Harini

Bismillah...menulis adalah ungkapan hati dan pikiran yang tidak diucapkan. (Harini Wijaya) Selalu ingin belajar menjadi lebih baik, bermodal kemauan dan kesabar...

Selengkapnya
Navigasi Web

Awan kelabu di hatiku

Langit mendung kala itu. Persis seperti hari ini. Kenapa aku selalu ingat kamu di saat kulihat awan mulai kelabu. Kenangan kala kita sering duduk di bawah pohon talok dekat masjid kampus bersama teman-teman berkelebatan datang.Sengaja selesai kuliah kita tidak langsung pulang. Beristirahat di masjid setelah sholat sambil sesekali berdiskusi tentang mata kuliah yang tadi diberikan pak dan bu dosen.

“Mir, sini dulu!” , suara Bimo menghentikan pembicaraan kami. Agaknya anak itu sudah tahu kebiasaan aku dan kamu yang sering berdebat saling beradu pendapat. Waktu itu kamu sedang menjelaskan cerita tentang captain Nemo dari reading text mata kuliah pak Siswantoro. Kamu bilang kalau dalam cerita itu kapten nemo memang sengaja mengasingkan diri di sebuah kapal selam. Aku berpendapat kalau kapten Nemo sedang melakukan sebuah penjelajahan. Ah, entahlah...

“ Mir...,” teriakan Bimo terdengar lagi. Kamu segera menghampiri sahabatmu itu dan meninggalkanku dengan keraguan yang mulai timbul di pikiranku. Jangan-jangan memang aku yang salah memahami teks ini. Teks bahasa memang kadang memberikan persepsi berbeda pada pembacanya. Apalagi ini teks yang ditulis dalam bahasa Inggris.Aku menutup buku English Reading text berjudul Captain Nemo dan memasukkannya kedalam tas.

Sebentar kemudian kamu datang mendekat dengan membawa segenggam buah talok yang tadi dipetik Bimo. “ Kamu pasti belum pernah makan buah kersen,ya?” tanyamu sambil meletakkan buah kecil-kecil warna merah semburat kuning di depanku. Aku mengernyitkan dahi sejenak. Kuambil satu buah yang paling merah. Kuusap dengan tanganku lalu kumasukkan kedalam mulutku. “Hhmm...maniis...kayak aku,” kataku tersenyum. “ Kalau di sini namanya talok. Tadi kamu menyebutnya apa..?” Tanyaku pada Amir yang masih tampak menahan senyum. Dia pasti merasa geli dengan rasa kepedeanku bilang “manis”. “Kata Bimo namanya ‘kersen’.” Jawabmu sambil menatapku. Kulihat senyummu kali ini agak beda.Ah..kamu seringkali begitu. Kamu punya tatapan yang kadang aku merasa takut untuk menerjemahkan.

“Kersen??! Kereen amat...” kataku seolah pada diri sendiri. Kulihat Bimo berlari kecil mendekat.

“Ayo kita pulang. Jangan nunggu hujan datang. Lihat tuh, di sebelah sana awannya mulai gelap.” Bimo menunjuk ke arah timur. Benar juga...”Ayo,Ta..” Aku memanggil sahabatku yang dari tadi asyik membaca buku cerita. Sahabatku satu ini memang terkenal kutu buku. “Mana si Sari dan Anis.?” Tanyaku mencari-cari temanku yang lain. “Mereka sudah nunggu di tempat parkir.” jawabmu. Kami berenam segera beranjak meninggalkan masjid kampus. Mataku sempat mendongak ke langit. Awan kelabu selalu jadi saksi persahabatan kami berenam, aku,kamu, Meta,Bimo,Sari dan Anis.

*****

Siang itu aku sengaja ingin sendiri. Aku langkahkan kakiku menyusuri jalan-jalan yang pernah kulalui bersamamu. Kadang juga dengan teman kita berenam. Langit siang tampak meredup. Sebentar lagi awan kelabu mungkin akan muncul menyambutku. Tiba-tiba aku gelisah memikirkanmu.

“Apa Amir tidak bercerita sama kamu sebelumnya, Din?”, tanya Bimo pada saat itu. Aku menggeleng. Teman-teman melihat kedekatan ku dengan kamu lebih dari seorang teman.Aku justru baru merasakan kehadiranmu begitu berarti di saat kamu tidak ada di sini. Pertanyaan teman-teman tentangmu semakin membuatku merasa cemas. Sebenarnya ada apa denganmu?

