Halifah hastuti triyani

Halifah Hastuti Triyani, Lahir di Pengaron, 14 Agustus 1976. Pendidikan dasar sampai dengan Diploma II PGSD diselesaikan di Banjarmasin, Kalimantan Selat...

Selengkapnya
Navigasi Web
Allah Sangat Sayang Padaku

Allah Sangat Sayang Padaku

Tidak banyak yang aku persiapkan untuk kepulanganku kali ini, karena tujuan utamaku pulang bukan untuk jalan-jalan atau liburan seperti kepulanganku biasanya. Aku, suamiku, dan Faiq bayiku yang berumur 11 bulan, memang sengaja pulang untuk acara 100 hari almarhum ayah. Tidak ada teman sekolah atau teman kuliah yang aku kabari pula. Kali ini aku benar-benar ingin fokus pada acara yang diadakan ibu di rumah kami, rumah tempat di mana ayah menghembuskan napas terakhirnya.

Sampai di rumah, sudah banyak tamu yang datang. Aku tidak sempat menemui mereka satu persatu, karena tidak semua tamu aku kenali. Sudah lebih 15 tahun aku tinggal di Jember mengikuti suami, sehingga walaupun aku menemui mereka sepertinya aku akan bingung memulai obrolan darimana.

Di antara sekian banyak tamu yang datang, ada satu tamu yang menarik perhatianku, dia adalah saudara dari suamiku, namanya Dani. Walaupun bukan saudara kandung, tapi hubungan suamiku dengan keluarga Dani cukup dekat. Rupanya mendengar kami datang, dia menyempatkan diri untuk bersilaturahmi ke rumah ibu. Jujur saja, aku terkejut melihat penampilannya sekarang, karena aku tahu benar, bagaimana awalnya dia datang ke Banjarmasin ini.

Aku amati sejak dia turun dari mobil dan masuk ke dalam rumah, sikapnya biasa, tetap ramah, sungkem sama suamiku dan aku, karena memang kalau dihitung dari silsilah keluarga, posisi suamiku adalah saudara tua. Bukan sikapnya yang membuat aku terkejut, tapi mobil yang dia naiki, mobil rush keluaran terbaru. Bagi keluarga kami, mobil itu termasuk sudah mewah, aku dan suami saja belum bisa membeli mobil itu. Mobil yang aku naiki, kelasnya di bawah rush.

Ketika kami ngobrol, pembicaraan mengalir lancar, tidak ada yang berubah dengan gaya obrolannya, masih seperti dulu, ketika dia belum sesukses ini. Aku mengatakan sukses karena ternyata usaha bengkelnya maju pesat, karyawannya ada 5, bahkan yang 3 orang direkrut dari keluarga sendiri yang diambil dari Jawa. Benar saja kalau dia bisa membeli mobil dalam waktu yang singkat, bahkan kabarnya ada truk juga yang dimilikinya.

Aku bersyukur melihat perkembangan Dani ini, setidaknya dia tidak rugi jauh-jauh merantau ke Kalimantan. Berkat ketekunan dan kegigihannya dia bisa sesukses sekarang. Selanjutnya aku tidak mengikuti lagi obrolan antara suamiku dan Dani, aku sibuk dengan kegiatan di dapur.

Waktu berlalu terasa cepat, sudah empat hari aku di rumah ibu. Cuti suamiku besok akan berakhir. Aku pun menyiapkan diri untuk pulang. Walaupun berat rasanya meninggalkan ibu yang masih sangat berkabung karena kehilangan ayah, tapi mau tidak mau kami sekeluarga harus pulang.

Aku diantar oleh adikku yang bungsu, tapi tidak langsung ke bandara, karena suamiku ada janji dengan Dani untuk singgah ke rumahnya. Sekitar pukul 10.00 aku sudah bertemu Dani. Pertama aku diantar ke bengkelnya, baru dari bengkel diajak Dani ke rumahnya.

Melihat rumah Dani, akupun terkejut. Bagi keluarga muda, rumah yang ditempatinya lebih dari bagus. Pagar keliling, kamar tidur tiga, kamar mandi, parkir, dan dapur cantik, serta ruang makan yang bagus. Penataan rumahnya bukan lagi tipe penataan seorang ibu rumah tangga yang berasal dari dusun di daerah suamiku.

