Mentari mulai menampakkan rona merah kekuningan. Jam di dinding kantor sudah menyuruh aku dan teman-teman untuk segera pulang. Tiba-tiba, ada pesan whatsapp di ponselku. "Rio, ke ruangan saya segera ya." Pinta Deeza, direktur utama di kantorku.

Aku langsung bergegas menuju ke ruangannya. Sesampainya di sana, aku ketuk pintu dan masuk. Aku duduk di depan meja kerjanya. Namun, ia memintaku untuk duduk di sofa. Aku pun menurutinya. Tak berapa lama, Deeza mendekat dan duduk di sisiku, dekat sekali. Kulit kakinya menyentuk bahan celana hitam yang ku pakai. Tiba-tiba, ia menawarkan minuman bening dengan sedikit gelembung yang menari. Segelas sampanye. Tangan kirinya memegang lututku dan matanya menatap tajam.

Dadaku bergemuruh, bulu kudukku merinding. Aku tak memandanginya. Aku hanya melihat ke meja kerja Deeza yang kokoh. Tangannya menjalar ke dadaku dan melepas kancing kemeja biru yang aku pakai. Tangan dan kakiku semakin bergetar. Aku beristighfar seperti laju Shinkansen yang cepat dan enggan berhenti. Meski hanya dalam hati. Mulutku seakan terkunci. Perlahan aku gerakkan mulutku yang kelu untuk menghindar dan "Cut . . . Excellent." Suara sutradara menyudahi scene tersebut.