Perkawinan Perak
PERKAWINAN PERAK
Hari ini tanggal 12 Februari 2019. Di tanggal yang sama, 25 tahun silam, aku menyerahkan hidupku pada lelaki terbaik yang bernama Gilang Mahendra. Dia baik hati, sabar, dan sangat setia. Dia memahami sifatku yang terkadang sedikit manja.
Sebagai anak sulung, dia sudah terbiasa menerima rengekan dan sikap manja kelima adiknya. Terlebih, Mas Gilang telah mengambil peran sebagai lelaki tertua di keluarganya sejak usia 17 tahun, menggantikan sosok ayah yang meninggalkan mereka. Itulah jawabannya ketika aku menanyakan perihal kesabarannya menghadapi sifat manjaku.
Seiring usiaku, sifat kekanak-kanakan itu tentu saja makin berkurang. Apalagi dengan sistem kerja yang sering menuntut Mas Gilang keluar kota berhari-hari. Setiap bulan, pastilah ada saja tugas keluar kota untuk menangani masalah yang timbul dalam ekspansi lahan guna pembukaan kantor cabang perusahaan di beberapa kota di Indonesia.
Kini, setelah seperempat abad kami hidup Bersama, rasanya semua hal berjalan baik-baik saja. Ketiga putra-putri kami Argha, Aghnia, dan Aidha telah dewasa dan tidak banyak menyita waktu kami berdua.
“Bu, bunga yang ini ditaruh di mana?” Sebuah suara membuyarkan lamunanku.
“Oh, yang itu untuk di meja makan. Letakkan persis di tengah, ya, Mbak!”
“Baik, Bu.”
Sambil menyiapkan gaun yang akan kukenakan nanti malam, aku kembali menjelajahi lorong-lorong pikiranku. Hidupku paska menikah dengan Mas Gilang, hampir dapat dikatakan terlalu mulus. Urusan pekerjaan, anak-anak, keluarga, hingga keuangan, berjalan tanpa kendala yang berarti.
Bukan berarti kami tak pernah menemui masalah. Namun, entah mengapa, masalah yang kami hadapi cepat sekali terselesaikan dengan sedikit upaya yang kami lakukan. Tentu aku amat bersyukur dengan semua perjalanan hidup keluargaku hingga saat ini.
Akan tetapi, beberapa hari setelah Mas Gilang tugas ke Medan, pikiranku menjadi sedikit error. Aku jadi takut dengan semua ketenangan hidupku. Aku sering menyangkal pikiran buruk yang sering muncul itu. Calm down, Ghania! Semua akan baik-baik saja.
Suara gawai kembali membelah lamunanku.
“Ya, Mas? Jadi kan pulang hari ini?”
“Jadi, dong. Oya, mungkin Mas nggak keburu beli Bika Ambon ya kali ini. Ada meeting dadakan sama notaris yang mepet banget sama jam terbang. Tapi nanti Mas usahain, sih.” Suara Mas Gilang mengandung nada penyesalan.
“Nggak apa-apa kok, Mas. Di rumah juga lagi banyak makanan, nih.” Aku sengaja tidak memberi tahu tentang perayaan 25 tahun perkawinan kami nanti malam.
“Memangnya lagi ada apa di rumah?” tanya suamiku.
“Nggak ada apa-apa, Mas.”
“Ok, deh. Mas tutup dulu ya, mau ketemu sama sekda lanjut ke kantor notaris Sangap Taras.”
“Ok, Mas. Hati-hati! Aku tunggu di rumah, ya. Jangan lupa kirim foto boarding pass-nya.” Percakapan pun berakhir.
Aku melirik jam weaker di atas meja kecil di sisi tempat tidur. Benda bersuara cempreng itu telah menemani dua puluh lima tahun perjalanan rumah tangga kami. Ia setia membangunkan kami setiap Subuh, saksi bisu atas semua kebersamaan kami yang indah.
Baru pukul 10.00. Aku masih punya cukup waktu untuk menyiapkan semua kejutan untuk Mas Gilang. Jadwal penerbangannya pukul 15.00. Berarti, maksimal pukul 18.30 dia sudah sampai rumah dan menerima kejutan ini. Aku tersenyum sendiri membayangkan wajah suamiku yang kaget. Argha, Aghnia, dan Aidha sudah berjanji akan sampai rumah sebelum Magrib. Semakin lengkap saja kejutan yang kusiapkan.
Aku mengambil tumpukan foto yang telah kucetak secara khusus. Semua dalam warna hitam putih. Mas Gilang suka sekali dengan hal-hal yang berbau vintage. Foto-foto itu adalah perjalanan hidup kami berdua selama 25 tahun, mulai dari foto pernikahan, saat pertama aku menimang Argha, aku dan Mas Gilang saat nonton bioskop berdua, liburan berdua, fotoku yang ketiduran menemani Mas Gilang nonton world cup, foto candidku saat memasak, dan lain-lain.
Aku menggantungnya pada tali yang telah kutempelkan di seputar dinding kamar. Kujepit dengan penjeit kayu yang sudah kubeli secara online. Ya, seserius itu aku menyiapkan semua kejutan ini. Selama ini, kami tidak pernah merayakan ulang tahun pernikahan.
Tahun ini, aku ingin perayaan cinta kami menjadi momen yang paling berkesan dan tidak akan terlupakan oleh siapa pun, terutama aku dan Mas Gilang. Sepasang vas berwarna coklat tua berisi rangkaian aneka bunga, terpasang di sisi kanan dan kiri tempat tidur, menambah kesan romantis di kamar kami. Aku Kembali tersenyum.
Selesai mendekor kamar, aku ke ruang keluarga untuk mengecek segala sesuatu. Semua sudah seperti keinginanku. Mbak Tina dan Sari telah bekerja dengan sangat baik.
*****
Tepat saat azan Magrib, ketiga anakku datang. Ah, rasa kangen yang sudah membuncah, akhirnya tersalurkan juga. Argha sengaja menjemput Aghnia dan Aida dari kosan mereka. Argha seorang arsitek di sebuah perusahaan pengembang di Jakarta. Aghnia dan Aidha masih kuliah di PTN yang sama.
Selepas salat Magrib, mereka bertiga membantuku menata makanan di meja makan. Beberapa lilin mengelilingi sebuah vas dengan rangkaian bunga yang amat canti di tengah meja.
“Ayah flight jam berapa, Bu?” tanya Argha.
“Jam 3,” jawabku sambil melihat jam yang kukenakan.
“Harusnya jam segini udah sampai ya, Kak?” ucap Aidha sambil mencomot anggur hijau di depannya.
“Kok ayah nggak kirim foto boarding pass-nya, ya?” Aku baru ingat kebiasaan yang selalu dilakukan suamiku. Kenapa kali ini tidak dia lakukan, ya? Tanyaku dalam hati.
“Ibu nggak bilang sama ayah soal pesta ini?” Aghnia menatapku.
“Ya nggaklah. Kan surprise. Masa dikasih tahu, Kak. Ya kan, Bu?” Si bungsu Aidha menjawab.
Aku mengangguk sambil terus menata piring.
Gawaiku berbunyi, menghentikan percakan kami. Sebuah nomor lokal yang tak kukenal terpampang di layar.
“Ya hallo.” Aku membuka pembicaraan.
“Betul dengan Ibu Ghania, istri Bapak Gilang Mahendra?” Sebuah suara di ujung saluran bertanya.
“Ya betul, saya sendiri.” Ketiga anakku serius menyimak.
“Kami dari Rumah Sakit Mitra Keluarga, ingin mengabarkan bahwa Bapak Gilang mengalami kecelakaan, ….”
Semua gelap.
*****
Samar-samar aku melihat wajah ketiga anakku. Kekhawatiran terpancar pada wajah mereka. Aku ingat kabar tentang Mas Gilang.
“Ayah bagaimana?” Aku hendak bangun, tetapi Argha menahan pundakku.
“Ibu tiduran saja. Biar kami yang mengurus ayah.”
“Tapi Ibu harus melihat kondisi ayah, Gha.”
“Nanti saja, Bu. Semua sudah ditangani dokter.”
Aghnia dan Aidha tampak menunduk. Terdengar suara isak kecil yang tertahan. Aku mulai curiga.
“Argha! Bilang ke ibu, ayah baik-baik saja, kan?”
Argha bergeming lalu menunduk. Aku menangkap sesuatu yang buruk dari cara mereka merespon pertanyaanku.
“Argha! Aghnia! Aidha! Bagaimana kondisi ayah? Ibu harus lihat ayahmu.” Aku berontak.
“Bu, … ayah … ayah sudah tidak bersama kita lagi.”
Semua kembali gelap.
*****
Aku duduk di hadapan dua sosok yang tak lagi bernyawa. Buku nikah Mas Gilang dan perempuan itu kucengkeram kuat-kuat. Ada aliran perih yang amat panjang darinya. Air mataku tak lagi bisa keluar. Hatiku seperti padang pasir yang kering. Entah rasa apa yang kumiliki saat ini. Sedih, marah, kecewa, benci atau perpaduan dari semuanya.
Tidak ada tiket pesawat kepergian Mas Gilang ke Medan di tasnya. Yang kutemukan adalah struk pembayaran toll Jakarta – Bandung, bill hotel, dua struk dari butik ternama, beberapa bill restoran, dan dua buku nikah.
Hati dan hidupku hancur sehancur-hancurnya. Apa ini? Drama macam apa yang suamiku mainkan? Kenapa dia menikah lagi? Apa salahku, Mas? Setega itu kamu memperlakukan aku di saat hari pernikahan ke 25 tahun kita. Semua pertanyaan itu tak akan pernah aku dapatkan jawabannya.
Dan pesta itu, pesta yang kusiapkan, pesta yang akan menjadi sesuatu yang tak pernah terlupakan, benar-benar tak akan mampu kulupakan. Seumur hidup, aku tak mungkin melupakan pesta itu. Pesta pertama dan terakhir, pesta yang berujung duka teramat lara.
Ketiga anakku memelukku. Entah perlu berapa masa mampu kupulihkan semua luka ini. Hanya waktu yang akan menjawabnya.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Bagus sekali Bu cerpennya Bu, saya juga suka puisi-puisi Ibu.
Alhamdulillah. Terima kasih, Bun. Sudah membaca tulisan saya.