Gede Ardiantara

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Seandainya Aku Menjadi Dia, Mampukah Aku?

Seandainya Aku Menjadi Dia, Mampukah Aku?

Sore ini aku berjumpa dengan penjual sayur keliling. Dari raut wajahnya terpancar kelelahan yang belum terbayar. Sedari pagi melanglang buana, menyusuri lorong-lorong perumahan. Daun-daun segar berubah layu. Hijaunya nan terang tampak memudar termakan panas bumi.

Tak berselang lama, aku bertemu dengan penjual ikan keliling. Berhari-hari tanpa henti ia menyeruak masuk jalan utama. Klakson berbunyi terus-menerus adalah identitasnya. Pertanda Sang penjual ikan mendekat. Tampaknya itu sudah kesepakatan penjual ikan satu kecamatan atau mungkin satu kabupaten.

Dari balik klakson nan keras dan mengagetkan tersirat keresahan jiwa Sang penjual. Ia bingung. Ia mencari-cari pembeli yang berkenan membeli dagangannya. Kondisi bumi yang melesu membuatnya cemas dan khawatir. Ia mencemaskan insang ikannya. Jangan sampai menghitam sebelum laku. Penjual ikan khawatir ikan segarnya tidak menjadi primadona lagi.

Setibanya di rumah, aku duduk di teras menunggu senja dengan sajian pisang hijau dan kue tetu. Aku sempat membaca unggahan seorang teman facebook yang gelisah menunggu kehadiran barangnya yang tak dikirim oleh rekan bisnisnya. Ini dikarenakan tidak berangkatnya bus. Bus tidak berangkat karena sepi penumpang.

Kondisi pandemi merangsang masyarakat untuk lebih memilih diam di rumah. Mereka yang diantaranya merupakan langganan bus antarprovinsi memilih mengurung diri. Para sopir tak mampu memaksa mereka untuk bepergian. Belum lagi begitu banyaknya pos yang harus dilewati. Semua perbatasan dijaga. Semua langkah serba terbatas. Sopir bus tak tahu harus berbuat apa. Ke pangkalan, tidak ada penumpang. Tidak keluar, stok makanan di rumah sudah menipis dan terbatas.

Temuan sore ini mengingatkanku pada cerita penjual bakso. Sebelum pandemi menerjang, dengan bebas ia masuk dan keluar dari perumahan yang satu ke perumahan yang lainnya. Namun, kini jauh berbeda. Seluruh pintu masuk telah terbentang portal-portal kokoh. Hatinya pilu. Ia rindu menyapa pelanggan langsung di depan teras mereka. Jika tak laku, ia khawatir setiap harinya bola-bola daging bercendawan pada malam hari. Ia pasti merugi. Untuk menyambung hidup keluarganya, sementara waktu ia ikut kerja di kebun milik temannya.

Jika kita mengikuti unggahan di dunia maya belakangan ini, ada banyak pembicaraan tentang gaji guru. Siswa belajar di rumah, gaji guru harus dipotong. Begitu salah satu bunyinya. Aku tidak membicarakan gaji guru PNS. Aku juga belum tahu pasti tentang nasib guru honorer. Saat ini aku mau mengenang pengalaman temanku sebagai guru honor. Seandainya pandemi ini terjadi dulu, saat ia honor di sebuah sekolah, pasti ada pertimbangan khusus dalam memberikan honor. Entahlah perhitungannya seperti apa. Kemungkinan tak sama karena kini ruang kelas sunyi akibat siswa belajar di rumah.

Kalaupun dituntut untuk mendatangi satu per satu kediaman siswanya, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Cukupkah honor untuk membeli bensin dan perawatan motor setelah menembus rerimbunan jalan, menanjak dan menurun? Masihkah ada saldo untuk istrinya menarikan sendok goreng di atas wajan mereka?

Setelah sinar jingga melambaikan tangan, aku melihat unggahan foto teman yang menggambarkan suasana kotanya saat pandemi. Aku jadi teringat dengan taman kota itu. Di taman itu aku dan teman-teman duduk bersama. Kami berbincang dari topik yang ringan sampai berat. Di taman itu kami didatangi pengamen. Pandemi ini pun menyentuh kehidupan pengamen.

Taman kota itu kini kesepian. Pengamen pasti kebingungan hendak berdendang untuk siapa. Tak ada seorang pelancong pun di taman, selain ia dan seorang rekan pengamennya. Pengamen itu tak tahu harus berbuat apa. Haruskah ia menghibur bunga-bunga taman yang ditinggalkan pencintanya?

Haruskah ia menari menghapus duka rerumputan yang letih menghijau?

Haruskah ia mengisi ruang kosong di bangku taman yang selama ini sesak oleh cinta remang-remang pasangan remaja? Lalu siapa yang mampu menghiburnya di tengah serbuan badai pandemi?

Saking sepi dan sulitnya mata pencaharian, pengamen itu merenungi nasib dan bertanya pada langit "Lalu apa yang kupakai mengenyangkan perutku?"

Seandainya aku menjadi dia, mampukah aku?

#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-58)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post