Guru SSelayarr

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Kasus child Freee mariage

Kasus child Freee mariage

childfree marriage tidak ada hubungannya dengan tingkat keegoisan seseorang. Tidak ada pula bukti empiris yang menyatakan kalau pasangan childfree itu lebih egois dibandingkan pasangan yang memiliki anak.

Alasan-alasan Pasangan Memilih Menjalani Childfree Marriage

Hampir semua budaya menganjurkan manusia untuk berkembang biak.

Melahirkan anak, selain untuk meneruskan garis keturunan agar tidak punah juga dianggap menjaga keberlangsungan peradaban apabila anak yang dilahirkan adalah anak yang bermanfaat bagi sesama. Oleh karena itu, childfree marriage dianggap seolah dapat memusnahkan peradaban suatu bangsa karena tidak berjalannya fungsi prokreasi.

Ada pun beberapa alasan mengapa pasangan suami-istri memilih untuk tidak memiliki anak antara lain :

Pertimbangan finansial, yaitu membutuhkan biaya besar untuk membesarkan anak

Pertimbangan kesehatan fisik dan mental, seperti baby blues syndrome

Menganggap bahwa masih banyak anak-anak terlantar (bisa jadi merupakan anak-anak yatim-piatu maupun anak-anak yang dengan sengaja "dibuang dan ditelantarkan" oleh orangtuanya) di luar sana yang butuh pertolongan sehingga berpikir lebih baik mengasuh mereka dibanding bikin anak baru

Populasi manusia di bumi sudah sangat banyak sehingga dengan melahirkan anak berarti akan membuat bumi makin sesak.

Masalah lingkungan, sosial, ekonomi, politik dan keamanan, membuat mereka tidak tega melahirkan dan membesarkan seorang anak di tengah kondisi dunia yang kejam dan semakin rusak

Takut tidak dapat menjadi orangtua yang baik bagi anak-anak

Ingin lebih bebas dan fokus dalam menjalani hal-hal yang diinginkan, seperti pendidikan, karir, aktif dalam berbagai komunitas atau kegiatan-kegiatan sosial, jalan-jalan keliling dunia dan sebagainya

Merasa tidak tertarik untuk memiliki anak

Menggugat Definisi 'Perempuan Utuh'

Dalam masyarakat "patriarch", gambaran keluarga ideal selalu terdiri dari ayah, ibu dan anak.

Pasangan yang tidak memiliki keturunan---entah karena mereka menjalani childfree marriage atau karena keadaan tertentu (kemandulan, misalnya)---lagi-lagi yang banyak disudutkan adalah perempuan.

Makanya, perempuan itu baru bisa diakui sebagai perempuan yang 'utuh' alias benar-benar perempuan sejati kalau sudah menjadi istri dan ibu.

perempuan yang belum menikah dan perempuan yang sudah menikah tapi tidak memiliki anak biologis dianggap sebagai perempuan yang tidak 'utuh' (not true woman). Sebab, katanya perempuan itu kodratnya adalah menjadi istri dan ibu.

Menjadi ibu disini maksudnya tentu saja harus melahirkan dan membesarkan anak sendiri. Punya anak biologis.

Anak tiri, anak angkat, anak ideologis apalagi anak tetangga, tidak masuk hitungan. Maka, kalau kodrat itu belum atau tidak terpenuhi, bisa diartikan ia less feminine, belum menjadi perempuan sejati.

Belum lagi kalau berhadapan dengan kelompok yang suka mengancam pakai ayat-ayat kitab suci.Penghuni neraka itu paling banyak adalah perempuan."

Don't get me wrong. Saya bukannya anti agama. Tapi, apakah tidak ada cara lain yang lebih bijaksana dan menentramkan hati selain dengan membawa narasi azab dan ancaman neraka?

Terlepas dari konsekuensi agama atau sosial, sejatinya masyarakat kita belum terbiasa menghadapi individu-individu yang memiliki pilihan hidup berbeda dari kebanyakan orang.

Padahal kalau kita mau sedikit saja memahami perbedaan-perbedaan itu, bisa saja kita menemukan titik temu.

Barangkali kita dan dia memiliki concern yang sama terhadap permasalahan tertentu, hanya cara menghadapi dan menyelesaikannya yang berbeda.

Saya pakai cara A. Anda pakai cara B. Tapi, kita sama-sama peduli pada masalah C. Mungkin kan terjadi seperti ini?

Akhirnya jadi gumunan, latah, ikut-ikutan menghakimi mereka yang dianggap berseberangan dan berbeda dengan kelompok mayoritas

Sedikit-sedikit disikapi secara emosional bukan rasional.

Saya tidak akan memberi judgement apakah childfree marriage itu tindakan yang benar atau salah, boleh atau tidak boleh, halal atau haram.

Tapi memberi cap kepada perempuan yang tidak melahirkan seorang anak sebagai kurang feminin, bukan perempuan sejati atau tidak utuh sebagai perempuan adalah tindakan yang menyakitkan bagi perempuan.

Karena siapa pun dia, apapun status dan posisinya dalam masyarakat, bagaimana pun kondisinya, seorang perempuan tetaplah perempuan. Mereka adalah individu yang utuh dengan segala kekuatan dan kelemahannya.

Kalau pun seorang perempuan tidak melahirkan anak, setidaknya mereka dapat melahirkan kebaikan, keteladanan maupun ilmu yang bermanfaat bagi sesama. Bukankah itu adalah tugas setiap manusia, termasuk perempuan?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post