Embun Sari (9)
(… lanjutan)
6 tahun sudah Bapak Jati Wikan mengantar Embun menuju perbatasan. 6 tahun sudah ia dan ayahnya menerobos gelapnya kampung menuju terangnya perbatasan. 6 tahun sudah Embun naik angkot 1,5 jam menuju sekolah. Akhinya, waktu pengumuman hasil UN SMA pun tiba. Embun dinyatakan lulus. Hal ini ia sampaikan pada Ayah dan Ibunya setelah makan malam. “Ibu, Ayah, aku lulus UN”, ucap Embun pada orang tuanya.
Bapak Jati Wikan dan istrinya pun mengucapkan selamat secara bersamaan kepadanya. “Usaha belajarmu dengan tekun tidak sia-sia, Nak.” kata Ayahnya.
“Ayah, Ibu, aku ingin jadi dokter. Dokter adalah cita-citaku sejak kecil. Aku ingin menyembuhkan orang-orang yang sakit tapi dengan biaya pengobatan yang murah. Aku tidak ingin melihat orang sudah sakit malah terbebani biaya tinggi, khususnya untuk kalangan menengah ke bawah.”
Bapak Jati Wikan dan istrinya menyimak dengan baik apa yang disampaikan anaknya itu. Akhirnya Ibu Embun angkat bicara.
“Embun, kami sangat memahami cita-citamu itu sungguh mulia. Kau telah berusaha keras untuk dapat mewujudkannya. Kau belajar hingga tengah malam demi jubah putih-putih itu. Kami pun yakin kamu punya kemampuan untuk menjadi seorang dokter seperti yang kau idamkan. Tapi Nak....”. Sang Ibu berat untuk melanjutkannya.
Ibu takut Embun patah semangat.
“Tapi apa, Ibu?”, tanya Embun penasaran.
“Begini, Nak. Sekali lagi Ibu sangat yakin kamu punya otak yang cerdas untuk menjadi seorang dokter. Tapi kamu tahu sendiri kan keadaan keluarga kita? Gaji Ayahmu sebagai buruh perkebunan dan jualan kue buatan Ibu tidak akan bisa untuk membiayai kuliahmu nanti, Nak. Kuliah kedokteran itu biayanya tidak sedikit, Nak. Belum lagi biaya tempat tinggal dan biaya sehari-harimu. Coba pikirkan kembali ya”, jelas Ibunya.
Bapak Jati Wikan ikut berbicara.
“Benar sekali yang Ibumu katakan tadi. Kami bukannya melarang kamu untuk mewujudkan cita-citamu, Embun. Kami hanya memberikan gambaran kondisi keuangan keluarga kita. Ayah rasa kamu sudah sangat mengetahui bagaimana kehidupan ekonomi kita. Coba pikirkan lagi ya.” jelas Bapak Jati Wikan pada anaknya.
Embun mengangguk-anggukkan kepalanya.
“Ya Ayah, ya Ibu. Aku sangat mengerti bagaimana kondisi keuangan keluarga kita. Aku paham itu. Baik, akan aku pikirkan kembali mengenai cita-citaku mengenakan jubah putih-putih itu.” jawab Embun.
“Terima kasih, Embun. Kami yakin kamu bisa sukses di kemudian hari. Kamu akan menjadi sosok yang dibutuhkan negeri ini. Kamu jangan menyerah ya. Mari kita sama-sama memikirkan jalan keluar dari permasalahan yang kita bicarakan tadi. Hari sudah larut malam, sekarang kamu tidur dulu ya.” Bapak Jati memberikan pengertian kepada anaknya.
(Bersambung ….)
#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-55)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar