Dari Balik Jendela (2)
(... lanjutan)
Suasana kelas tiba-tiba mencekam. Siswa perempuan kaget dan berhamburan keluar kelas. Rudi berusaha mendekati Aruna. Tapi ia tak berani melerai.
Aruna tetap berdiri tegak dengan tangan mengepal. Matanya tetap menatap tajam ke arah mata Eka. Aruna tidak terima kepalanya dilempar botol minuman. Ia merasa harga dirinya sedang diremehkan. Ia tak pernah mengganggu orang lain. Ia sudah menolak secara baik-baik permintaan menyontek Eka.
Terjadi konflik batin dalam diri Aruna. Aruna ingat pesan Ibunya agar menjaga diri dan menjaga emosi. Pesan Ibunya terus membayangi. Belum lagi pesan Ibu Suli. Ia dilema. Di satu sisi ia bermaksud membela harga diri dan membuat Eka jera agar tidak kurang ajar kepada siapapun. Tapi di sisi lain, ia dibayangi oleh pesan dari dua perempuan yang sangat peduli pada dirinya.
Aruna mengalihkan pukulan ke meja yang ada di sebelah kanannya. Rudi diam seribu bahasa. Eka pun terlihat kaget, bergerak mundur sekitar 2 langkah.
Aruna menyampaikan pesan kepada Eka.
“Eka, hati-hati bersikap. Tidak semua orang menyukai sikap kurang ajarmu itu. Kalau bukan karena aku masih menghargai Ibuku dan Ibu Suli, kamu sudah aku pukul.” jelas Arung.
Eka hanya diam mendengarkan Aruna. Aruna pun berlalu meninggalkan ruang kelas. Ia menuju kamar mandi sekolah untuk cuci muka. Sekembalinya Aruna dari kamar mandi, suasana kelas IV-A sudah seperti biasanya.
Sepulang sekolah ketika Aruna hendak ke parkiran sepeda, ia dikejar-kejar oleh Eka. Suara langkah kaki Eka begitu besar. Lantai keramik bergetar karenanya. Ia berlari mengejar Aruna.
“Aruna, tunggu aku.” teriak Eka.
Mendengar ada suara yang menyebut namanya, Aruna berhenti dan membalikkan badan mengarah sumber suara.
“Aruna, aku yang memanggilmu.” ucap Eka.
“Oh kamu Eka. Ada apa?”
“Aku mau minta maaf atas kekasaranku tadi siang.” Eka meminta maaf.
“Ya sudah aku maafkan kok.” balas Aruna.
“Benarkah? Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu tindakan itu sangat salah. Sekali lagi, aku minta maaf.”
“Ya tidak apa-apa. Lain kali jangan diulangi ya. Aku tidak mau meminjamkan PR ku itu ada maksud dan tujuan yang positif. Aku mau kamu semangat belajar. Aku tidak mau kamu menjadi siswa yang manja, tidak mandiri, dan tidak bertanggung jawab terhadap tugasmu sebagai seorang siswa.” jelas Aruna.
“Terima kasih sudah mau memaafkanku, Aruna. Sekarang aku paham tujuanmu tadi. Aku menyesal tidak berpikir jernih terhadap penjelasanmu tadi siang. Aku terlalu mengedepankan emosiku. Sampai-sampai aku melempar botol air ke arahmu.” ucap Eka.
“Ya, sama-sama. Hari sudah semakin sore. Mari kita pulang. Jangan membuat panik orang tua kita. Kamu pulang sama siapa?” tanya Aruna.
“Aku biasa jalan kaki. Tidak ada yang menjemput karena memang di rumah tidak ada kendaraan apapun, sepeda gayung maupun sepeda motor.”
“Rumahmu dimana?” tanya Aruna.
“Di Gang Durian. Kamu tahu?” jawab Eka.
“Aku tahu Gang Durian. Ternyata kita satu arah. Ya sudah, ayo kita pulang sama-sama. Aku bonceng kamu.”
“Benarkah kamu mau memboncengku? Membonceng orang yang telah melemparmu dengan botol?”
“Ya, benar. Ayo kita berangkat.”
Hari itu Aruna bisa mengendalikan emosi dirinya. Bahkan sungguh mencengangkan ia bisa menerima permohonan maaf dari orang yang telah mengusik harga dirinya. Terjun bebas Aruna di kelas siang telah mengarahkan Aruna untuk belajar lebih banyak tentang dirinya dan orang lain.
(bersambung...)
#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-42)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar