Kerikil
Suasana siang ini masih lengang. Lalu lalang masih sepi. Tak tahu nanti. Di beberapa sudut tampak petugas kebersihan. Menyapu. Mengepel. Mengelap kursi-kursi besi dan plastik. Dari puluhan kursi panjang, hanya terisi kurang dari 10 kursi panjang. Itu pun tak penuh. Rata-rata ditempati 3 orang.
Untuk membunuh jenuhku, aku mengambil buku dari tas ransel. Kebetulan saat itu aku membawa buku Ni Pollok, Model dari Desa Kelandis. Itu adalah buku pemberian seorang penggiat literasi dari Bali. Setiap bepergian aku selalu menyelipkan satu buku yang sedang atau mau aku baca. Ni Pollok menjadi temanku menunggu burung besiku.
Saat larut dalam kisah Ni Pollok, telingaku menangkap suara-suara. Terdengar suara roda dari koper berbagai ukuran. Bersaing dengan suara sandal dan sepatu yang tak beraturan. Diramaikan juga oleh nyanyian balita yang menggemaskan. Roda koper bergulir ke arah yang dituju sang empunya. Ruang tunggu sudah tak sepi lagi. Dari berbagai arah terlihat manusia berbagai usia dan barang bawaan yang beragam.
Sembari membaca dan mengawasi sekitar, aku menyiagakan telingaku untuk waspada mendengarkan suara cantik dari pusat informasi. Aku tak mau ketinggalan pesawat. Konyol bagiku ketika sudah tiba di ruang tunggu, tapi ketinggalan pesawat.
Menyelami kisah Ni Pollok aku cukupkan. Aku ingin menikmati suasana ruang tunggu. Bagiku, ini langka. Sebab tak setiap hari aku bisa duduk di ruangan ini. Setahun hanya dua kali, kadang satu kali. Bahkan pernah terjadi, tidak ada dalam setahunnya.
Mataku menyelidik dari sudut ke sudut ruang yang beratap tinggi ini. Aku menghentikan pengembaraan mataku di sisi kiriku. Aku menciduk seorang laki-laki tua yang dengan serius memperhatikan seorang anak balita berkelamin laki-laki. Laki-laki tua sangat fokus. Apakah ia Ayah dari anak laki-laki itu? Sempat aku berpikir seperti itu. Tapi faktanya bukan. Ia bukan Ayahnya. Setelah berjalan kesana kemari, anak itu naik ke pangkuan seorang laki-laki tua yang lain. Di sebelahnya ada seorang perempuan yang memberikan susu formula kepada anak tersebut. Sepertinya itu Ibunya.
Laki-laki tua itu sungguh menikmati setiap kelakuan dan gerak gerik anak balita itu. Anak balita itu menampilkan beragam aksi. Ia berlarian kesana kemari. Ia naik ke atas kursi tunggu lalu mengintip HP orang di kursi itu. Koper orang lain ada yang sengaja ia tabrak sampai jatuh. Ayahnya pun sampai kewalahan menjaga anaknya bermain. Kemana balita itu bergerak, ke arah itu juga mata yang mulai keriput itu menjatuhkan pandangan. Sungguh aneh, pikirku. Meskipun begitu, aku tak mau menyimpulkan terlalu jauh apalagi bermuatan hal negatif.
Aku tak ingin menyaksikan tontonan itu seorang diri. Aku mencoba berbicara dengan seorang Ibu di sebelah kananku.
“Selamat siang, Ibu. Namaku Abdi Samudra.”
“Selamat siang juga, dik Abdi. Saya Ibu Kemuning.”
“Maaf, tujuannya Ibu Kemuning, kemana ya?”
“Ibu mau ke Denpasar, Bali. Kamu kemana?”
“Wah, tujuan kita sama, Bu. Aku juga mau ke Denpasar.”
“Baguslah kalau begitu. Ada yang bisa Ibu minta tolong selama perjalanan.”
“hahaha… Siap, bu. Oya Bu, coba Ibu perhatikan laki-laki tua itu.”
“Ada apa dengan laki-laki tua itu, dik Abdi?”
“Dari tadi saya perhatikan, dia selalu mengikuti gerak-gerik anak balita berbaju hijau itu. Kemanapun anak itu berjalan atau berlarian, ia selalu mengamati dari kursinya.”
“Mengapa kamu tertarik menyaksikan tingkah laku laki-laki tua itu?”
(bersambung…)
#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-70)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar