LINDU
Tadi malam, sekitar pukul sebelas Waktu Indonesia Tengah notifikasi BMKG meningkahi irama tuts-tuts keyboard yang sedang berkhidmat melaksanakan tugas dari saya, tuannya. Untuk memastikan, saya hentikan sejenak menuliskan kode-kode program untuk menguji motor dc dan mengintip laman facebook. Benar saja, telah terjadi gempa bumi dengan magnitude 4.3 kedalaman 37 km 83 km tenggara Kuta Selatan. Namun, terasa sampai di Lombok Tengah, Lombok Barat, dan Mataram, dengan skala III MMI (Modified Mercalli Intensity). Meskipun agak lemah, hal itu meng-on-kan saklar tubuh saya. Terlebih jika mengingat berbagai macam prediksi yang menyatakan lempeng bagian selatan belum melepaskan tenaga sepenuhnya.
Kami masih trauma dengan peristiwa gempa tahun 2018 silam. Saat itu Lombok diguncang gempa besar berkali-kali. Gempa besar pertama terjadi pada pagi 29 Juli 2018 dengan magnitude 6,4 memporak- porandakan kabupaten Lombok Utara. Selang beberapa hari 5 Agustus 2018 saat sebagian besar kami sedang melaksanakan salat Isya gempa dengan kekuatan 7 SR dirasakan di seluruh pulau Lombok dengan skala VI-VII MMI. Saya yang waktu itu sedang menyuapi si bungsu bergegas menggendongnya dan berlari keluar rumah bersama keluarga yang lain. Suasana panik, ramai namun mencekam. Suara sepeda motor dan mobil memenuhi jalanan,berlomba-lomba menuju tempat yang tinggi karena ada isu tsunami. Posisi kami di pusat kota Selong Lombok Timur, kurang lebih 10 km dari pantai Labuhan Haji. Kami berdekatan dalam diam, dan berdo’a. Pasrah. Kain panjang yang saya gunakan menggendong si bungsu yang belum genap setahun itu saya pererat. “Jika benar terjadi tsunami dan kami tidak selamat, setidaknya jenazah kami tidak terpisah”, batin saya. Kami terus menyebut asma AllohSWT, berserah diri padaNya. Tak lama kemudian, terdengar sirene polisi yang meminta warga untuk kembali ke rumah, mengecek rumah masing-masing, dan menginformasikan bahwa tsunami hanya isu belaka. Isu tersebut dibuat oleh kawanan pencuri yang hendak menggasak harta benda masyarakat.
Malam itu, kami tidak bisa tidur. Suara sirene dan pengarahan dari kepolisian dan tentara terdengar jelas mengatur masyarakat yang mengungsi di lapangan dekat tempat tinggal kami. Sementara itu, setiap lelaki dewasa keluar membawa sajam, berjaga-jaga di setiap gang. Karena isu kawanan perampok mulai turun, memanfaatkan suasana.
Esoknya, gempa masih terjadi. Gempa-gempa susulan yang bukannya mengecil namun ada kalanya sama besarnya dengan gempa utama. Kami mendirikan tenda di halaman rumah dan bermalam di sana. Sekolah diliburkan sementara. Saking seringnya berguncang, tubuh seakan memiliki sistem peringatan dini. Setiap ada goyangan, otomatis lari ke luar rumah atau menjauhi bangunan atau apa saja yang bisa roboh.
Sejak kejadian tersebut, setiap ada berita gempa bumi kami otomatis siaga, sebagai bagian pasrah kepada AllohSWT.
Lombok Timur, 24 Februari 2021
#T24_TM14
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Ndek ne arak asan sy gempa kanda...lguk luek batur le fb ngupload ndah.