Rindu
Lagu lawas Right Here Waiting-nya Richard Marx memutar kembali ingatanku pada sosok itu. Sosok yang hingga kini masih bertahan di kepalaku, meratui relung-relung hatiku. Dermawan rindu yang menghadirkan segenap rasa yang akhirnya terasa menusuk-nusuk hatiku, ngilu, sakit. Aku menganggap diriku berusaha melupakannya, tapi semakin aku berusaha menghapus tentangnya, semakin jelas gambarannya di hadapanku. Seperti malam ini, sebagian aku ingin melupakannya namun sebagian yang lain membujukku untuk menikmatinya, meresapinya, meski rindu dan ngilu harus menyelimuti lagi.
Ia ku kenang sebagai teman perempuan yang cerdas dan lincah saat kanak-kanakku. Hanya dia yang membelaku ketika gerombolan si Ican yang terkenal nakal dan suka usil itu berseteru denganku saat jam olahraga. Dia hadiahi si Ican bogem mentah di perut. Alhasil dia dan si Ican diadili di ruang kepala sekolah. Bukannya takut, dia malah menyingsingkan lengan baju putihnya. Dan bisa ditebak dia menang dalam perkara itu, karena dia memang pandai berkata-kata. Sejak itu posisinya meningkat sebagai semacam ketua geng untuk anak-anak perempuan di kelasku. Sementara anak-anak lelaki lebih menaruh hormat padanya, singkatnya ditakuti lawan disayangi kawan. Sebenarnya, aku pun menjadi langganan berseteru dengannya, sehingga mencapai keniscayaan ada aku pasti ada dia meski dalam konteks perselisihan. Aku selalu mengalah, bukan karena takut padanya tapi entahlah aku senang berkelahi dengannya. Aku bahkan sempat merasakan tendangannya di perutku, gara-gara berebut bola dengan anak-anak perempuan. Bagaimana dengan bapak ibu guru, apa mereka tidak memperhatikan kami ? Tentu saja sangat perhatian, tetapi kami mampu menyembunyikan “rahasia” kami, karena jika orang dewasa mulai ikut campur, runyamlah urusan.
Keadaan berbalik setelah aku mengalami kecelakaan yang menyebabkan aku harus belajar membaca, menulis, dan berhitung lagi. Dia tidak pernah lagi berkelahi denganku. Dia selalu di sampingku. Dia ditugaskan menjadi tutorku oleh bapak ibu guru di semua mata pelajaran, karena dia selalu di urutan pertama alias rangking satu, tidak pernah di urutan kedua. Hal ini membuatku terbiasa di dekatnya dan menjadi linglung saat dia tak ada. Tiga tahun di bawah bimbingannya kondisiku semakin membaik, aku dapat mengikuti pelajaran sebagaimana teman-teman lainnya mengikuti pelajaran. Aku pun berhasil menyelesaikan sekolah dasarku tanpa halangan.
Lulus Sekolah Dasar kami melanjutkan di sekolah yang sama. Sekolah paling top di kotaku. Sayangnya kami tidak sekelas. Aku harus belajar berdiri sendiri tanpa dia. Tak mengapa, toh berangkat dan pulang sekolah kami selalu bersama, meski ramai-ramai. Aku sering sakit hati melihatnya yang dekat dengan banyak anak cowok. Aku mengikuti semua kegiatan yang dia ikuti. Aku berusaha berada sedekat mungkin dengannya. Dia ketua aku wakilnya, di OSIS, di ekstrakurikuler Basket, Voly, bahkan waktu cerdas-cermat sains pun kami satu regu. Melihat kedekatan kami isu mulai menyebar, menyatakan kami adalah orang yang sedang berkasih-kasihan. Bagaimana tanggapannya ? Datar seperti biasa. Dia tidak memperdulikan gosip-gosip semacam itu. Dia akan lebih merasa ingin tahu tentang berapa judul novel baru di perpustakaan, atau akan nimbrung bercerita tentang detective conan atau musisi barat yang sedang tenar macam Coldplay. Dia benar-benar datar dalam menyikapi asmara. Dan aku benar-benar semakin menyadari perasaanku padanya, aku menyukainya.
Suatu hari, dia menyodorkan sepucuk surat beramplop merah jambu, aku memandangnya dengan tanya.
“Dari si Rita, itu tuh....yang kelasnya di barat kelas kamu” ujarnya
“Oh....yang mana ?” tanyaku, menatap surat itu hampa
“Iisshhhh....., kamu ingat tidak cewek berikat rambut merah jambu, yang memberimu air minum, waktu kita final basket kemarin di lapangan Porda?”