Aku disambut oleh istri dan dua anaknya dengan ramah, anak laki-laki sekitar usia 5 tahun, dan anak perempuan usia SMP. Keluarga yang sempurna menurutku, jika dibandingkan aku. Aku merasa belum lengkap sebagai keluarga karena tidak mempunyai anak perempuan. Sudah bertahun-tahun aku ingin anak perempuan tetapi Allah belum memberikannya untukku, semua anakku laki-laki. Anak pertama kelas 3 SMA, yang kedua kelas 1 SMA, yang terakhir masih dalam gendonganku sekarang juga laki-laki, padahal sudah 14 tahun aku menunggu, berharap yang terakhir ini akan lahir anak perempuan. Ups, rasa irikah yang merasuki pikiranku sekarang. Aku cepat-cepat menepis perasaan itu. Bukan aku banget kalau iri dengan orang lain. Selama ini aku selalu belajar mensyukuri apa yang aku miliki, walaupun hidupku secara ekonomi tidaklah berlebihan, tapi aku juga tidak pernah kekurangan apapun. Sehingga tidak ada alasan bagiku untuk merasa iri dengan apa yang dimiliki orang lain. Aku sangat percaya Allah sudah memberikan yang terbaik buat kami sekeluarga. Aku juga percaya, Allah adil membagi suka dan duka kepada semua umatnya.

Setelah membuatkan kopi, kulihat istri Dani sibuk di dapur, aku rebahan dengan bayiku. Suamiku dan Dani sedang asyik ngobrol di depan. Anak perempuan Dani yang pertama belajar di kamarnya, sedang adik laki-lakinya bermain di halaman. Sambil rebahan, aku menatap garasi yang berada pas di sebelah tempat tidurku. Garasi yang bagus, rangka galvalum yang digunakan sebagai garasi begitu rapi pengerjaannya, berbeda dengan garasi mobilku di rumah, terbuat dari kayu, dan terkesan kurang rapi.

Aku mulai membandingkan apa yang dimiliki Dani dengan apa yang aku miliki. Aku berpikir, dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun, ternyata Dani bisa seperti ini kehidupannya, padahal hanya Dani yang bekerja. Istrinya tidak. Sedangkan aku dan suami sama-sama bekerja. Tiap bulan penghasilan kami pun pasti. Tapi perlu waktu lama bagi kami untuk memiliki rumah dan kendaraan seperti yang kami miliki sekarang. Semua kami lakukan secara bertahap. Apalagi kedua anak kami sudah enam tahun ini di pondok pesantren, sehingga total penghasilan suami dikirim ke pondok untuk biaya anak-anak. Mengingat anak-anak, spontan berkaca-kaca mataku. Kangen, sudah enam bulan lebih aku tidak bertemu dengan mereka. Jarak rumah dengan pondok lumayan jauh, sejak ada bayiku aku tidak bisa melakukan perjalanan terlalu jauh, kecuali ada urusan yang memang penting, seperti sekarang ini.

Ingatanku tentang anakku hilang seketika, suara istri Dani terdengar dari dapur, mengajak kami makan siang. Aku pun meninggalkan anakku yang sudah terlelap. Makanan yang disajikan sederhana, tapi itu cukup bagiku, nilai dari keramahan dan ketulusan keluarga ini membuat makanan sederhana itu menjadi sangat nikmat. Aku lihat suamiku sepertinya berpikir sama dengan yang aku pikirkan. Ayam geprek yang disajikan, dimakan lahap, padahal suamiku tidak begitu suka makan ayam kota, biasanya lebih memilih tempe.

Setelah berbasa basi dengan keluarganya, kami pun pamitan. Dani yang mengantar ke bandara. Suamiku duduk di depan. Aku dan anakku duduk di belakang. Sepanjang perjalanan ke bandara aku berpikir, sepertinya enak jadi istri Dani. Tidak perlu bekerja, semua sudah tersedia. Anak-anak mereka lengkap lagi. Ups, tapi kalau disuruh tukar suami aku juga tidak mau, banyak kelebihan suamiku yang tidak dimiliki Dani. Bukan, aku tidak ingin ganti suami, bukan itu maksudku, aku hanya merasa Dani dan keluarganya sangat beruntung, seperti tidak ada masalah dalam kehidupan mereka.

Sesampai di rumah, pikiranku tentang Dani dan keluarganya sudah hilang, yang tersisa hanya rasa lelah. Aku tertidur semalam suntuk tanpa terbangun. Suara mbok Wo, yang tiap hari ngemong anakku terdengar cempreng di luar. Aku pun menyerahkan anakku, kemudian aku ke belakang untuk membersihkan diri. Setelah semua beres, aku membuka oleh-oleh yang aku bawa dari rumah untuk mbok Wo.

