Mudik adalah moment yang kami tunggu-tunggu. Bertemu dengan Aki, Nini, Bibi, Mamang dan saudara-saudara yang lain merupakan hal yang dinanti. Rumah Aki pasti ramai dengan kehadiran anak-anak dan cucu-cucunya. Tentu kamilah yang paling ditunggu-tunggu. Karena hanya kami yang menetap di luar pulau jawa, sehingga tidak bisa mudik setiap tahun. Disamping itu, oleh-oleh yang kami bawa sangat menggiurkan. Sebutlah cumi kering, terasi Lombok, madu Sumbawa, telur asin, temerodok, dodol dan manisan rumput laut, kacang mete serta beberapa kain tenun Pringgasela.

Orang tuaku memilih transportasi darat menggunakan kendaraan pribadi supaya kami dapat menikmati pemandangan yang dilewati. Disamping itu bisa lebih bebas memilih tempat dan lamanya istirahat. Perjalanan darat seperti itu kami tempuh selama tiga hari dua malam.

Kedatangan orang jauh membuat rumah Aki tambah ramai dikunjungi sanak saudara. Siapapun yang datang selalu bertanya ke ibuku “sabaraha lami dina perjalanan ?’’ dan dijawab oleh beliau “tilu dinten dua wengi”. Kata sabaraha begitu melekat di ingatanku. Aku belum tahu artinya hingga suatu hari aku diminta ke warung dekat rumah berbelanja. Pemilik warung mengenalku dengan baik, saat beliau bertanya “sabaraha neng?” spontan aku menjawab “tilu dinten dua wengi.” Bi Encum yang menemaniku berbelanja tertawa terpingkal-pingkal. ”Teteh…..maksudnya, berapa yg mau teteh beliiiii” ujar Bi Encum. “Oalah…..”aku menepuk jidat sambil tertawa.