Etnis Tionghoa di Indonesia sejak masa kolonial Balanda selalu dianggap duri dalam daging. Dan stigma ini terus berlanjut hingga masa sekarang ini. Suatu peristiwa keji yang tercatat dalam sejarah Indonesia, dimana penjarahan yang dilakukan masyarakat terhadap toko dan rumah - rumah etnis Tionghoa. Bahkan , memperkosa perempuan - perempuan Tionghoa yang tidak tahu apa - apa perihal politik. Sebenarnya keraguan masyarakat terhadap ke- Indonesian etnis Tionghoa merupakan produk kolonial Belanda yang dilanjutkan oleh rejim orde baru.

Sekarang ini saya melihat masih saja terdapat stigmatisasi pada etnis Tionghoa. Dengan mengatakan " dasar cina ", " Cina pelit " jelas ini merupakan penekanan mayoritas terhadap minoritas. Sebenarnya bila boleh jujur sebagian besar budaya kita mengadopsi budaya " cina " peci , masakan , gaya hidup , bahkan sistem sosial dan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini sebaiknya masyakatat yang mengaku " mayoritas " harus merangkul yang dianggap "minoritas ", yakni etnis tionghoa atau yang sering kita sebut " cina".

Terkait sebutan " Cina " sebenarnya sebutan ini sebenarnya merupakan identitas akan tetapi berubah menjadi politik identitas setelah terdapat stigma dan " label " negatif terkait sebutan Cina. Dalam hal ini ada baiknya melihat persoalan ini dari perspektif sosiolingusitik, dimana bahasa bisa menjadi alat perpecahan , perang , dan permusuhan. Hal ini bisa dilihat dari penggunaan kata Huana yang berarti pribumi dan Huaren yang berarti cina. Bila dianalisa dengan perspektif sosiolingusitik kata ini sangat kuat akan politik identitas. Terkait bagaimana minoritas berusaha menjadikan kata tersebut untuk menandakan dirinya lebih hebat dan superior dari mereka yang mayoritas. Jelas bahasa bisa sangat membahayakan dan dapat mendiskriminasi .