AGUS WIDODO

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
MEMERINGATI HARI PAHLAWAN BAGI DELEGASI PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DI BUSAN-KOREA SELATAN
Peringatan Hari Pahlawan 2019 di Busan - Korea Selatan

MEMERINGATI HARI PAHLAWAN BAGI DELEGASI PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DI BUSAN-KOREA SELATAN

MEMERINGATI HARI PAHLAWAN BAGI DELEGASI PENDIDIKAN KOTA SURABAYA DI BUSAN-KOREA SELATAN

AGUS WIDODO

SDN KETINTANG I/409

Email :

[email protected]

Peristiwa 10 November 1945 yang sekarang dikenal sebagai Hari Pahlawan, merupakan satu peristiwa heroik segenap rakyat Indonesia, dalam mempertahankan kemerdekaan yang diproklamasikannya, pada tanggal 17 Agustus 1945.

Bermula ketika arek-arek Surabaya pada 19 September 1945 digegerkan dengan berkibarnya bendera Belanda di atas Hotel Yamato (sekarang Hotel Majapahit), sejak saat itu pertempuran demi pertempuran terus terjadi. Kabar tentang hal itu itu cepat menyebar dan membuat geram para pemuda yang kemudian berbondong-bondong mencari biang kerok pemasangan bendera. Ternyata pemasang bendera tersebut adalah W.V. Ch. Ploegman, pemimpin organisasi Indo Europesche Vereniging (IEV) yang diangkat NICA menjadi Wali Kota Surabaya. Pada 18 September 1945 malam, Ploegman memerintahkan rekan-rekannya mengibarkan bendera Belanda untuk merayakan ulang tahun Ratu Wilhelmina yang jatuh pada 31 Agustus. Alhasil beberapa orang diantaranya bernama Hariono dan Koesno berhasil meraih bendera lalu menyobek bagian warna biru. Usai insiden penyobekan, saat mereka hendak turun, Hariyono dan Koesno terkena peluru yang ditembakkan Belanda. Kedua martir itu tumbang jatuh dari atap hotel.

Pada bulan Oktober, Inggris di bawah komando Mallaby mengirim petugas intelijennya yakni Kapten Macdonald untuk bertemu dengan Moestopo di Surabaya. Sejak setelah proklamasi, Moestopo sebagai pengendali kekuatan militer yang baru di Surabaya dan melucuti senjata pasukan Jepang dengan hanya dipersenjatai bambu runcing. Sekaligus dirinya juga menyatakan sebagai pejabat sementara Menteri Pertahanan. Menurut laporan Macdonald, Moestopo sangat keberatan atas kedatangan pasukan Inggris terutama saat pihak Inggris kemudian menemui Gubernur Jawa Timur Soerjo di Surabaya. Moestopo menginginkan tentara Inggris ditembak saja saat mereka datang. Kemudian Moestopo bertemu dengan Kolonel Pugh. Pugh menekankan bahwa Inggris tidak berniat untuk mengembalikan kekuasaan Belanda. Dengan penjelasan itu akhirnya Moestopo setuju untuk bertemu dengan Komandan tentara Inggris-Mallaby keesokan harinya .Pada pertemuan tersebut, Moestopo enggan menyetujui pelucutan pasukan Indonesia di Surabaya. Namun, suasana segera memburuk.

Moestopo telah dipaksa Mallaby membebaskan kapten Belanda Huijer yang telah ditawan. Pada tanggal 27 Oktober, pesawat Douglas C-47 Skytrain dari ibu kota Batavia (saat ini Jakarta) menjatuhkan serangkaian pamflet yang ditandatangani oleh Jenderal Douglas Hawthorn yang menuntut pasukan Indonesia menyerahkan senjata mereka dalam waktu 48 jam atau dieksekusi. Karena ini bertentangan dengan kesepakatan dengan Mallaby. Moestopo dan pasukannya tersinggung dengan tuntutan tersebut dan menolak untuk mengikuti permintaan Inggris. Pertempuran pecah pada tanggal 28-30 Oktober setelah Moestopo mengatakan kepada pasukannya bahwa Inggris akan berusaha untuk melucuti paksa mereka. Suasana sangat cheos. Rakyat bersiap diri menjaga segala kemungkinan di luar Gedung Internatio (sekarang : depan JMP) tempat perundingan. Entah siapa yang memulai, terdengar suara letupan pistol dan disusul dengan suara ledakan keras. Mallaby tewas. Tidak diketahui siapa yang menembak Mallaby hingga tewas. Tidak hanya itu, mobil Jenderal Mallaby juga terkena granat yang akhirnya jenazahnya sulit dikenali..

Pihak Inggris kemudian meminta Presiden Soekarno untuk menengahi. Presiden Soekarno mengangkat Moestopo sebagai penasihat dan memerintahkan pasukan Indonesia untuk menghentikan pertempuran. Moestopo yang tidak mau melepaskan kendali atas pasukannya, memilih untuk pergi ke Gresik. Sementara pertempuran di Surabaya berlanjut, Moestopo sudah tidak lagi mengomandani pasukan di Surabaya.

Setelah kematian Mallaby, komandan Angkatan Perang Inggris di Indonesia, Jenderal Christison menyebut tewasnya Mallaby sebagai satu pembunuhan yang kejam. Dia menyatakan, akan menuntut balas terhadap rakyat Indonesia, dan Surabaya khususnya. Sekali Lagi tentara Inggris menjatuhkan serangkaian pamflet dari pesawat terbang. Mereka menhendaki rakyat Surabaya harus menyerah kepada tentara Inggris. Mereka memerintahkan agar rakyat Surabaya menyerahkan semua senjata yang dimiliki paling lambat tanggal 10 November 1945 pagi hari.

Pucuk Pimpinan Barisan Pemberontak Rakyat Indonesia (BPRI) Sutomo atau biasa dipanggil Bung Tomo alias Bung Kecil mengatakan, rakyat Surabaya tidak takut dengan ancaman Christison yang akan menuntut balas. Dia juga melihat, di balik pernyataan Christison yang ingin menurunkan kekuatan militernya secara penuh, untuk menggempur rakyat Indonesia yang sedang berjuang mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkannya itu, terdapat satu muslihat licik. Dia ingin membawa Belanda untuk kembali menjajah Indonesia.

Mayor Jenderal Mansergh meminta seluruh pimpinan Indonesia, pemuda, polisi, dan kepala radio Surabaya, menyerahkan diri ke Bataviaweg atau Jalan Batavia, pada 9 November 1945. Penghinaan itu kontan membuat dada para pejuang kemerdekaan terbakar. Dengan cepat, BPRI memberikan pelatihan kilat perang gerilya. Mereka inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan "pasukan berani mati". Diantara kelompok pejuangan itu, terdapat bukan hanya rakyat Surabaya. Tetapi juga pejuang dari Sumatera, Kalimantan, Maluku, Sulawesi, Bali, para kiai dan alim ulama dari berbagai Pulau Jawa. Anak-anak, pemuda, pemudi, dan orang tua. Semua terjun ke medan perang.

Bung Tomo tampil sebagai pimpinan yang mengobarkan semangat perlawanan, terutama bagi Pemuda Republik Indonesia (PRI) yang didirikan pada September 1945. Siaran Bung Tomo mulai melanglang ke berbagai radio di Surabaya. Buku Indonesia dalam Arus Sejarah Edisi ke-6 menjelaskan, siaran Bung Tomo selalu dibuka dengan "Allahu Akbar! Allahu Akbar!", yang berhasil menggerakan hati warga.

Di tengah situasi genting itu, Gubernur Jawa Timur Suryo berpidato di corong radio, meminta rakyat untuk bersabar dan menunggu keputusan dari pemerintah pusat di Jakarta. Ketika Surabaya sudah bersepakat menolak ultimatum Inggris pada 9 November 1945, Doel Arnowo diamanati melapor ke pusat. Doel Arnowo bertugas sebagai penghubung Surabaya dengan pihak Jakarta. Sebab Menteri Luar Negeri RI saat itu, Ahmad Soebardjo, adalah teman akrab Doel. Ternyata jawaban dari Jakarta, pusat menyerahkan keputusan yang diambil kepada pemerintah daerah dan rakyat. Akhirnya, Gubernur Suryo kembali berpidato, dan meminta rakyat mempertahankan kemerdekaan yang baru diproklamirkan.

Hingga 10 November 1945 pagi, rakyat yang siap angkat senjata pun masih menunggu. Hingga akhirnya tersiar kabar, sekira pukul 09.00 WIB lebih, seorang pemuda melaporkan terjadi penembakan oleh pasukan Inggris. Peristiwa yang ditunggu-tunggu pun tiba. Masing-masing pasukan pemuda, dikerahkan ke pos dan pangkalan yang sudah menjadi tanggung jawabnya.

Pertempuran hebat pun terjadi. Moncong senjata memuntahkan pelornya. Segenap rakyat berjuang bersama. Tidak ada perbedaan golongan, tingkatan, agama, dan paham. Ketika satu Indonesia terancam, satu bangsa Indonesia akan membelanya. Pertempuran ini adalah pertempuran pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pasukan Inggris yang terlatih, biasanya hanya membutuhkan waktu tiga hari dalam merebut sebagian besar kota untuk didudukinya. Kali ini menghadapai rakyat yang hanya bersenjatakan sederhana mereka baru bias menduduki kota Surabaya dalam waktu kurang lebih tiga minggu. Belasan ribu darah pejuang yang gugur di medan laga. Sedangkan dari pihak Tentara Inggris sekitar 2.500 jiwa yang tewas.

Meskipun banyak yang gugur dan kalah, serta kehilangan banyak persenjataaan hasil rampasan dari Jepang, pertempuran yang dilancarkan dapat membangkitkan semangat Bangsa Indonesia terhadap upaya-upaya negara asing untuk menjajah Indonesia. Hal ini menarik perhatian dunia. Belanda tidak lagi memandang Republik Indonesia sebagai kumpulan pengacau tanpa dukungan rakyat.

Peristiwa heroik di Surabaya hingga saat ini tidak pernah habis-habisnya senantiasa dikenang. Setiap tahun, pemerintah dan warga Surabaya selain melakukan upacara yang diadakan di setiap instansi, mereka juga melakukan Parade dalam rangka menyambut Hari Pahlawan. Parade diawali dari Tugu Pahlawan dan berakhir di Taman Bungkul-Surabaya yang diwarnai dengan Teatrikal dengan ribuan peserta. Aksi ini untuk mengenang pertempuran sekaligus mengenalkan kepada generasi muda semangat heroisme para pejuang dalam mempertahankan kemerdekaan yang dimainkan oleh ratusan pelajar dan rakyat Surabaya.

Hari ini, 20 Kepala Sekolah Dasar Kota Surabaya yang terpilih menjadi delegasi pendidikan dalam program peningkatan kapasitas kepala sekolah di Universitas Dong-Eui, Busan-Korea Selatan memiliki semangat yang sama seperti yang dilakukan oleh sedulur-sedulurnya di Kota Surabaya untuk meneladani, memeriahkan, menyemangati,mengenang peristiwa 74 tahun silam itu. Sejak sebelum jadwal keberangkatan kami sudah mempersiapkan semangat, atribut yang harus dikenakan nantinya.

Pagi-pagi sudah berdandan ala pejuang ’45. Busana dan celana berwarna coklat senada dan dilengkapi songkok khas Indonesia serta tak lupa lencana merah-putih dipasang di dada sebelah kiri. Pukul 09.30 sudah berkumpul di lobby hotel. Rupanya waktu sesi foto di lobby hotel tersebut menjadi pusat perhatian para tamu hotel, sekaligus Manajer Busan Business Hotel. Setelah saya sampaikan bahwa hari ini adalah ‘Hero’s Day’ bagi Bangsa Indonesia, beliau turut berfoto bersama.

Agenda kami yang utama merujuk dari program pelatihan adah ke Pusat Kebudayaan Tradisional Busan (Busan Traditional Culture Center) dan ke Museum Maritiem. Seharian kami mengenakan pakaian ala pejuang’45 selama berkegiatan. Sampai akhirnya sebelum memungkasi kegiatan, kami berkumpul dekat pelabuhan dan pembuatan kapal yang lokasinya di area Museum Maritiem untuk mengeheningkan cipta agar arwah pahlawan kusuma bangsa diterima di sisi Tuhan YME, Allah SWT, yang dilanjutkan dengan menyanyikan dua buah lagu yaitu : Kebyar-Kebyar cipt. Gombloh dan lagu Surabaya cipt. A.Rahman. Semoga sangat sedikit sumbangsih kami untuk negeri ini tetap dapat dikenang sepanjang masa. Untuk pengingat bahwa di manapun berada, merah-putih tetap melekat di dalam jiwa. MERDEKA !!!

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Runtut sekali, cocok jadi guru sejarah,

10 Nov
Balas

Semoga bermanfaat unt pembaca...shiip

10 Nov
Balas



search

New Post