Dari Balik Jendela (4)
(… lanjutan)
Ayah Aruna tampak sibuk membalas satu per satu pesan singkat di HPnya. Setelah membalas pesan di HPnya, tak lama kemudian Ayah melanjutkan kembali pembicaraannya dengan Aruna.
“Seperti sekarang ini. Aruna dipindahkan belajar ke kelas siang. Itu karena pihak sekolah menilai bahwa Aruna telah melanggar aturan sekolah. Ayah berharap setelah menjalani masa hukuman sekolah siang, Aruna bisa berubah menjadi siswa yang benar-benar siswa. Siswa yang sopan. Aruna yang disiplin dan bertanggung jawab. Siswa yang beriman dan bertakwa. Siswa yang ikut serta menjaga ketertiban dan keamanan sekolah. Anak yang bisa menjaga nama baik diri sendiri, keluarga, sekolah, desa, dan Negara. Siswa yang berprestasi sesuai minat dan bakatmu.”
“Ya, Ayah. Aruna janji akan berubah menjadi anak yang lebih baik lagi seperti harapan Ayah dan Ibu. Aruna akan lebih menjaga diri dan emosi Aruna.”
“Ya, Aruna. Ayah tunggu buktinya.”
Ayah Aruna asyik menyeruput kopi hitam khas Kintamani. Setelah itu beliau melanjutkan pembicaraan.
“Ayah bangga padamu, Aruna.” puji Ayah Aruna.
“Karena apa, Ayah? Dalam hal apa?” Aruna bingung.
“Waktu itu di kelas IV-A, ruang kelas siangmu, kamu mendorong meja. Kamu bertengkar dengan teman sekelasmu. Kamu emosi. Matamu sudah melotot. Tanganmu sudah mengepal keras. Apakah itu benar?” tanya Ayah.
“Benar, Ayah. Ayah tahu darimana? Siapa yang memberitahu, Ayah?” Aruna kaget Ayahnya tahu kejadian itu.
Ayah Aruna tidak mau menjawab pertanyaan Aruna. Baginya, bukan suatu hal yang penting Aruna mengetahui siapa informannya.
“Mengapa kamu sampai mendorong meja dan emosi seperti itu?”
“Eka mau meminjam PR, Ayah. Aruna larang karena itu perbuatan tidak benar. Kan Ayah yang selalu mengingatkan Aruna agar tidak meminjamkan tugas/PR kepada teman-teman yang belum mengerjakan. Kecuali kalau mereka bertanya cara mengerjakannya, berdiskusi, ya tidak apa-apa.”
“Ya benar itu. Jangan membuat temanmu semakin manja, malas, dan tidak bertanggung jawab.” tegas Ayah Aruna.
“Ya, Ayah. Aruna sangat ingat pesan itu.”
“Terus, apa yang terjadi?” tanya Ayah Aruna.
“Ia marah dan melempar kepala Aruna dengan botol air mineral ukuran 1,5 liter yang masih berisi air setengahnya. Aruna tidak terima Eka berbuat seperti itu. Itu artinya ia telah merendahkan Aruna.”
“Jadi begitu kejadiannya. Terus mengapa Aruna tidak jadi memukul Eka? Biasanya kalau kamu diganggu orang, langsung emosi dan memukul orang yang mengganggumu.” tanya Ayahnya.
“Aruna ingat pesan Ibu dan Ibu Guru Suli, Yah. Jadi Aruna hanya mendorong meja yang ada di antara kami. Aruna menahan emosi dan melampiaskannya pada meja yang ada di sebelah Aruna. Terus Aruna pergi ke WC untuk cuci muka.” jelas Aruna.
“Luar biasa, anak Ayah. Kamu hebat. Terima kasih ya Aruna. Kamu sudah mulai belajar mengendalikan emosimu. Kamu sudah bisa lebih bersabar lagi.” ucap Ayah sambil mengacungi 2 jempol ke arah Aruna.
Diacungi 2 jempol oleh Ayahnya membuat Aruna tersipu malu. Dalam hati ia berkomitmen untuk bisa lebih sabar dan lebih cerdas mengendalikan emosi. Meskipun ia tak tahu pasti, dapat melaksanakan atau hanya sekadar komitmen belaka.
(bersambung…)
#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-44)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Seru nih Aruna,meski aku kelewatan 3 episode .salam pak
Terima kasih sudah singgah Bu..