar semua kebutuhan aku pun berlalu pamit. Berpindah dari satu tempat ketempat yang lain. Semakin aku berpindah maka semakin banyak wajah harapan dalam diam, yang tersirat dalam mata mereka agar suasana kembali normal. Hingga ketika aku akan benar-benar akan pulang, aku melihat sayur kangkung dari salah satu pedagang kemudian aku menghampirinya tidak sah kalau aku tidak membelinya. Karena sayur kangkung adalah sayur favoritku banyak sejarahku dengan sayur yang satu ini. “Bang sayur kangkungnya berapaan? ” “ Seribu dek “ Aku mengambil satu ikat saja, kemudian kulihat disebelah ada kacang panjang. “ kacang panjangnya berapa ? ” aku mengambil ikatan yang paling sedikit. “ Dua ribu aja, ambil yang banyak saja harganya sama ” Murah sekali gumanku dalam hati,awalnya aku ingin mengambil sedikit saja namun aku tukar dengan yang banyak mungkin bisa kubagikan dengan tetangga sebelah rumahku. Tanpa banyak tanya aku pergi meninggalkan pasar. Aku hidupkan sepeda motor dan menuju pulang. Sepanjang jalan pulang otakku tak dapat kualihkan dengan kacang panjang sesekali aku mencuri pandang. Ingatanku pun terus dituntun ke beberapa tahun yang lalu, suatu peristiwa yang melibatkan kacang panjang. Saat itu aku baru saja memasuki dunia perkuliahan ada salah satu temanku yang bernama aisyah, aku adalah orang tertua diantara temanku karena setelah 5 tahun aku baru bisa memasuki dunia perkuliahan. Semua temanku, aku memanggilnya adik dan aku senantiasa membahasakan diriku dengan sebutan kakak. Kembali ke Aisyah, ia merupakan gadis yang periang dan manja. Aisyah merupakan anak terakhir dari 5 bersaudara. Suatu hari Aisyah mengajakku dan salah satu temanku untuk datang kerumahnya. Aku dengan senang hati datang dan bermalam disana. Rumah Aisyah cukup jauh kedalam, Buluh cina nama tempatnya. Pada saat itu aku dan satu temanku berjuang melawan debu. Aisyah cukup santai dengan keadaan itu. Kami menaiki sepeda motor dengan 3 orang diatasnya. Sebelum sampai dirumah, Aisyah menghentikan sepeda motornya dan memasuki sebuah kedai, Aisyah menuntunku masuk. Kemudian bertanya kepadaku ingin dimasakkan apa. Awalnya aku menolak, tapi karena memaksa aku katakan “ cabe ijo kepah kering ” . kemudian dengan semangat Aisyah membelinya. Ia terlalu bersemangat karena aku berkunjung kerumahnya. Akhirnya kami sampai disebuah rumah cukup sederhana, rumah itu cukup dan lantainya masih beralaskan tanah. Ketika masuk kedalam rumah kulihat ada seseorang diatas tempat tidur, ternyata abang Aisyah. Bang Rio namanya, ia tidak bisa berjalan dari kecil kata aisyah, kemudian ku tatap wajah bang Rio dalam. Ia memberiku senyuman,aku membalasnya sambil menyalaminya. Aku seperti ditampar, aku tak pernah pun berkata syukur telah diberikan kaki untuk berjalan, mata yang sehat untuk melihat atau apapun yang ada ditubuhku. Maafkan aku Tuhan. “ Kak Aisyah mau jadi orang sukses, nanti biar bisa jagain bang Rio sampai kapanpun ” sambil menarik tanganku masuk kedalam kamar. Kata-kata Aisyah yang baru diucapkannya itu membuat aku terpana,dibalik sifat manja itu ternyata tersimpan sifat dewasa. Hebat sekali kamu aisyah, semoga ketulusan membawa berkah disetiap detik kehidupannmu. Hati bergumam. Kini aku sudah berada dikamar Aisyah, kamar itu tidak terlalu sempit namun tidak juga terlalu lebar. Diatas tempat tidur tidak ada kasur hanya sehelai tikar yang dibalut dengan karpet yang tebal. Aisyah dan satu temanku pergi memasak. Mereka berdua memang seperti itu. Mereka berkata aku adalah kakak mereka, jadi biarlah mereka yang mengerjakan segala sesuatunya. Kuperhatikan sekeliligku, kamar itu nyaris tak berpintu sebagian jendela dirumah Aisyah masih ada yang tidak daun jendela. Dikamar itu berdiri sebuah lemari yang bisa ku taksir umurnya sudah lama. Kulit lemari itu sudah berkelopek, diatasnya kulihat banyak buku-buku. Mungkin milik Aisyah fikirku. Ayah dan ibu Aisyah