“Mas, kita harus jadi orang yang jujur sampai akhir hayat. Tuhan pasti tahu yang kita kerjakan.” Tiba-tiba perkataan itu muncul dalam fikiran Rio. Terbayang sosok ayah yang bersahaja. Pribadi yang memegang teguh kejujuran dalam hidupnya. Ia rela untuk tidak naik jabatannya kalau harus mamakai cara yang tak benar. Oleh karena itu, sampai akhir hayatnya ia hanya tercatat sebagai tenaga lepas di tempat kerjanya.

Rio semakin bingung. Ia harus meloloskan calon karyawan ini meski secara administratif dan kompetensi jauh dari yang dibutuhkan. Surat sakti yang dimilikinya membuat galau semua panitia seleksi. Idealisme seakan menjadi hal yang tabu untuk diperjuangkan. “Hm . . . Tuhan. Aku tahu ini sesuatu yang kau benci. Tapi, aku bingung harus berbuat apa.” Keluhnya dalam hati dengan fikiran yang berkecamuk.

Malam beranjak pergi. Kokok ayam mulai berdering mengajak hamba bersimpuh dihadapan-Nya. Rio juga telah salat, zikir, dan berdoa. Ia berharap ada kemantapan hati dalam memutuskan. Namun bimbang terus mengelilingi. Ia baca pesan owner perusahaan untuk kesekian kalinya. Pesan itu tak juga berubah. Pesan yang memintanya untuk meloloskan calon karyawan ini. Rio bertatapan dengan monitor laptop yang masih menyala menampilkan surat keputusan yang kosong. Dengan rasa bersalah terutama kepada ayahnya, Rio menuliskan kata lulus pada surat itu. Tiba-tiba, “Praakkkk . . . .” Figura foto ayah jatuh seakan menyampaikan ketidaksetujuannya.