“Oh, yang itu” aku mengangguk-angguk, sejujurnya aku tidak ingat
“Ya, baca gih” dia mengerlingkan matanya sambil tersenyum, aku melambung dan tak menyadari dia melangkah menjauhiku
“Eh.....mau kemana Na?” aku berusaha menahannya, dia berlalu begitu saja
Aku tidak tau isi surat itu. Ku pandangi saja amplop merah muda yang harum itu. Aku ingin Hana ikut membacanya.
Esok harinya
“Gimana Yan, sudah dibaca ?” tanyanya dengan mata berbinar, Aku menggeleng, raut mukanya berubah.
“Kok belum dibaca ?” tanyanya
“Tunggu kamu” jawabku singkat
“Loh ? ngapain pake tunggu aku segala ?” selidiknya
“Supaya dibaca bareng” jawabku pendek
“Ampun dah nih anak, masa surat cinta buat kamu akunya ikut baca, gak mau !” ujarnya keras
“Kan gak apa-apa” ujarku dengan suara lemah, aku takut membuatnya marah
“Pokoknya aku gak mau! Kamu baca itu surat! Lalu berikan aku jawabannya, atau.....” Hana nampak berpikir hukuman apa yang akan diberikan padaku.
“Atau apa?” aku berusaha memandangnya namun aku tak punya keberanian, sehingga pertanyaannku malah mirip bisikan.
“Atau kita tidak berteman lagi!” Hana menatap mataku tajam, aku tertikam, terdiam, keringat dinginku mulai bermunculan dan aku mengangguk mengiyakan, menyanggupi membaca dan membalas surat itu. Demi melihatku demikian Hana tersenyum, menepuk bahuku beberapa kali lalu meninggalkanku begitu saja. Aku termangu memandang surat merah jambu itu. Dan tentu saja aku menolak Rita menjadi pacarku.
Sejak itu Hana berlaku seperti tukang pos pribadiku. Menghubungkan cewek-cewek yang sedang berbunga-bunga itu denganku. Dan jawabanku tetap sama, tidak. Aku tidak bisa menerima cinta cewek manapun. Cukup bersamanya. Cukup dengannya. “Hey Yan, mengapa tidak ada satu pun yang kamu terima ?” tanya Hana suatu ketika, sambil menikmati es campur di taman kota
“Terima apanya ?” aku balik bertanya, pura-pura blo’on
“Cintanya” ujarnya sambil mendaratkan gulungan kertas ke kepalaku
“Gak ah. Lah kamu juga begitu” ujarku datar
“Hehe, males ah. Wasting time. Lagian kan udah ada Ryan Hadiatma, teman aku yang paling sweet sedunia” ujarnya sumringah, hatiku membuncah gembira mendengarnya, aku tersenyum lebar.
“Alah....gombal” cibirku
“Ya udah kalau gak percaya, gak masalah buat aku. Yang jelas, kamu gak bakalan bisa dapat teman kayak aku, cam kan itu man....hehehe” gayanya percaya diri
“Iya deh iya.....kamu tak tergantikan deh...” aku mengalah saja, tapi aku mengatakan yang sebenarnya, dia memang tak tergantikan, hingga saat ini. Hingga aku merasa sakit karena rinduku.
Tiba pada titik dimana aku ingin ia mengerti akan adanya aku di sisinya. Aku pun menuliskan sepucuk surat untuknya. Surat cinta pertamaku, kelas 3 SMP. Tertuju kepada Baiq Hana Fadila, ketua kelas 3 – 1, mantan ketua OSIS yang kini menjabat sebagai ketua Majelis Permusyawaratan Kelas, yang dihormati kawan disegani lawan, disayangi bapak ibu guru. Kutulis surat itu dengan hati-hati supaya terlihat rapi. Kutumpahkan semua isi hati dengan bahasa yang menurutku indah. Dan jadilah dua halaman deskripsi rasaku padanya. Selanjutnya aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk menyampaikan surat itu padanya. Namun aku tak pernah sanggup berhadapan dengannya dalam kondisi seperti ini. Matanya terlalu tajam untuk kutatap. Senyumnya terlalu manis hingga membuatku mabuk, limbung. Tutur katanya jika beretorika terlalu tinggi untuk kupahami. Menyadari kekuranganku, surat itu pun aku titipkan pada Dela, teman duduknya.
Perasaanku campur aduk menunggu jawabannya. Aku mulai mengambil jarak darinya. Sehari....dua hari....tiga hari, seminggu,terasa lama sekali. Dan belum juga ada balasan. Aku mulai curiga, berprasangka, jangan-jangan suratku tidak sampai. Benar saja, teman duduknya mengembalikan surat itu padaku dalam kondisi seperti semula. Rupanya Dela menaruh hati padaku. Aku menepuk jidatku.