sedang berada diladang, ia sudah berjanji kepada kami akan membawa kami keladang. Kuliah libur besok aku akan menghabiskan hari itu disini. Ketika ayah dan ibu Aisyah pulang kami berlomba menyalami. Aku termasuk anak yang ramah nan ceria dalam hitungan menit ayah dan ibu Aisyah sudah hafal dengan namaku begitu pun dengan bang Rio yang sedari tadi tak berhenti tertawa karena ulahku. Ayah dan ibu Aisyah berpesan agar kami untuk tidak segan-segan dirumah mereka. Hari sudah semakin larut, aku yang sedari tadi disuruh mandi belum juga beranjak kekamar mandi. Kamar mandi terpisah dari rumah tiada atap dan yang lebih unik tanpa daun pintu. Jika kita ingin mandi maka harus menutup dengan handuk. Hingga kesabaran temanku habis aku pun diseret ke kamar mandi dan disiram oleh mereka. Aku senang sekali saat itu. Pagi pun tiba, ketika aku bangun kulihat Aisyah sedang sibuk didapur bersama ibunya. Aku yang sedari tadi tak mendengar adzan segera mempercepat langkahku untuk berwudhu. Selesai sholat subuh aku ingin membantu Aisyah. Namun Aisyah dan ibuny tidak mengizinkan, kemudian aku yang iseng mengganggu temanku yang sedang tertidur. Temanku ini beda agama dengan kami, tapi selalu mengikuti kemana pun aku dan Aisyah pergi. Setelah sarapan aku tak henti-henti mengingatkan Aisyah untuk keladang, namun Aisyah harus menunaikan semua kewajibannya dari membersihkan rumah, mencuci hingga mengurusi bang Rio. Setelah semua selesai kami pun pergi. Hari ini Aisyah mengajak memanen kacang panjang. Aku senang sekali, sesampai disana aku berlarian kesana kemari. Akhirnya yang panen Aisyah dan temanku si Tutik, lupa aku menyebutkan namanya diawal cerita. Kami banyak sekali membawa kacang panjang. Aku berfikir Aisyah akan menjualnya. Namun sore harinya ketika akan pulang Aisyah membawakannya sebagai oleh-oleh dan ada juga sayur yang lainnya. Awalnya aku menolak dengan sopan, aku berkata jual saja Aisyah nanti uangnya bisa untuk tambahan ongkos pergi kuliah. Karena aku tahu ia hidup dalam keterbatasan. Bahkan Aisyah kuliah sekarang pun menjadi omongan orang, mereka berkata Aisyah tidak kasihan kepada orang tuanya yang harus membanting tulang untuk biaya kuliahnya. “ Kalau dijual rugi kak, Sekilonya Cuma seribuan atau seribu lima ratusan. Nanti dipasar pedagang jualnya dua ribuan. Kasian bapak sama mamak, Cuma dapat capek dan rugi ” jawab Aisyah sayu. Mataku bagai disiram pasir perlahan seperti ada air menggenang,kutahan. Aku tidak mau Aisyah bersedih karena melihatku bersedih. “ Aisyah kita makan dulu yok!, mau makan apa nanti kakak yang bayar ya ” “ ga usah kak, hari sudah mulai sore nanti kakak sama tutik kesorean ” jawab Aisyah datar. Akhirnya kami meneruskan perjalan pulang, Aisyah dengan hati ikhlas mengantarkan kami kejalan besar. sampai ditepi jalan Aisyah masih menunggu kami mendapatkan angkot pulang. Kami bertiga memanglah selalu ceria ada saja yang membuat untuk tertawa. Namun aku tidak tahu apakah sama yang dilalui dengan suasana hati kami masing-masing. Sebelum menaiki angkot Aisyah mencium tanganku. Aku memeluknya, kuselipkan sedikit yang kupunya dikantong roknya sambil berbisik : “ Thanks a lot Aisyah, keep strong sis ” Aisyah mengeluarkan sesuatu yang kuselipkan, aku memberi kode untuk diam. Dan perlahan angkot pun jalan perlahan. Tangisku pecah saat itu, air yang menggenang itu sudah melampui tempatnya. Ia berjatuhan. Kutatap lekat wajah Aisyah, kulihat pipinya basah sembari melambaikan tangan. Besar arti pelajaranku semalam, takkan aku lupakan. Hari ini aku diingatkan kembali peristiwa itu, semoga saja Aisyah bisa mewujudkan mimpinya. Terkadang aku suka bersedih hati jika harga sayuran di pasar terlalu murah. Aku fikirkan apakah terbayar lelah mereka dengan harga yang kuberikan. Terimakasih pak tani dan bu tani semoga Tuhan memberkahi hidup kalian.
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post