Dulu aku hanyalah laki-laki liar. Dulu aku bocah pembuat onar. Pria yang selalu menjengkelkan. Tiada hari tenang kubuat di tempatku menuntut ilmu. Tak ada sedetik kedamaian pun ku cipta. Kaum pendidik pun geram. Merek nakal mereka pahatkan untuk diriku. Nakalkah aku? Sebegitu jahatkan aku? Seiisi gedung menatap sinis benci padaku. Sang bocah kehausan. Tiada teman untukku, tiada senyum menimpa hatiku. Aku berlalu sendiri dengan tingkahku yang dicap nakal. Akulah Kumara dari Dusun Suka Damai.

Dari ratusan penghuni gedung, aku masih menemukan sinar pencerah. Sinar lembut terhantar dalam laku dan ucap. Sang bijak yang sudi merangkulku. Guruku yang terampil menyatukan lembut dan keras dalam kasihnya. Setiap huruf terucap dengan tulus. Ia tak pilih kasih. Ia tidak pernah meminta aku membawakannya apapun dari rumah atau dari kebunku. Sekecil apapun, sedikit apapun. Aku memanggilnya, Bunda Guru. Terkadang Bunda saja.

Hatiku tertusuk, jiwa onarku terpaku oleh ketulusan hatinya. Tertunduk malu aku dihadapannya. Lembut dan keras kasihnya menghantarkan aku dalam labirin jernih. Delapan belas tahun sudah aku tak melihatnya. Selama itu pula aku hidup tanpa keras lembut hatinya. Kau harus tahu Bunda. Kemana pun kaki ini melangkah, dimana pun raga ini berkarya. Huruf demi huruf kasihmu selalu menjadi pedoman hariku. Bunda guru, aku rindu siramanmu. Air kasihmu yang jadikan aku seperti sekarang. Sungguh Kumara merindukanmu.

#TantanganMenulisGurusiana (Hari ke-136)