Mutiara (2)
(lanjutan)
Aksi Unu ketiga yang membuatku terpaku adalah semangat belajarnya yang tinggi. Sejak Bulan Januari 2013 aku sudah mulai meninggalkan kompor minyak tanah, kualihkan hatiku pada tungku kayu bakar. Otomatis aku memasak di dapur orang tua angkatku. Di dapur yang masih beralaskan tanah, Unu sering “mengawasiku” ketika memasak. Mungkin ia penasaran dengan masakanku atau jangan-jangan mau mencoba mencicipi masakanku. Inisiatifku pun muncul kala itu. Sambil menunggu masakanku matang, aku ajak Unu untuk belajar, meskipun aku tidak mengatakan padanya ayo sekarang kita belajar Unu. Aku tak mau memakai istilah belajar, takutnya ia malah lari. Tapi untuk memudahkanku dalam menceritakan kejadian itu, ku sebut saja dengan belajar, ya belajar secara kondisional tentunya.
Ketika Unu sudah duduk di dekatku, betapa senangnya hatiku. Aku bisa menjadi bagian pemberi dasar pengetahuan bagi si laki-laki ini. Unu adalah anak cerdas. Oke, belajar ku mulai. Unu kuminta untuk mencoba menghitung jumlah bilahan bambu yang ada di bale-bale tempat duduk. Lanjut menghitung tumpukan batu bata dinding dapur, menghitung piring, sendok, pisang yang ada di dapur, menghitung jari kaki dan tangan, dan benda-benda lainnya yang ada di dalam dapur. Untuk anak seusianya, ia sudah menghitung dengan baik. Ia termasuk sosok pekerja keras. Menariknya lagi, ketika ia lupa sudah hitungan berapa atau merasa salah menghitung di tengah jalan, atau setelah dia menghitung aku katakan kurang benar dan coba lagi Unu, dia pun menghitung kembali dengan semangat tinggi dan sambil tersenyum khas anak-anak. Lagi-lagi, terpesona aku dibuat oleh Unu.
Tak hanya itu saja, selang beberapa waktu setelah itu, aku mencoba kembali mengajaknya untuk “belajar”, ia pun mengiyakan. Kali ini aku ajak dia berlatih menulis angka. Awalnya ku berikan ia contoh. Selanjutnya ia mencoba sendiri. Dan ternyata ia bisa, walaupun masih kaku, bentuk belum rapi, dan masih mencontoh. Tahukah media apa yang aku dan Unu gunakan belajar menulis? Kami menggunakan patahan kayu kering sebagai pensil/pena dan tanah alas dapur menjadi kertas kami saat itu. Tak kusangka dengan cepat Unu mampu menulis angka, meskipun baru angka 1-4 saja. Bagiku bukan banyak angka yang perlu Unu tulis saat itu, karena terlalu banyak beban menurutku akan membuatnya bosan dan malas. Cukup empat (4) angka saja, tapi ditulis berulang-ulang, sehingga ia lebih ingat dan paham, itu yang baik menurutku. Unu menulis ulang angka 1-4 sebanyak 20 kali. Ia menulis dengan semangat, jika ada yang salah tulis langsung ia hapus dengan tangan, dan menulis kembali yang benar. Benar-benar Unu adalah anak laki-laki yang cerdas. Belajar di dapur itu tidak hanya 1-2 kali saja, tapi sudah seringkali kami lakukan.
(bersambung….)
#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-101)
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Sukses ya , tulisan yang mantap
Mantab sekali