“Iki mbok, aku gak bawa apa-apa. Bagasi pesawat larang.” Aku berujar asal-asalan saja. Aku yakin, mbok Wo juga tidak tahu, apa itu bagasi.

“Ra popo, aku yo gak doyan panganan kalimantan.” Sahut mbok Wo, sambil mengganti pakaian anakku. “Gak mampir ke rumah Dani?” lanjut mbok Wo tanpa menoleh.

“Ya mampir mbok, wong Dani yo ke rumah ibu. Rumah Dani apik ya mbok.”, jawabku.

“Yo apik, tapi niku sanes griyane bu (ya bagus, tapi itu bukan rumahnya Bu), iku ngontrak omahe wong, omahe dewe gurung dadi (itu kontrak rumah orang, rumahnya sendiri belum selesai).” Ucapan mbok Wo yang santai membuatku benar-benar kaget.

“Mosok mbok Wo.” Aku setengah tidak percaya mendengar jawabannya.

“Iyo, aku lo eruh, ibukke Dani mari ko kono. Masio mobile iku yo nyilih, kangge ngeterne anakke berobat (Iya, aku lo tahu, ibunya Dani baru dari sana. Walaupun mobil, itu ya pinjam, untuk ngantar anaknya berobat).” Jawaban mbok Wo benar-benar membuatku syok. Apalagi ketika mbok Wo semakin memperjelas tentang kondisi keluarga Dani yang sebenarnya. Aku benar-benar ternganga. Aku tidak meragukan cerita mbok Wo, karena mbok Wo adalah satu-satunya saudara dari ibunya Dani. Mereka pun hampir tiap hari bersama, bahkan anakku pun kalau mbok Wo repot sering dititipkan ke ibunya Dani.

Ya Allah, ampuni aku. Aku benar-benar malu. Kemarin aku membandingkan keluargaku dengan keluarga Dani. Sungguh tidak pada tempatnya aku meragukan keadilanMu. Untung saja semua hanya tersirat di hatiku, belum aku utarakan pada siapapun.

Aku baru tahu dari mbok Wo, kalau kedua anak Dani itu ternyata bermasalah dengan kakinya. Anak yang pertama, ternyata salah satu telapak kakinya tidak bisa menjejak utuh ke tanah, agak bengkok keluar, sehingga kalau berjalan seperti agak timpang. Dan aku tidak melihatnya, karena setelah salaman anak itu memang hanya di kamar.

Anak keduanya pun yang laki-laki juga begitu, hanya bedanya sejak usia 1 tahun sudah diterapi khusus oleh dokter spesialis tulang. Berkat ketekunannya menjalani terapi, akhirnya di usia 4,5 tahun anaknya baru bisa berjalan, dan normal. Tentunya tidak sedikit biaya yang mereka keluarkan. Aku baru menyadari sekarang, sejak merantau ke Kalimantan memang Dani tidak pernah pulang dengan keluarganya. Setiap pulang selalu sendiri, dengan alasan mencari onderdil atau sparepart untuk bengkelnya. Mungkin sengaja dilakukan untuk menghindari pertanyaan dari sanak famili, tentang kondisi anaknya tersebut.

Ternyata aku dan keluargaku lebih beruntung. Tanpa sadar aku menangis sendiri, aku dekap anakku Faiq seketika, aku ciumi sepuasnya. Aku bersyukur tidak terhingga, walaupun anakku terlahir prematur, walaupun bukan perempuan, tetapi anakku terlahir sempurna, tidak pernah menyusahkan kedua orang tuanya, apalagi di usianya sekarang sedang lucu-lucunya. Aku berjanji, tidak akan mempermasalahkan lagi tentang jenis kelamin, laki-laki atau perempuan tidak ada bedanya buatku sekarang.

Aku sekarang benar-benar yakin Allah sudah memberikan yang terbaik dengan menitipkan Faiq di rahimku. Aku tidak sanggup membayangkan, dan aku juga tidak ingin membayangkan seandainya aku diberi anak perempuan tapi kondisinya seperti anak Dani. Ya Allah, hatiku penuh dengan rasa syukur. Allah benar-benar sayang padaku.

Jember, 28 Desember 2019.

Khusus buat anakku “Faiq Fatihul Ihsan”

Ibu menyayangimu

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Bagus ceritanya Bu...menyentuh sekali...

12 Jun
Balas

Terima kasih, sudah meluangkan waktu untuk membaca tulisan saya Bu Elvi

15 Jun

Mantap!

12 Jun
Balas

Terima kasih

15 Jun



search

New Post