Tak berlama-lama terpaku, aku mencari akal. Hari itu juga Aku meminjam buku catatan Hana, ku selipkan surat itu ke dalam catatannya. Aku harap-harap cemas saat mengembalikan catatan itu, semoga saja tersampaikan deskripsi rasaku yang dua halaman itu. Dua hari kemudian Hana memintaku berkunjung ke rumahnya, ba’da Isya.
“Isi suratmu jelek sekali. Makanya sering-sering membaca, supaya kosakata mu berkembang dan tidak murahan” ucapnya datar, bak kritikus cerpen, sementara aku tertunduk salah tingkah.
“Ini juga sama saja” Hana mendudukkan sebuah dus air minum Aqua yang berisi amplop berbagai warna, bentuk dan aroma ke pangkuanku. Aku menatapnya penuh tanya
“Kau buka saja, baca sendiri” ujarnya, mirip perintah. Aku ternganga, bukan karena banyaknya surat cinta itu tapi sikap Hana yang sangat biasa, seakan surat cintaku adalah latihan menulis surat cinta.
“Aku menolak semua surat cinta itu, tau kenapa ?” Aku menggeleng lemah, pasrah
“Karena mereka beraninya hanya lewat surat. Kamu juga, sama saja ! “ Hana cemberut. Kami terdiam, masing-masing sibuk dengan diri sendiri. Aku ingin mendapat penjelasan lebih. Apa iya hanya itu alasan ia menolak semua lelaki yang mengiriminya surat cinta. Namun lidahku kelu, aku lemah, putus asa. Ia menghela nafas panjang, ada irama kecewa dalam helaan nafasnya.
“Aku rasa sudah jelas, Yan. Pulanglah, aku sudah mengantuk” ujarnya sambil berdiri lantas masuk ke dalam rumah, meninggalkanku yang termangu sendiri di teras samping rumah besar itu. Aku beranjak dengan berat hati. Malam itu, aku tak bisa tidur dan aku menangis. Ah....aku lelaki cengeng.
Sejak malam itu, aku menghindarinya. Aku berangkat sekolah melalui jalan memutar. Aku menghabiskan waktuku dengan teman-teman di tim basketku meski ujian nasional sebentar lagi. Aku tidak lagi aktif di kepengurusan MPK, karya ilmiah dan sejenisnya yang sering dihadiri Hana. Hana terlihat sama sekali tidak terpengaruh. Jika bertemu denganku, dia tetap menyapaku seperti biasa. Yang ada, aku jadi salah tingkah dibuatnya. Kami semakin jarang bersua karena sibuk dengan kegiatan masing-masing. Hingga akhirnya kami terpisah saat melanjutkan ke SMA. Hana melanjutkan ke SMA 1 dan aku ke SMA 2 demi menghindari Hana. What a crazy decision. Broken heart can be that bad. Want it but refuse it in the same time.
Di SMA sama saja, surat-surat cinta, canda tawa dan drama gadis-gadis yang menyukaiku masih tersaji di sekelilingku, tapi semua terasa hampa. Aku merasa sendiri.
“Masih sama Yan ?” tanya Ardhi ketika melihat reaksiku disodorkan surat cinta dari fansku. Aku tersenyum kecut.
“Mengapa tidak kau coba lagi “ saran Ardhi
“Sometime someone need to arrange their feeling” lanjut Ardhi
“Jadi tidak ada salahnya mencoba lagi” Ardhi menepuk bahuku.
Berhari-hari aku memikirkan usul Ardhi. Ya ada benarnya juga. Mungkin Hana belum siap menjadi kekasihku. Mungkin dia butuh menata hati.
Aku memantapkan diri, kali ini harus berhasil. Dia ingin aku mengutarakan perasaanku padanya face to face ? Akan Aku lakukan.
Sehari setelah Ujian Nasional berlalu, aku berkunjung ke rumah Hana. Rumah yang pura-pura aku abaikan selama tiga tahun masa SMA ku. Rumah yang sering ku intip dari rumah sebelahnya demi melihat kelebat Hana. Senyum bundanya Hana menyapaku, dan mempersilakan aku duduk. Beliau terlihat sumringah melihatku, katanya aku seperti anak hilang yang pulang ke rumah. Tak berapa lama Hana keluar sambil memegang sebuah novel Agatha Cristhie. Bunda masuk ke dalam, memberi ruang untukku dan Hana bertukar pikiran dan cerita, mungkin demikian, itu tebakanku saja. Dengan hati-hati aku ungkapkan perasaanku. Sekarang aku bernyali, aku mampu mengontrol bicaraku. Sesekali aku menatapnya yang tak menatapku sama sekali. Hana mendengarkanku namun tak menatapku. Selesai aku bicara, sejenak Hana menutup mata, menghela nafas.
