Dia, seorang yang saya kenal bertahun-tahun dalam berbagi suka duka, pershabatan yang terjalin semakin akrab, kami terbiasa dengan kekurangan dan kelebihan masing-masing, saling memuji,saling mencela, itu semua menjadi bumbu-bumbu persahabtan diantara kami.

Namun pershabatan itu seringkali ternoda ketika ada hal-hal yang tidak disembunyikan, kepercayaan mulai luntur, kerap kebohongan dilakukan berulang-ulang meski kebenarannya diketahui. Tidak jarang alasan dan elakan di lontarkan, bahkan tududhan sebaliknya kalua semua itu fitnah. Terkadang orang lain menjadi sasaran demi membela diri dan menutupi kesalahan. Hari demi hari, bulan demi bulan bahkan tahun demi tahun dan itu terjadi lagi, lagi dan lagi.

Sifat egoisnya yang tidak mudah untuk mengakui kesalahan demi kesalahan yang dilakukan. Dia merasa tidak terjadi apa apa, dia tidak merasa bagaimana perasaan orang lain. Dia hanya enjoy dengan apa yang dilakukan, dia menikamati segala hal yang membuat dia senang meski ada orang lain yang tersakiti.

Apakah persahabatan ini akan dipertahankan atau cukup sekian. Tapi sebagai seorang yang beragama saya tidak ingin hubungan yang terjalin menjadi berantakan hanya karena percayaan yang disia-siakan.

Akhirnya saya mulai menyadari bahwa itulah dia, dengan karakter dan sifat yang memang sudah menjadi ciri khasnya yang selama ini tidak saya sadari. Saya tidak ingin mengkerutkan dahi gara-gara kelakuannya, saya tidak ingin hari-hari yang saya lalui dengan riang gembira menjadi suram, tidak ingin membuang energi hanya karena dia.

Saya mulai terbiasa, abaikan semua chat dan telepon yang tidak penting. Dia mulai gusar dengan pengabaian yang saya lakukan, kerap dia bertanya kenapa saya berubah. Tidak jarang dia melakukan hal-hal yang diluar dugaan yang menuntut simpati, tapi sudah kadaluwarsa.