Gede Ardiantara

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Aku Bukan Musuhmu (3)

Aku Bukan Musuhmu (3)

(… lanjutan)

Ia murung melihat kondisi sepedanya seperti itu. Laki-laki yang bercita-cita memiliki prestasi itu mendadak pesimis. Apalagi jika ia ingat keputusan yang diambil Bapak Wira untuknya saat lomba gerak jalan tahun lalu. Karena hal kecil yang tidak disengaja, ia dipecat dari tim gerak jalan sekolah. Baginya itu keputusan yang buruk dan merugikannya. Ia batal menyumbangkan prestasi untuk sekolah. Ia kalah sebelum berlomba. Sakit dan memalukan. Ia tidak mau kejadian itu terulang lagi saat lomba sepeda hias nanti.

Pagi itu ia sengaja berangkat sekolah lebih pagi 30 menit dari biasanya. Ia memarkirkan sepedanya di tempat parkir yang disediakan sekolah. Pagi itu masih sangat sepi. Tempat parkir baru terisi 2 sepeda, termasuk sepeda miliknya. Ia bebas memilih tempat untuk sepedanya. Aruna buru-buru menaruh tasnya di kelas. Kemudian kembali lagi ke tempat parkir.

Ia memilih duduk di taman sekolah, tepat di depan parkir sepeda. Pandangannya tak lepas dari tempat parkir. Sepeda-sepeda yang baru tiba ia telanjangi dengan tatapan matanya yang tajam. Kemurungannya semakin menjadi tatkala melihat sepeda siswa yang lain bagus-bagus, banyak sepeda yang memenuhi syarat perlombaan. Termasuk sepeda Buana juga sangat layak mengikuti perlombaan sepeda hias.

Tak kuat menerima kenyataan bahwa sepeda teman-temannya sangat layak, Aruna kembali ke kelas. Ia duduk di bangkunya. Matanya berkaca-kaca. Buana melihat temannya itu sedang bersedih.

“Ada apa, Aruna? Mengapa kamu bersedih pagi ini?” tanya Buana.

“Ah, tidak ada apa-apa. Aku hanya masih mengantuk saja.” elak Aruna.

“Jangan berbohong, Aruna. Aku tahu. Matamu tidak bisa berbohong. Aku ini temanmu, ayo ceritalah.”

“Tidak. Tidak ada apa-apa. Sudah ya. Aku mau ke zona pembersihanku.” Aruna enggan bercerita dan memilih pergi.

“Aruna….” panggil Buana

Aruna tidak mengindahkan panggilan Buana. Ia terus berlari dengan sapu dan tongkat pel di tangannya. Buana kebingungan melihat tingkah laku sahabatnya itu. Ia tak tega melihat temannya sedang bersedih atau dalam kesusahan.

Bel pulang sekolah berdering kencang. Seluruh siswa berlarian, berlomba-lomba ingin segera tiba di rumah. Lapar menjadi faktor utama. Aruna juga begitu. Ia tak bertegur sapa dengan Buana dan teman-teman lainnya. Padahal biasanya Aruna selalu berjalan pelan-pelan ke tempat parkir bersama teman-temannya itu. Buana tidak berani menghentikan langkah Aruna. Ia khawatir sahabatnya itu emosi dan berujung dengan perkelahian.

Terlihat dari balik jendela kelas, Aruna sudah mengayuh kencang sepedanya. Bahkan hampir menabrak siswa-siswa yang berjalan kaki. Siswa perempuan banyak yang histeris karena hampir ditabrak Aruna. Saat hendak keluar kelas, Buana menemukan sebuah buku tulis di pintu masuk kelasnya. Tak butuh waktu lama untuk mengetahui pemiliknya. Sebab wali kelas sudah mewajibkan siswa untuk menyampul buku dengan rapi dan menuliskan nama, kelas, dan alamat rumah. Buku itu milik Aruna. Buana memasukkan buku Aruna ke dalam tas dan kemudian pulang.

(bersambung…)

#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-86)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post