(… lanjutan)

Aruna dan Buana mengetuk bersamaan pintu ruangan Bapak Wira.

“Selamat siang, Pak.”

“Ya, selamat siang. Ada yang bisa Bapak bantu?” tanya Bapak Wira.

“Kami melihat di mading sekolah ada pengumuman lomba dalam rangka Hari Pendidikan Nasional, Pak.” jelas Buana.

“Ya benar. Bapak yang pasang kemarin. Kalian ikut juga ya. Kalian mau ikut lomba yang mana?” tanya Bapak Wira.

“Ya, Pak. Kami mau ikut lomba sepeda hias, Pak.” sahut Buana.

“Oh boleh saja. Tapi ada persyaratan khususnya.” jelas Bapak Wira.

“Apa persyaratannya, Bapak?” tanya Buana.

“Peserta lomba sepeda hias wajib membawa sepeda sendiri karena pihak sekolah atau panitia tidak menyediakan sepeda.” Bapak Wira memberikan penjelasan.

“Sepeda yang diperbolehkan yang seperti apa ya?” tanya Buana.

“Sepeda yang besar ya. Kalian punya kan?” tanya Bapak Wira.

“Saya punya sepeda besar di rumah.” jawab Buana.

“Aruna, kamu bagaimana? Mengapa diam saja dari tadi? Kamu mau ikut lomba apa?” tanya Bapak Wira.

“Tidak apa-apa, Pak. Saya juga mau ikut lomba sepeda hias. Saya punya sepeda besar di rumah.” jawab Aruna.

“Baguslah. Jadi sekolah kita dapat mengirimkan peserta lomba lebih banyak lagi.” balas Bapak Wira.

“Baik, terima kasih penjelasannya ya Bapak. Tolong daftarkan saya dan Aruna ya Pak.”

“Baik, nama kalian sudah Bapak catat. Persiapkan sepeda kalian sebaik-baiknya ya. Nanti akan ada seleksi sepeda. Bagi yang sepedanya memenuhi syarat, layak pakai baru diikutkan lomba. Nanti tunggu pengumuman selanjutnya ya.”

“Baik, Pak. Kami mohon ijin pamit ke kelas.”

Selesai bertemu Bapak Wira, Aruna berpikir keras agar ia bisa mengikuti lomba sepeda hias dan bisa menjadi juara. Sesampainya di rumah, ia tidak bisa tidur siang. Ia memikirkan sepedanya. Rem sepedanya sudah tidak berfungsi. Ban depannya botak. Ban belakangnya goyang tak stabil. Begitu banyak kerusakan sepeda Aruna.

(bersambung…)

#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-85)