Dhania mengeluarkan tasbih digitalnya. Counter tersebut diatur mulai dari nol, untuk mengingatkan jumlah bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir yang sudah dibacanya. Targetnya masing-masing tiga ratus seharian. Alat mungil itu terpasang di jari tengah kirinya.

Bungkusan makanan sahur dibukanya perlahan. Tak perlu dihangatkan, karena di kamar kos ini tidak ada microcooker seperti di rumahnya. Isi bungkusan tersebut nasi putih, telur dadar, tumisan capcai, dan kerupuk. Dhania menuang air putih dari termos ke gelas. Waktu imsak masih dua puluh menit lagi. Ini hari pertana Dhania puasa di tempat kos.

Baru makan, notifikasi Whatsappnya berbunyi. Dhania malas membukanya, ia masih asyik makan. Tapi, ternyata notifikasi tersebut berbunyi terus, berturut-turut. Tanda cukup banyak yang masuk. Mau tak mau, Dhania jadi membukanya.

“Sudah sahur, Nak? Jangan lupa minum vitaminmu.” Dari Bunda.

“Nduk, sudah shalat tahajjud? Semoga bisa ikut jamaah Subuh di masjid dekat kosmu.” Ayah juga ikutan WA.

“Pelangi, jangan lupa sahur. Selamat puasa.” Roma ikut-ikutan sok perhatian. Hanya dia yang memanggil Dhania dengan sebutan pelangi.

Ingat Roma, hati Dhania agak berdesir. Pasalnya, Roma ini teman di kampusnya, beda jurusan dan beda angkatan. Mereka satu departemen di BEM. Roma ketua departemen humas, Dhania anak buahnya. Entah mengapa, akhir-akhir ini Roma sering chat WA Dhania. Hal-hal sepele dikirimnya ke Dhania, lucu-lucuan. Bikin Dhania tersenyum. Kadang Dhania meresponnya, tapi lebih sering mengacuhkan.