Kamu sudah empat hari tidak kelihatan di kampus. Bimo mencari kabar dari orang-orang di tempat kost, mereka bilang kamu pulang ke Bandung tiba-tiba.

“Kamu kan sahabatnya,Bim? Kamu mengenal Amir lebih dari aku mengenalnya. Masya’ dia tidak pernah bilang kalau ada masalah? Masya’ dia juga tidak memberimu kabar kenapa sampai hari ini tidak kembali?”. Aku mendesak Bimo. Aku berharap Bimo memang tahu dan mungkin ingin menyembunyikan sesuatu dariku. Ternyata Bimo memang tidak tahu dan akan berusaha mencari kabar sahabatnya itu.

Langkahku terhenti di halaman masjid. Kulirik arloji di tanganku. Sebentar lagi adzan ashar. Aku melangkah masuk. Kulihat tempat kosong dimana kami sering duduk berenam. Meta suka duduk di dekat tiang itu dan mulai menekuni buku bacaannya. Aku,kamu ,Anis,Bimo dan Sari berkumpul di sebelahnya. Selalu ada tema yang kita diskusikan berenam. Walau hanya diskusi ringan tapi banyak ilmu yang bisa saling kita dapatkan. Kalau sudah membahas ilmu agama, kamulah yang paling kami andalkan. Itulah yang aku kagumi darimu. Kamu tampak seperti ustad kalau sudah berucap tentang dalil dan tafsir sebuah surat. Untuk yang satu ini aku tidak berani mengajakmu berdebat.

Aku melangkah ke samping masjid. Di tempat ini kali pertama aku tertarik padamu. Kulihat dirimu yang sedang berwudhu. Sesaat aku terpaku.Begitu cermatnya kamu melakukan thaharah sebelum melakukan ibadah sholat. Rasanya air yang mengalir begitu berharga dari berkumur sampai ke sela-sela ujung jari kaki. Sampai-sampai aku terhenyak begitu kamu selesai dan menegurku,” Din, tempat wudhu akhwat kan di sebelah sana?!.”

”Eh iyaa...lupa.Kok aku tadi ngikutin kamu ya..?!” Aku berusaha tertawa untuk menghilangkan kacau di kepala. Syukurlah tidak begitu banyak orang yang ada. Masih sempat aku melihat air yang menetes dari rambutmu. Astaghfirullah....kenapa aku jadi tersipu?

****

Dua minggu berlalu, Bimo datang menemuiku. Aku. Meta dan Anis sedang duduk di bangku bawah pohon talok.

“Ini Din..ada titipan untukmu,” Bimo mengulurkan sebuah amplop. Aku yakin itu surat .”Dari siapa?”. Pertanyaanitu hanya untuk meyakinkanku bahwa itu surat dari Amir.

Kabar yang kudapat darimu bahwa kamu tidak bisa melanjutkan kuliah di Solo lagi. Ayahmu meninggal dalam kecelakaan. Kamu sebagai anak tertua bertanggungjawab untuk menggantikannya sebagai kepala keluarga. Ibumu minta kamu meneruskan usaha kecil ayahmu untuk menghidupi ibu dan kelima adik-adikmu”. Aku menghela nafas. Aku berusaha bersikap biasa di depan Anis, Bimo dan Meta.

“Kamu tidak apa-apa kan,Din?” tanya Meta. Aku mencoba tersenyum dan mengangguk. Aku yakin Anis dan Meta sudah tahu kabar Amir dari Bimo. Entah..apa yang kurasakan pada waktu itu. Aku sedih tapi aku tidak ingin menangis. Apalagi di depan teman-teman.

Awan kelabu tidak hanya kulihat di langit waktu itu. Mendung itu ada di hatiku. Aku bayangkan hari-hari selanjutnya tidak akan kutemui dirimu lagi. Kudengar hatiku berbisik. Kapankah akan ku temui dirimu lagi.Kamu pergi ketika aku meyakini....aku telah jatuh hati.

Peserta pelatihan Sagusabu Solo

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Cinta yang tertunda.

04 Aug
Balas

Betul

04 Aug
Balas



search

New Post