Maha Guru dan Ketiadaan

By Elhalima

Waktu seperti makhluk hidup yang menemui kematiannya. Diam dan bergeming. Kaku dan tanpa suhu.

Aku mengemas air mata dalam linangan luka. Berkhayal bahwa aku akan sampai di muara kekeringan. Namun tak ayal aku terkesima. Aku tak jua sampai di sana.

Wahai, ke mana jalan setapak yang dulu akrab kulalui. Menyemai kumpulan fatamorgana dalam peluh yang bahagia.

Kaki kecil menyusuri pematang mimpi-mimpi besar. Tanpa ragu menyulam cita dalam kumpulan ilalang senja. Membaca kata demi kata yang termaktub pada cakrawala.

Sepasang tangan mengulur sayang. Menimang si pemilik kaki kecil membuang bayang-bayang keraguan. Membekalinya dengan doa dan rangkaian cinta. Meyakinkannya bahwa sekumpulan citanya bukan hal yang tiada guna.

Si kaki kecil menjamah reranting runcing. Sedikit menikam dan melukai. Meninggalkan luka dan jejak di raga. Tapi ia tetap berjaga.

Detik, menit, dan jam terus tersulam. Hari, pekan, dan bulan semakin bersemayam. Tahun berrangkai tahun menumbuhkan kearifan yang santun.

Sejarah menemui pemiliknya. Menanyakan beberapa data untuk ditata. Menjadi prasasti untuk sebuah peradaban yang hakiki.

Kaki kecil melintasi sejarah dengan kuasa Tuhannya. Menyusuri sisi hidup yang kering dan sedikit renyah. Ia mengaisi remah-remah ilmu yang wibawa.

Kaki kecil bertumbuh kian dewasa. Masa berganti teramu dalam selaksa. Aneka warna hidup memenuhi angkasa. Terseduh bersama segenap kenangan.

Kini semua sampai di penghujung cerita.

Secangkir kisah disuguhkan bersama sekumpulan luka. Perlu kedalaman hati untuk menyesapnya. Menikmati isak tangis bersama doa. Menjalani derita seiring bahagia.

Ketiadaan adalah akhir. Menjelma dalam bentuk takdir. Tak dipungkiri ia akan mampir. Menutup hidup kita tanpa perlu berpikir. Bahwa kuasa Tuhan pastilah hadir.

Selamat jalan mahaguru!

Cilegon, 24.09.2021