Hana S. Muti

pengajar di MTsN4 Kediri...

Selengkapnya
Navigasi Web

meneladani Kartini?

Meneladani Kartini?

by Hana S. Muti

Tak terasa sudah bulan april lagi ya, Bunda. Berarti siap seru-seruan lagi untuk hari yang diperingati secara nasional di negara kita. Ya, hari kartini. Untuk para bunda dan anak perempuan yang bersekolah pasti mulai ribet mikirin pakai kebaya model apa, konde gimana, ke salon rias apa, dan biayanya. Biasanya juga ada lomba-lomba khas kewanitaan seperti lomba tumpeng, merangkai bunga, baca puisi tema kartini, dan bahkan di sekolah anak saya juga ada lomba fashion show tema kartini. Seru kan, Bunda.

Saya menghormati Ibu Kartini, dan sejak usia TK, saya sudah selalu terlibat perayaan Hari Kartini. Namun, jujur dalam hati saya timbul pertanyaan; (Mungkin dalam hati bunda lain juga demikian). Mengapa Kartini? Mengapa memperingatinya harus pakai kebaya? Apa yang kita teladani dari beliau?

Mengapa Kartini?

Saya terlahir dari suku Jawa. Kebetulan sejak kecil saya akrab dengan berbagai literasi dan cerita tutur tradisional tentang kisah orang-orang hebat jaman dulu, termasuk para pendekar wanitanya. Juga kisah-kisah tokoh pria dan wanita hebat pada masa kerajaan Islam di Nusantara. Wajar kan kalau kemudian muncul pertanyaan, sebenarnya sejak kapan orang jawa apalagi beragama Islam mulai mendiskriminasi dan menindas wanita seperti pada masa Ibu Kartini. Jika kita melihat sejarah, ada tokoh tokoh wanita juga antara lain;

satu abad sebelum Kartini lahir, dari Jawa telah ada panglima wanita yaitu Nyai ageng serang, yang terkenal dengan kealiman ilmunya, juga pasukan wanitanya yang terkenal hebat.

Pada masa yang sama dengan masa hidup Kartini, dari Jawa juga ada Nyai Ahmad Dahlan, yang jejak kiprahnya dapat kita lihat hingga saat ini.

Pada masa yang sama dengan Kartini, di Aceh, juga ada panglima wanita yang gagah berani, cut Nyak Dien dan Cut Meutia.

Dua abad sebelumnya, dari kerajaan Islam Aceh bahkan telah ada laksamana wanita pertama di dunia, yaitu laksamana KeuMalahayati.

Melihat data sejarah ini, wajar kan, kalau muncul kecurigaan bahwa ketertindasan perempuan di lingkungan Kartini adalah akibat dari penetrasi budaya kaum kolonialisyang mendiskreditkan wanita. Mengingat Kartini lahir dari keluarga ningrat yang mau tidak mau harus dekat dengan penjajah Belanda.

Mengapa kebaya? Bukankah busana kebaya dengan kain jarit yang dililitkan sempit (tapih), juga konde dengan menyambung rambut, itu memanipulasi dan membatasi gerak wanita. Juga aneka lomba bertema kewanitaan, bukankah itu justru mengukuhkan bias gender? Mengapa orang yang diklaim sebagai pejuang emansipasi diperingati dengan cara demikian?

Keteladanan Kartini. Akhirnya jika kita ingin meneladani Ibu Kartini dari semangat juangnya yang tanpa pamrih, juga pemikiran cemerlangnya yang menembus kegelapan, maka kita juga harus ingat bahwa Ibu Kartini mendapatkan inspirasi Door Duisternis tot Licht (Dari gelap Menuju Cahaya) adalah dari Al Quran. Wanita muslim tidak butuh ajaran feminisme untuk bebas dari penindasan. Karena dalam Islam tegas dinyatakan bahwa laki-laki dan perempuan punya kewajiban yang sama untuk menuntut ilmu, menegakkan kebenaran dan mencegah kejahatan (amar ma’ruf nahyi munkar), dan bertakwa pada Allah saja.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post