Gede Ardiantara

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kreatif Positif, Mengapa Tidak?

Kreatif Positif, Mengapa Tidak?

Pojok baca? Taman baca? Pondok baca?

Ada apa dengan istilah-istilah tersebut? Apakah kalian masih asing dengan mereka? Saya yakin kalian pasti pernah mendengarnya. Sangat mustahil jika belum pernah mendengar istilah-istilah tersebut. Saat ini saya tidak sedang membicarakan perbedaan ataupun persamaan dari istilah-istilah tersebut.

Istilah pojok baca, taman baca, dan pondok baca sudah membumi di banyak daerah. Seiring dengan massifnya gerakan literasi nasional. Dari tingkat pusat, provinsi, sampai ke desa-desa, ke RT bahu-membahu membangun atau menyediakan tempat baca. Tak ketinggalan juga sekolah. Beragam bentuk tempat baca dibangun. Dari yang mewah dengan campuran semen dan pasir sampai hanya berupa pondok-pondok kayu menyerupai pos kamling. Yang membedakan adalah ada atau tidaknya buku bacaan.

Fasilitas atau kelengkapan pun bervariasi. Ada yang lengkap meja dan kursi. Ada yang hanya meja saja. Ada juga tanpa meja. Ketersediaan buku bacaan juga tak seragam. Itu semua tergantung pada kemampuan dan kreativitas masing-masing pengelola. Sebenarnya itu bukan persoalan yang urgen. Lebih penting adalah menjaga kesinambungan berjalannya gerakan yang positif ini. Termasuk juga dalam penggunaan rak buku. Ada yang memakai lemari besi, lemari kayu, dan masih juga ada yang hanya ditempatkan pada kardus bekas.

Pojok baca Ki Hajar Dewantara yang berlokasi di kelas VII-B dikemas sangat sederhana. Tirai pembatas bukan dengan tirai kain tapi dengan kardus bekas. Seperti yang disampaikan sebelumnya, pengelolaan pondok baca, taman baca, atau pojok baca tergantung dari kemampuan dan kreativitas pengelola. Kardus bekas dipotong berbagai bentuk kemudian dijalin menjadi tirai cantik. Kalau mau membeli tirai yang bagus dan mewah, tentu sangatlah bisa. Tapi saya ingin mengajak anak wali saya untuk berkreativitas memanfaatkan limbah menjadi emas. Saya ingin menjadikan ruang kelas dan sekitarnya ini benar-benar menjadi ruang belajar bagi mereka. Bukan hanya belajar 11 mata pelajaran saja. Tapi belajar banyak hal, termasuk berkreasi dan berinovasi.

Bukan hanya tirai yang dibuat sendiri oleh tangan-tangan kreatif kelas VII-B. Rak buku untuk memajang buku pun diciptakan sendiri. Bukan membeli di toko meubel. Sudah pasti itu memanfaatkan barang bekas. Kami memanfaatkan dirigen bekas minyak goreng ukuran 20 liter. Kami membuat sepasang rak buku. Bukanlah hal yang sulit untuk membuat rak buku tersebut. Peralatan yang dipakai pun mudah didapatkan.

Barangkali masih ada yang kesulitan menemukan ide rak buku yang kreatif dan murah meriah, maka kali ini saya akan mencoba berbagi salah satu alternatif bahan dan bentuk rak buku. Rak buku yang akan saya sampaikan ini adalah model yang dipakai di pojok baca kelas VII-B. Mari disimak!

Bahan:

1. Dirigen bekas minyak goreng ukuran 20 liter. Jumlah sesuai kebutuhan.

2. Potongan kayu papan dengan lebar kurang lebih ukuran buku bacaan ukuran A5. Ini bisa memakai limbah bangunan. Bisa juga diganti dengan potongan bambu. Jumlah disesuaikan dengan jumlah bagian setiap rak.

3. Paku kecil untuk memasang potongan papan.

4. Seutas tali untuk menggantung rak (jika mau digantung).

5. Cat minyak (jika mau dipercantik atau dihias).

Alat:

1. Gerinda untuk membuka dirigen. Jika tidak ada bisa diganti dengan parang atau pisau tajam.

2. Gergaji

3. Palu

4. Gunting

5. Kuas cat

Cara membuat:

1. Cuci bersih dirigen yang akan dipakai. Pastikan tidak ada sisa minyak untuk mencegah bau tak sedap dan merusak buku koleksi.

2. Tiriskan air dan lap sampai kering. Bila diperlukan, bisa dijemur terlebih dahulu. Pastikan dirigen sudah kering.

3. Posisi rak tergantung keinginan. Untuk pojok baca kelas VII-B, rak diposisikan vertikal. Dinding bagian depan dibuka pada sisi atas, kiri, dan bawah untuk menjadi pintu rak. Sisi kanan dibiarkan menempel dengan tujuan sebagai pemegang/engsel pintu. Sebenarnya sisi manapun yang menjadi pemegang/engsel tidak menjadi persoalan. Kembali pada kebutuhan dan selera.

4. Potong limbah kayu papan sesuai lebar dalam dirigen. Ini menjadi dudukan buku saat disimpan di dalam rak. Jumlah dudukan disesuaikan dengan jumlah susunan di dalam rak. Jika mau membuat 2 susun berarti cukup memasang 1 potongan saja.

5. Setelah posisi sesuai dengan yang diinginkan, potongan kayu itu dipaku kuat, kanan dan kiri.

6. Selesailah 1 rak buku.

7. Untuk mempercantik tampilan rak buku, bisa digambar dan diwarnai dengan cat minyak.

8. Rak buku yang sudah siap pakai bisa diletakkan di lantai, bisa diberi tiang, dan bisa juga digantung seperti rak buku di kelas VII-B.

Bagaimana? Caranya sangat mudah, bukan? Alat dan bahan pun mudah diperoleh. Sangat murah meriah. Sebenarnya masih banyak bahan-bahan bekas lainnya yang bisa diolah menjadi rak buku. Misalnya botol plastik air mineral, ban luar bekas, kardus bekas, dan masih banyak lagi. Kita tidak perlu gengsi atau harus memaksa diri memakai bahan yang mahal untuk melakukan sebuah gerakan semassif dan positif ini. Upaya pengembangan kreativitas dan inovasi siswa juga perlu menjadi pertimbangan. Salam kreatif. Salam literasi.

#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-37)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post