“Sekarang ini sulit bagiku menerimamu sebagai kekasih, Yan” ujar Hana, tetap tidak memandangku, tapi tatapannya tajam menghujam ke ujung teras
“Setidaknya kau beri aku kesempatan, sekaliiiiii saja Na. Biarkan aku berlaku sebagai kekasihmu. Sekali saja Na” Aku memohon, mengiba, tapi sambil berbisik, malu terdengar oleh orang tua Hana.
“Jangan-jangan, kamu sudah memiliki kekasih Na” tuduhku tajam, lantas membuang pandangan pada lantai keramik teras. Memandangi pola-pola keramik yang semakin lama terlihat berserabut seperti serabutnya rasaku.
“Dalam hal yang kau maksud kekasih adalah aku berkasih-kasihan dengan yang manusia, aku sedang tidak melakukannya sekarang. I said, It wasting time.” Hana mengalihkan pandangan ke arah tiang penyangga atap teras.
“Aku merasa cukup dengan Yang Maha Membuat Kasih, Yang Membuat Cinta. Jika Yang Maha Membuat Kasih dan Cinta itu berkehendak aku berkasih-kasihan dengan yang manusia, maka aku InshaAlloh akan menjalaninya dengan seutuhnya. Tapi rasanya, sekarang bukan waktunya” ucap Hana. Aku sulit mencerna kata-kata yang baru saja aku dengar. Tidak menyerah, aku mulai memohon lagi.
“Hana pleasee......sekaliiii saja” aku mengiba
“Apa yang kamu harapkan jika aku menjadi kekasihmu ? Apa yang akan kamu lakukan ? Kau akan mencintaiku sepenuh hati ? Menyayangiku segenap jiwa ? Membantuku menyelesaikan masalah-masalahku ? Atau kau akan merasa ada teman berkeluh-kesah ? Kau merasa rindumu jelas tujuannya ? Cintamu jelas tujuannya ? Akan ada pelipur lara mu ?” Hanna memberondongku dengan pertanyaan-pertanyaan yang jawabanku semuanya adalah iya. Aku mengangguk mengiyakan setiap kali pertanyaan-pertanyaan itu diluncurkan.
Hanna menghela nafas panjang.
“Mainstream man. Kembalikan cinta dan rasamu pada Yang Maha Membuat Cinta, Yang Maha Membolak balik rasa” ujarnya, seperti biasa bernada perintah, keras dan tegas, meski volume suaranya dikecilkan.
Aku tercekat, terdiam. Sungguh aku tidak memahami logika berfikirnya.
“Pantaskan saja dirimu. Aku pun demikian. Orang baik akan berjodoh dengan orang baik. Dan jika berjodoh tentu kita akan dipertemukan kembali olehNya. Aku tidak mau menjalani hubungan sia-sia semacam itu” tegas Hana sambil berdiri dari duduknya, beranjak meninggalkanku yang terluka, perih, sakit. Aku yang telah menolak sekian banyak cinta gadis-gadis, demi menjaga cintaku pada Hana, malam itu ditolak mentah-mentah dengan dasar yang aneh. Aku merasa sesuatu yang tajam menikam-nikam hatiku, menyayat-nyayat hatiku lantas menyiraminya dengan air garam. Pandanganku nanar, aku limbung. Aku tidak beranjak dari tempat dudukku. Aku tertunduk memegangi kepalaku dengan kedua tanganku, mencoba mengembalikan kekuatanku untuk pulang. Saat itu, usapan lembut mendarat di kepalaku. Tangan kekar itu kemudian mengusap-usap bahuku. Aku menatap pemilik tangan itu yang tersenyum, berusaha menguatkanku. Beliau menepuk-nepuk pundakku dengan penuh kasih.
“Sesungguhnya semuanya ini milik AllohSWT. Semuanya, bahkan rasamu dan juga rasa yang dimiliki Pe Hana. Mendekatlah kau kepada penguasa rasa itu anakku” kalimat yang meluncur dari mulut Lalu Sulaiman Abdalla ayah Baiq Hana Fadila mampu memberi kesejukan dalam hatiku, memberiku kekuatan untuk berdiri, berpamitan dan pulang.
Sejak perbincangan itu, aku belajar mengembalikan rinduku pada Yang Haq. Namun itu membuatku semakin rindu, teramat rindu pada seorang manusia bernama Baiq Hana Fadila binti Lalu Sulaiman Abdalla, hingga saat ini.
Lombok Timur, 17 Februari 2021
#T16
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Keren Bunda ulasannya
Terima kasih