Embun Sari (7)
(… lanjutan)
Embun dan Ayahnya sudah memulai perjalanan yang kurang lebih memakan waktu 1 jam. Mereka melalui jalan-jalan perkampungan. Banyak kampung yang harus dilalui untuk bisa tiba di kota. Tampak perkampungan masih sepi. Embun dan Ayahnya sudah berangkat, tapi orang lain masih tertidur pulas dalam balutan kain panasnya. Sepi. Sungguh sepi jalanan yang mereka lalui. Tak ada deru kendaraan lain.
Sepanjang perjalanan menuju perbatasan sangat gelap. Itu juga yang mereka rasakan di kampung. PLN belum menyentuh perkampungan di pelosok ini. Sungguh menyedihkan nasib kampung-kampung itu. Jauh dari kota. Jauh dari surat kabar. Gelap. Satu tiang PLN pun tak ada yang tertancap di sana. Sungguh menyedihkan.
Tapi syukurnya, kampung-kampung ini masih memiliki Embun Sari, gadis kecil semangat besar. Gadis desa yang tidak terusik oleh keadaan, justru sebaliknya. Ia menerobos segala keterbatasan demi impiannya. Sungguh unik gadis ini. mungkin di belahan Indonesia lainnya juga ada Embun lainnya, tapi pasti jumlahnya masih bisa dihitung oleh jari tangan.
Tiba di perbatasan, Embun menumpangi angkot menuju sekolah. Setelah memastikan anaknya sudah naik angkot, Bapak Jati Wikan pulang ke kampung dan bergegas untuk bekerja di perkebunan. Perjalanan yang memakan waktu 1,5 jam ia lalui dengan senang. Dari kondisi gelap, hingga langit mulai terang. Akhirnya gadis mungil itu sampai sekolah.
Embun tiba disambut bias-bias sinar surya. Ia bergegas menuju kelasnya. Pelajaran demi pelajaran ia ikuti dengan senang hati dan khidmat. Embun pulang sekolah pukul 14.30 WIB. Jadi, ia baru sampai rumah sekitar pukul 17.00 WIB.
Setibanya di rumah, Embun tidak bermain seperti anak kampung lainnya. Ia ganti pakaian dan makan. Lalu membantu ibunya berjualan kue. Setiap sore satu nampan. Membawa kue di atas kepala, ia berjalan keliling kampung sampai menjelang Maghrib.
Malam hari pun masih berjalan seperti yang dulu. Belajar ditemani sinar lilin. Ya, lilin-lilin itu sungguh setia bersamanya. Menjadi saksi Embun belajar dengan giat dan antusias. Embun masih konsisten belajar hingga tengah malaam, sekitar pukul 00.00 WIB.
Embun melewati hari-harinya dengan rutinitas seperti ini. Sekali pun tak pernah terpikirkan dalam otaknya yang cerdas, istilah mengeluh. Bibirnya yang penuh senyum itu sangat merugi jika melontarkan kata-kata keluhan. Ia sangat menikmati hidupnya. Embun senang dengan hari-hari yang ia lalui. Ia bangga bisa melakukan itu semua, meski semua dibalut dengan selimut keterbatasan.
Embun adalah anak yang cepat bergaul. Ia memiliki banyak teman di sekolahnya. Ketika guru mata pelajaran tidak ada, Embun sering memanfaatkan waktu untuk membaca buku di perpustakaan. Daripada bercanda tidak jelas, lebih baik ia membaca buku di perpustakaan, pikirnya.
Tak jarang Ayah dan Ibu menanyakan sekolahnya.
“Embun, bagaimana sekolahmu? Kamu bisa mengikuti pelajarannya, kan?”, tanya Bapak Jati Wikan pada putrinya.
“Baik, Ayah. Pasti bisa, Ayah. Ini semua berkat doa Ayah dan Ibu. Pelajaran yang guruku sampaikan dapat aku pahami dengan baik”, jawab Embun dengan senyum khasnya.
Di lain kesempatan, di sela-sela Embun membantu Ibunya saat pulang sekolah atau hari libur sekolah, Sang Ibu pun selalu mengorek informasi dari putrinya ini.
“Bagaimana sekolahmu, Embun? Sudah berapa junlah temanmu?”, tanya Ibu.
“Baik Bu. Temanku sudah banyak, Bu. Tidak hanya teman seangkatan, tapi kakak kelas juga banyak. Teman-teman selalu baik denganku. Aku senang berteman dengan mereka.” jawab Embun sambil tersenyum-senyum.
“Syukurlah, Nak. Ibu juga berharap dan selalu mendoakanmu agar kamu bisa sekolah dengan baik, berprestasi, tetap menjaga akhlak yang benar, dan memiliki banyak teman. Ciptakanlah prestasi sebanyak-banyaknya, Embun. Dengan berprestasi, jalanmu akan semakin dimudahkan menuju cita-citamu. Sekolah pasti akan menyukai siswa-siswanya yang berprestasi. Berprestasi itu penting, Nak. Kembangkan bakat-bakatmu. Tapi tetap kau tidak boleh sombong. Rendah hati harus tetap menjadi prinsip utamamu. Jangan sampai kamu bisa berprestasi, tapi kamu tidak punya teman. Mereka akan meninggalkanmu karena kamu sombong. Jadi, jagalah teman-temanmu agar tidak menjauhimu, Embun. Kamu mengerti kan dengan maksud Ibu?”.
Embun mengangguk.
“Ya, Bu. Aku mengerti yang Ibu katakan. Embun janji akan berprestasi dan memperbanyak teman. Embun juga akan selalu menjaga sikap dengan benar dan baik.”
(Bersambung ...)
#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-53)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar