Giyarin Ebtika Ningtyas

Guru IPA fisika SMP Al Irsyad Al Islamiyyah Purwokerto yang hobi mengerjakan soal menantang. Dikenal dengan nama kunyah Ummu Ahnaaf...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sekolah, Itu Mimpiku

Aku termangu melihat mereka berseragam putih-biru. Diantar oleh orang tua mereka, menggendong tas mewah dan membawa tumpukan buku-buku tebal. Aku rindu suasana itu. Suasana memasuki gerbang sekolah, suasana mengunjungi perpustakaan, dan yang pasti suasana bertemu guru-guru, mendapatkan ilmu dari mereka. Aku rindu sekolah.

Zhafira, itu namaku, kata orang tuaku nama itu berarti beruntung. Mereka menginginkan aku menjadi seseorang yang beruntung. Tapi lihat keadaanku sekarang. Umurku 13 tahun tapi aku bukannya duduk manis mendengarkan pelajaran, tapi sibuk berkutat dengan kotak dagangan bertemankan polusi asap kendaraan. Aku Zhafira, dan aku seorang pedangan asongan. “Ayo, Zha! Kita berangkat! Nanti keburu pembelinya diambil senior kita,” ajak Dewi teman seperjuanganku. Aku putus sekolah satu tahun yang lalu karena orang tuaku meninggal dalam sebuah penertiban petugas pedangan liar di sebuah stasiun, mereka pun pedagang asongan. Dan semenjak hari itu, tak ada lagi yang dapat menanggung biaya sekolah yang terus menggunung. Aku dengan sangat terpaksa harus berhenti sekolah, mencari uang demi memenuhi kebutuhanku dan sekolah adikku yang kini masih di kelas 2 SD. Beda denganku, Dewi lebih beruntung. Dia bahkan sudah menamatkan pendidikan SMPnya. Tapi dia tak mau melanjutkan sekolah karena kelima adiknya masih sangat kecil. Hidup kadang memang tidak sesuai dengan keinginan. Namun, kita harus menghadapinya.

“Air mineral…. Tisu…. Permen…. Ayooooo, siapa yang mau beli!” teriakku di sela-sela padatnya pengunjung terminal. Aku dan Dewi setiap hari dari Senin hingga Sabtu menjajakkan dagangan kami di terminal yang jaraknya 3 km dari kampung kami, dan bersebelahan dengan SMP favorit di kota kami. Makanya aku terbiasa memandangi mereka dengan perasaan sedih. “Dek, ada rokok gak?” Tanya seorang bapak mendekatiku. “Maaf, Pak. Saya gak jual rokok, rokok itu gak bagus untuk kesehatan, Pak. Banyak zat kimia berbahayanya….” “Alaaaah… kamu ini! Pedangan asongan saja sok pinter. Lagakmu kayak sekolah tinggi aja!” seru bapak itu marah dan langsung pergi meninggalkanku dan aku hanya terdiam. “Yeeee si bapak. Diselamatin malah marah,” gerutuku. “Kenapa, Zha?” Tanya Dewi menghampiriku. “Gak apa-apa, Wi. Tadi ada bapak-bapak mau beli rokok, tapi kan aku gak jual rokok, aku bilang ke bapak itu kalo rokok itu berbahaya,” jawabku. “Mana bapaknya? Biar beli ke aku aja. Lagian kenapa sih kamu gak mau jual rokok? Kan untungnya banyak,” terang Dewi “Gak, Wi. Masa aku mau jual barang yang bikin sakit orang, ya ntar dosa, menjerumuskan orang lain ke kesengsaraan,” jawabku sambil tersenyum. “Waaaah… udah mulai berubah jadi ustadzah nih. Oia, besok hari Minggu jangan lupa ya kita ke stasiun!” ajak Dewi. “Insya Allah.” “Assalamu’alaikum warrahmatullah…. Assalamu’alaikum warrahmatullah…. Ya Allah Ya Rabbi, doaku masih sama dan belum berubah Ya Allah… Aku ingin sekolah lagi. Aku ingin menimba ilmu, menambah wawasan. Aku ingin menjadi orang yang berguna. Jika Engkau mengizinkan, aku bahkan ingin membangun sekolah untuk anak-anak yang bernasib sama sepertiku nanti Ya Allah… Ya Allah aku ingin sekolah… ingin sekali sekolah. Ijinkan aku sekolah lagi Ya Allah…. Aamiin Ya Rabbal’alamin” Aku lanjutkan sholat malamku dengan membaca Al-Quran. Meski aku hidup di bawah garis kemiskinan tapi aku tak boleh miskin ilmu agama. Dahulu ketika orang tuaku masih hidup, setiap sore aku mengaji di TPA dekat rumah. Bahkan hingga detik ini, meski mereka sudah tak ada di sisiku, aku tetap rutin mengaji di TPA. Aku selalu ingat pesan mereka. “Sebanyak apapun ilmu pengetahuan, uang, harta yang kamu punya, kalau kamu tidak tahu ilmu agama itu sama saja seperti rumah tanpa fondasi, pohon tanpa akar, tak akan pernah kuat untuk berdiri.” Kata almarhum bapak. “Ingat, seburuk apapun keadaan ekonomi kita saat ini, Zha, kita harus tetap bersyukur, dan tetap minta sama Allah karena Dia yang punya semuanya. Namamu berarti beruntung, ibu yakin nanti kamu pasti akan menjadi orang sukses karena keberuntunganmu yang tetap istiqomah dalam ibadah,” kata almarhum Ibu. “Zha, kok baru dateng? Ayo, sebentar lagi kereta pertama datang. Cobalah pake caraku, pasti uangnya lebih banyak,” ajak Dewi esok harinya. “Ogah ah, aku tetep mau ngasong,” bantahku. “Coba dulu, Zha. Uangnya lebih banyak lho, kita juga gak cape. Katanya kamu mau sekolah,” bujuk Dewi. “Aku gak mau Dewi. Walaupun uang yang nanti dihasilkan itu 10 bahkan 100 kali lipat aku gak mau diajak minta-minta. Itu kan sama aja kita gak punya harga diri Wi. Lagian tangan di atas lebih baik daripada tangan di bawah. Aku mending ngasong, yang jelas ada usahanya,” terangku. “Lah, minta-minta juga ada usahanya kok. Kita berusaha menarik perhatian penumpang kan? Ayo, Zha, sekali aja” kata Dewi. “Gak mau. Nanti lama-lama jadi keterusan dan akhirnya jadi ketergantungan minta-minta terus. Penyakit itu namanya, Wi. Lagian yang namanya minta ya minta, gak ada usahanya tahu!” kataku sambil meninggalkan Dewi beserta teman-temannya. Seperti inilah duniaku, Senin sampai Sabtu aku mengasong di terminal, dan Minggu aku datang ke Stasiun. Karena ketatnya penjagaan stasiun, maka kami para pengasong dan beberapa peminta-minta hanya diperbolehkan masuk pada hari Minggu. Dan itulah yang dilakukan Dewi dan teman-temannya ketika hari Minggu, meminta-minta uang pada penumpang kereta dengan cara menggedor-gedor gerbong kereta. Aku sudah berkali-kali menolak ajakan Dewi dengan alasan harga diri. Meski aku miskin, tapi aku tidak mau diinjak-injak. Dan meminta-minta berarti membiarkan diriku terinjak-injak. Lagi pula meminta-minta kan tidak diperbolehkan di agamaku. “Alhamdulillah, akhirnya tinggal sedikit juga,” kataku melihat dagangan sembari duduk di salah satu bangku pengunjung. Lama, baru ku sadari ternyata ada sebuah tas jinjing di sebelahku. Aku melihat ke kanan ke kiri, tapi stasiun sudah mulai sepi. Tidak ada tanda-tanda pemilik tas datang mencari. Akhirnya aku beranikan diri membuka tas itu, barangkali seperti yang ada di TV, tas itu berisi bom. Aku menemukan amplop-amplop coklat berukuran besar, dan plastik hitam. Aku mencoba mencari identitas pemilik tas itu, dan beruntunglah aku menemukan nomor telpon dalam amplop yang aku tak berani membukanya lebih jauh lagi. “Halo, Assalamu’alaikum, maaf, Pak ini Zhafira, saya pedangan asongan di stasiun Janaka, saya menemukan tas jinjing dan ada nomor telpon ini. Barangkali bapak mencari-cari saya tunggu di stasiun, Pak……… sama-sama, Pak. Wassalamu’alaikum.” Aku menunggu bapak yang aku telpon tadi di tempat semula aku menemukan tas itu. “Mba Zhafira?” Tanya seorang bapak berpakaian koko mengenakan peci putih. “Iya, bapak Abdul?” tanyaku dan bapak itu mengangguk. “Coba, mana KTP Bapak? Biar saya mencocokan dengan data yang saya temukan, saya kan takut salah orang.” “Ini Mba KTP saya, silahkan di cek,” kata bapak itu sambil menyerahkan KTPnya. Aku mengecek KTP dan data yang ada dalam amplop dan semuanya cocok. “Gimana, cocok gak?” Tanya bapak Abdul sambil tersenyum. “Hehe, iya Pak. Cocok sekali. Ya bukannya suudzon, antisipasi aja pak. Ini tasnya, Pak. Insyaa Allah masih utuh, tidak saya ambil isinya,” kataku. “Terima kasih ya, Mba. Kamu tahu apa isinya?” “Amplop isi kertas-kertas, sama plastik hitam. Tapi saya tidak berani membukanya, bukan hak saya pak.” “Ini isinya berkas-berkas yayasan saya, ini penting sekali Mba. Tadi saya sudah seperti orang yang hampir putus asa mencari tas ini. Dan yang diplastik hitam itu uang yayasan yang akan dibuatkan masjid di yayasan kami Mba. Terima kasih banyak ya Mba sudah menyelamatkan tas ini,” terang bapak itu. “Iya Pak, sama-sama. Kan manusia harus saling membantu.” “Kamu siswi SMP ya?” “Saya tidak sekolah pak, saya putus sekolah karena tidak punya biaya, makanya saya ngasong pak.” “Kalau begitu, sebagai balas budi bapak ke kamu, kamu ikut bapak ya. Bapak akan menyekolahkan kamu di yayasan bapak. Kebetulan yayasan bapak bergerak di bidang pendidikan tingkat SD dan SMP, ya kamu sekolah di tempat bapak saja. Ya?” “Maaf, Pak. Tapi kan sekolah di yayasan itu mahal, mana mampu saya membayarnya,” “Tenang, Mba. Kamu akan sekolah gratis. Orang semulia dan sebaik kamu harus mendapat pendidikan yang layak, biar nanti jadi orang hebat. Bapak melihat kamu ini orang yang cerdas, kamu juga baik. Jarang sekali ditemukan anak muda seperti kamu, yang jujur dan tidak mengambil keuntungan dari orang lain. Maka akan sangat menyesal sekali jika bapak membiarkan kamu berkeliaran di jalanan. Kamu mau kan? Tenang saja, Insya Allah bapak ini bukan penipu dan bukan orang jahat,” terang pak Abdul. “Bapak serius?” “Sepuluh kali rius bahkan. Kalau kamu ragu, kamu bisa pikirkan dulu, kalau setuju kamu tinggal hubungi bapak saja,” “Saya tidak ragu Pak. Saya mau . saya mau sekolah. Itu doa saya sama Allah. Dan akhirnya Allah mengabulkannya Pak. Saya mau sekolah pak,” kataku penuh semangat. “ya Allah.. terima kasih Engkau mengizinkanku untuk sekolah lagi. Memang bahwa dibalik kesukaran pasti ada kemudahan. Dan bahwa apa yang kita tanam akan kita petik hasilnya,” batinku. “Maka, nikmat Tuhanmu manakah yang kamu dustakan?” (Q.S. Ar-Rahman) (dimuat dalam majalah Adzkia Indonesia)
DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cerpen ya? Keren pisan

25 Jan
Balas

Iya bu cerpen.. terima kasih bu

28 Jan



search

New Post