Gadis Kecil dan Pohon Belimbing (bag-2)
Rozi menyusulnya naik, anak laki – laki itu naik dengan berhati – hati, sesekali matanya memandang tanah yang makin terasa jauh dari kakinya. Tiba – tiba,
“Rozi...lihat itu !! pelangi...!!” teriak Ning gembira, disusul teriakan Rozi yang terpeleset.
Anak laki – laki itu menangis sejadi-jadinya sambil memeluk erat dahan tempat tubuhnya tersangkut. Matanya dipejamkan sambil menangis, tubuhnya menggigil takut terjatuh. Ning memandang Rozi kesal.
“Aku mau tuuruuun,” rengek Rozi sambil gemetaran.
“Ah kau ini merepotkan saja, kau tunggu di sini, pegangan yang kuat!” ujar Ning kemudian turun dari pohon sambil menghela napas kesal karena merasa keasyikannya diganggu Rozi.
Tak berapa lama paman Sardi datang membawa tangga. Ia mengomeli Ning, sementara yang diomeli cengar-cengir saja.
“Kamu anak perempuan kok suka manjat-manjat!” sungut paman Sardi pada Ning.
“Biarin!” jawab Ning pendek.
“Kamu tahu tidak, dahan-dahan itu licin karena hujan semalam, bahaya kalau dipanjat!” jelas paman Sardi dengan wajah cemberut kesal sambil berusaha menurunkan Rozi.
“Aku tahu!” Ning sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kalau tahu, kenapa dilakukan jugaaaa?” paman Sardi gemas.
“Membuktikan aku lebih pintar memanjat daripada kera, karena aku manusia,” jawab Ning santai membuat paman Sardi kesal. Ingin dicubit gadis kecil di sampingnya ini, tapi tentu saja ia tak tega.
Paman Sardi memerintahkan dua anak kecil itu duduk berdampingan, Ning tahu pasti akan disidang.
“Rozi, kamu jangan ikuti kalau diajak manjat–manjat,” ujar paman Sardi.
“Tahu rasa kau nanti kalau kakimu keseleo atau patah,” lanjutnya .
“Kan ada papuq tuan nine yang mengurut kalau keseleo,” jawab Ning sambil tersenyum
“Kalau patah tinggal disambung ya Ning,” lanjut Rozi, dan tangan mereka tos sambil cekikikan. Percakapan dua bocah itu membuat paman Sardi semakin dongkol.
Usai insiden tadi, dua bocah itu duduk-duduk menghadap pohon belimbing yang masih basah karena hujan semalam.
“Kau mau tahu Rozi apa yang aku lihat tadi ?” tanya Ning dengan mimik wajah yang membuat Rozi penasaran. Ning berdiri di hadapan Rozi yang sudah berhenti menangis, ia mulai bercerita.
“Di sebelah sana Zi” Ning menunjuk ke arah timur.
“Ada lapangan luas, warnanya biru, di batasi oleh mungkin gunung berwarna biru tua, dan ada gulungan putih yang terus bergerak saling menyusul. Seperti tali putih yang dibentangkan susul-menyusul. Kadang-kadang lapangan itu berkilau-kilau. Terus di sana,” kemudian Ning menunjuk arah selatan.
“Aku melihat atap-atap rumah penduduk lantas lapangan hijau yang luas. Mungkin itu sawah. Aku melihat atap rumah Farid, juga si kembar Salma dan Salwa. Di sana,” kali ini Ning menunjuk arah barat daya
“Aku melihat beberapa tukang sedang bekerja mungkin itu akan jadi lantai dua masjid kita. Naah...di sana,” Ia menunjuk arah barat
“Aku melihat atap - atap pertokoan. Tokonya Fani, Ahoy, Yuli, juga tokonya Sakina. Toko Sinar Bahagia juga aku lihat. Kau ingat, di tingkat dua itu tempat kita berfoto sehabis pawai kemaren. Terus Zi, yang menurutku paling indah. Di sana,” Ning menunjuk arah utara, sementara itu Rozi memperhatikan cerita Ning dengan antusias sambil sesekali mengunyah permen karet yang diberikan Ning tadi ketika mereka disidang oleh paman Sardi.
“Aku melihat gunung besar, warnanya biru tua. Itu pasti gunung Rinjani. Di gunung itu aku melihat pelangi, indah sekali, me-ji-ku-hi-bi-ni-u,” Ning tersenyum lebar.
“Merah jingga kuning hijau biru nila ungu, benarkan?” jabar Rozi, Ning mengangguk.
“Side tau kak Ning? di gunung Rinjani itu tinggal Dewi Anjani, penguasa gunung Rinjani. Bisa jadi pelangi itu selendangnya Dewi Anjani yang turun mandi, Dewi Anjani kan bidadari,” beber Rozi.
“Tidak mungkin,” ujar Ning menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Semalam kan hujan, air di danau Segara Anak jadi banyak,penuh sampe limpah-limpah, makanya Dewi Anjani turun mandi,” terang Rozi.
“Ah masa sih?” Ning tidak percaya, menurutnya tidak masuk akal.
“Huu....side tanya aja papuq Inah, tuh,” Rozi menunjuk papuk Inah dengan memonyongkan bibirnya.
“Papuuuq…, pelangi itu apa?” akhirnya Ning bertanya dengan ragu pada wanita tua yang tidak pernah bersekolah itu. Ning menunggu jawaban papuq Inah sambil menahan nafas. (Bersambung)
===
side=kamu, sebutan kepada yang lebih tua atau yang dihormati-sasak
Lombok Timur, 17 April 2021
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Unik cerpennya ada istilah2
Terima kasih bunda. Yg dianggap istilah-istilah itu bahasa sasak bunda, bahasa suku sasak yg berdiam di pulau Lombok.
Menarik ceritanya bu..sukses selalu
Terima kasih,pak. Salam sukses selalu.
Keren cerpennya bunda. Salam literasi
Terima kasih, bunda. Salam literasi.
cerpennya menarik bu
Terima kasih sudah berkunjung,pak.
Cerita yang asyik.sukses selalu bu galuh.
Terima kasih bunda, sukses selalu juga buat bunda.
kereeen ceritanya bunda. salam literasi
ijin follow ya bund
Terima kasih sudah berkunjung. Monggo Bu Tejo, eh Bu Nur, hehehe.
hehe....
Sukak sekali sama cerpen ini... sehat selalu bund
Terima kasih bunda, salam sehat dan sukses selalu ya
Sukak sekali sama cerpen ini... sehat selalu bund
Mantuuul...kita tunggu sambungan nya
Terima kasih sudah berkunjung, InsyaAlloh jemak ndeh.