Gede Ardiantara

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Dari Balik Jendela (1)

Dari Balik Jendela (1)

“Ibu, Aruna mau berangkat sekolah.” ucap Aruna pada Ibunya.

Ibunya yang sedang merapikan jemuran segera menghampiri Aruna.

“Ya, Aruna. Nasi bekalmu sudah disimpan di tas?”

“Sudah, Ibu. Terima kasih ya.”

“Ya. Hati-hati, Aruna. Jaga dirimu ya. Jaga emosimu.”

Aruna mengangguk seraya mencium tangan Ibunya. Tepat pukul 10.00 Wita Aruna berangkat sekolah. Padahal sesungguhnya ia diharuskan tiba di sekolah minimal pukul 12.00 Wita. Tapi Aruna selalu berangkat 2 jam lebih awal.

Ini adalah hari ke 5 Aruna tidak disibukkan lagi menembus kemacetan pagi di Jalan Danau Tempe. Pukul 10.00 Wita jalanan sangat lengang. Dengan bebas Aruna bisa melaju. Kurang dari 10 menit Aruna sudah tiba di parkiran sepeda SD Sawit Persada.

Saat-saat itu adalah saat baru selesai jam istirahat. Jadi siswa yang sekolah pagi sudah kembali ke kelas. Aruna belum bisa masuk kelas IV-A karena ruang kelasnya masih dipakai kelas III-A. Aruna sering mengintip kegiatan belajar di kelas aslinya, kelas IV-U. Itu ia lakukan secara sembunyi-sembunyi dari balik tanaman cemara yang rimbun.

Kadang-kadang ia mengintip dari sela-sela jendela paling belakang di sisi timur. Ia tak berani melintas di teras kelas IV-U. Ia tak ingin dilihat oleh teman-temannya apalagi Ibu Suli, wali kelasnya.

Dalam pengintaiannya, ia sering merenungi nasibnya. Seandainya saja Sudar tidak menuduhnya, tidak akan ia berpanas-panasan berangkat ke sekolah. Keringatan mengayuh sepeda kesayangannya. Seragamnya sering basah. Badan bocah kelas IV SD itu sering berbau jelek akibat keringat. Wajah dan tangannya menghitam.

Di kelas barunya, IV-A, Aruna diterima dengan baik. Semua ramah padanya. Ia duduk sebangku dengan Rudi. Di depannya ada Eko bersama Lea dan di belakangnya ada Parto bersama Eka. Bapak Merta, Wali kelas IV-A juga menerima kehadiran Aruna.

“Aruna, kamu sudah mengerjakan PR Matematika?” tanya Rudi.

“Sudah, Rudi. Kamu sendiri bagaimana?”

“Syukurlah. Aku juga sudah.”

“Aruna, boleh aku menyontek PRmu?” pinta Eka dari arah belakang.

Aruna kaget mendengarkan permintaan Eka. Baru kali ini dia mendengarkan permintaan seperti itu. Dari kelas I sampai di kelas IV-U, Aruna belum pernah sekalipun melihat atau mendengar temannya menyontek PR. Jangankan menyontek PR, mengerjakan PR di sekolah saja ia tak pernah melihat temannya melakukan itu. Aruna benar-benar kaget.

“Mengapa kamu menyontek PR milikku, Eka?” tanya Aruna.

“Ah palingan dia malas mengerjakan, Aruna.” sela Rudi.

“Mengapa malas? Bukankah mengerjakan PR merupakan kewajiban kita sebagai siswa? Seharusnya PR itu juga dikerjakan di rumah bukan di sekolah, apalagi sudah jam masuk kelas.” jelas Aruna.

“Ya, aku memang malas mengerjakan PR Matematika. Memang apa keberatanmu, Rudi?” balas Eka.

“Tidak ada! Itu urusanmu.” jawab Rudi.

“Ya sudah. Kamu jangan ikut berkomentar.” tegas Eka.

“Sudah. Sudah. Kalian jangan bertengkar.” Aruna melerai dua teman barunya.

“Aruna, boleh aku pinjam PRmu?” tanya Eka kedua kalinya.

“Maaf, Eka. Aku tidak bisa meminjamkan PRku.” Aruna meminta maaf.

“Ah dasar sombong. Pelit!”

“Bukannya aku sombong dan pelit tapi aku tidak mau berbuat dosa dengan membiarkanmu menyontek jawabanku. Nanti aku bisa berdosa telah membuatmu menjadi tidak mandiri, tidak bertanggung jawab, dan semakin tidak memahami materi pelajaran” jelas Aruna.

“Ah dasar sombong! Kamu itu cuma anak pindahan di kelas ini kok sombong sekali?” tanya Eka kesal.

“Maafkan aku, Eka. Aku tahu aku hanya menumpang di kelasmu ini. Aku tetap tidak bisa meminjamkan PRku.” Aruna minta maaf.

Tanpa berkata apa-apa, Eka melempar kepala Aruna dengan botol minuman air mineral 1,5 liter yang masih berisi air setengah botol. Rudi kaget bukan main. Tampak Aruna sudah mengepalkan tangannya.

“Eka, mengapa kamu melempar Aruna? Kamu tidak tahu Aruna itu siapa?”

“Siapa suruh dia jadi manusia sombong? Memangnya dia siapa? Anak manusia kan?”

“Dia itu tukang berantem. Siapapun yang mengganggunya, akan dia pukul juga. Kakak kelas pun dilawannya. Ia tak pernah mengganggu orang. Tapi jika diganggu, dia akan membela diri.”

“Aku tidak peduli. Sini, pukul aku kalau berani!” tantang Eka.

Aruna yang dari sejak dilempar tadi terlihat sudah mengepalkan tangannya. Matanya sudah menatap tajam Eka. Seakan-akan sedang menelanjangi Eka. Tanpa sadar Aruna sudah menendang meja yang ada di antara dia dan Eka. Meja pun terjungkir. Isi laci meja sampai terjatuh di lantai. Tas yang berada di atas meja juga berserakan isinya di lantai.

(bersambung…)

#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-41)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post