Bayang bayang kekerasan sexual di Dunia Pendidikan
Fakta Komnas Perempuan yang ditulis pada Oktober 2020 menyatakan bahwa pada periode 2015 hingga Agustus 2020 ada 51 kasus kekerasan seksual terjadi di institusi pendidikan.
Namun, lanjutnya lagi, jumlah tersebut belum mencerminkan fakta di lapangan yang diperkirakan lebih besar karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan.
Kekerasan seksual di dunia pendidikan terjadi di semua jenjang, mulai dari pendidikan usia dini hingga perguruan tinggi.
Kampus menempati urutan tertinggi sebagai institusi pendidikan yang paling banyak terjadi kekerasan seksual, yaitu sebesar 27%. Di urutan berikutnya adalah pesantren
Bentuk kekerasan seksual bisa berupa kekerasan secara fisik maupun verbal dengan menggunakan relasi kuasa.
Sementara di lingkungan pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Islam, hal ini biasa dilakukan melalui pemaksaan perkawinan disertai ancaman akan terkena azab, tidak lulus dan hafalan akan hilang.
Lalu, mengapa di institusi yang merupakan tempat penggemblengan peserta didik menjadi generasi intelektual masa depan malah dinodai dengan kasus-kasus kekerasan seksual?kuasa menyebabkan pelaku, sebagai pihak yang memiliki otoritas jabatan, keilmuan, dan nama besar bisa melakukan kekerasan seksual dan menakut-nakuti serta mengancam korbannya sehingga korban tidak kuasa melawan.
Misalnya, kekerasan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya atau seorang dosen pembimbing skripsi terhadap mahasiswa bimbingannya. Guru atau dosen ini lantas mengancam jika tidak memenuhi permintaannya, maka akan diberi nilai jelek dan tidak lulus.
adanya victim blaming
Korban kekerasan seksual seringkali justru disalahkan dan dicibir habis-habisan ketika menceritakan pengalamannya (victim blaming)
Mereka yang speak up sering dianggap sedang bikin sensasi, cari perhatian, panjat sosial, dan mencemarkan nama baik.
Seolah-olah yang dikatakan oleh korban itu kebohongan belaka. Selain itu, orang-orang juga masih suka mewajarkan tindakan laki-laki yang melakukan kekerasan seksual pada perempuan.
Korban kerap disalahkan dan dituding berpakaian terbuka, berperilaku genit dan menggoda, suka keluyuran malam-malam, pergi atau pulang lewat jalan sepi sehingga mengundang laki-laki untuk berbuat tidak senonoh.
Kalau begini, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga masih diinjak pula.
Ketiga, penegakan aturan atau hukum yang belum berpihak pada korban
Banyak kasus kekerasan seksual yang kemudian berakhir secara "kekeluargaan" dalam penyelesaiannya.
Entah pelaku hanya disuruh meminta maaf pada korban atau pelaku dan korban malah disuruh menikah untuk menutupi aib.
Di dunia pendidikan, korban kekerasan seksual yang berstatus sebagai peserta didik bisa dikeluarkan dari sekolah. Apalagi kalau korbannya hamil.
Dalam praktiknya, kasus kekerasan terhadap anak perempuan peserta didik biasanya diselesaikan dengan dasar hukum UU Perlindungan Anak Nomor 35 Tahun 2014 yang merupakan perubahan atas UU Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002.
Belum lagi birokrasi kampus yang ruwet, seperti pada kasus Agni, membuat penanganan kasus jadi lambat dan bertele-tele.
Lagi-lagi pelaku lah yang lebih diuntungkan dengan keadaan ini.
Mewujudkan Dunia Pendidikan yang Melindungi Perempuan dari Kekerasan Seksual
Baiq Nuril, Agni, dan perempuan-perempuan korban IM, menambah panjang deretan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual di dunia pendidikan Tanah Air.
Sekolah atau kampus yang sejatinya menjadi pusat dari aktivitas keilmuan malah menjadi neraka bagi perempuan yang sedang menuntut ilmu.
Institusi pendidikan yang umumnya berisi orang-orang berpendidikan justru menodainya dengan tindakan-tindakan yang jauh dari cerminan orang berpendidikan.
Jadi, apa yang bisa kita lakukan untuk mencegah hal tersebut terulang?
tegakkan peraturan atau kebijakan yang berpihak pada korban
ranah pemerintah, saya harap RUU PKS segera disahkan.
Saya tidak habis pikir mengapa RUU ini pengesahannya lama banget. Mana pakai dicabut dari daftar Prolegnas 2020 pula.
juga cuma bisa mengerutkan kening ketika ada beberapa pihak yang menilai bahwa RUU PKS pro perzinahan. Parahnya lagi yang mengatakan adalah sosok berpendidikan tinggi.
Lalu, sekolah atau kampus, bisa menerapkan sanksi akademik yang lebih tegas bagi pelaku.
Seperti yang dilakukan oleh pihak kampus tempat IM pernah kuliah, misalnya, di mana mereka akhirnya mencabut gelar mahasiswa berprestasi IM.
Sanksi dapat diterapkan bertahap dan beragam. Mulai dari pengurangan nilai, skorsing hingga di-drop out (DO).
Kedua, pihak sekolah atau kampus dapat menyediakan layanan konseling dan konsultasi bagi korban untuk dapat mengadukan masalahnya
Sekolah atau kampus juga bisa memberi dukungan secara psikologis kepada korban dan mendampingi jika korban ingin membawa kasus tersebut ke jalur hukum.
Ketiga, berikan pendidikan seks sejak dini
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar