Hariyani

Hariyani adalah nama asli sejak lahir dari Ibu bernama Marsini dan Bapak bernama Paniran yang tinggal di Blitar. Berlatar pendidikan SDN Jatituri 2 Blitar, SMPN...

Selengkapnya
Navigasi Web
Buket Mawar Merah

Buket Mawar Merah

Buket Mawar Merah

Hariyani

Rinai gerimis pagi ini mengusap dada buana. Membasuh mahkota-mahkota mawar merah di pelataran. Menetes dari satu helai ke helai lainnya. Ada rindu yang membayangi tiap tetesnya. Semilir bayu mengirimkan aroma harum semerbak.

Senyum Emilia teramat manis menyapa. Binar bola matanya seindah mawar merona. Hujan selalu selaras dengan rasa. Ada rongga dada yang terasa hampa lantaran tanpa Reza, sang belahan jiwa, di sisinya.

Mawar itu membawanya pada kenangan sembilan purnama berselang tatkala yudisium dalam waktu yang bersamaan di kampus Ali Wardana. Sebuket mawar merah merekah dalam genggaman mereka. Kartu ucapan 3 d tersemat pada tangkai bunga. Kolam yang menyanggah nama kampus mereka menjadi saksi ungkapkan rasa akan setia.

“Selamat, kini kau dapatkan tiket untuk mewujudkan impianmu. Semoga kita akan bersatu selamanya.” (Dariku : yang menyayangimu)

Kembali Reza mengekspresikan rasa hatinya setelah satu tahun bersama dalam ikatan cinta. Senyum Emilia semakin memesona kala ingatannya melayang ke sana. Tangkai-tangkai mawar di pelataran itu tergetar dan menembus relung hatinya.

***

Reza Taufan Namanya. Ketua IMALITA periode 2017/2018 itu sedang melaksanakan tugas untuk sosialisasi pengenalan kampusnya di SMASA karena liburan semester ganjil ini memang menjadi program mereka. Sikapnya yang pendiam dan gaya bicaranya yang tenang telah mencuri perhatian banyak siswi. Tak terkecuali pada Emilia, gadis imut jurusan IPA, tak mengalihkan perhatiannya pada sang ketua. Reza yang piawai dalam berbicara, sikap simpatiknya, juga jiwa kepemimpinannya.

Emilia sangat termotivasi melanjutkan kuliah di sana. Siapa yang tidak berkeinginan bisa diterima di sekolah tinggi itu. Banyak fasilitas yang ditawarkan demi masa depan. Biaya pendidikan 100% gratis tentu akan meringankan beban orang tua. Yang menjadi impian juga, akan mendapat jaminan pekerjaan setelah lulus dengan ditugaskan ke berbagai lembaga dan instansi pemerintah. Dengan begitu, setelah menyelesaikan kuliah, ia tidak perlu lagi bersaing mencari pekerjaan.

Emilia tergolong gadis yang pintar terbukti selalu menduduki peringkat tinggi di kelasnya. Mata pelajaran yang berhubungan dengan hitung-menghitung sangat disukainya. Namun, itu pun belum menjamin akan lolos dengan mulus mengingat banyaknya pesaing yang mencapai seratus ribu, sedangkan yang diterima hanya sekitar limaribuan. Dari tahun ke tahun jumlah peminat selalu meningkat sehingga semakin ketat penyeleksiannya.

Emilia bertambah keras berusaha. Selain belajar secara mandiri, ia juga ikut bimbingan belajar khusus sesuai dengan jurusan yang akan diambil. Doa tak putus pula terlantunkan lewat amalan puasa dan salat malam yang selama ini sudah menjadi rutinitasnya. Jiwanya terasa semakin basah oleh munajat. Ia benar-benar ingin menggenggam mimpinya.

Tryout yang diselenggarakan baik oleh IMALITA maupun tempat dia mengikuti bimbingan belajar itu selalu diikutinya. Emilia ingin menguji kemampuannya. Jika masih belum berhasil, dia akan lebih keras lagi berjuang agar matang persiapannya.

“Selamat, ya,” Mas Reza mendekatinya tatkala dia lulus dalam tryout pertama dengan nilai yang sangat memuaskan. Senyum Emilia menutupi getaran di hatinya. Siapa yang tidak gugup ketika didekati sang ketua pelaksana yang nota bene kakak kelasnya.

“Terima kasih, Kak.” Pipinya mulai memerah.

“Lebih giat lagi belajar dan doanya.” Tatapan mata sang ketua mulai mengusik denyut jantungnya. Tak sanggup lagi berkata, Emilia hanya mengangguk pelan.

***

Untuk masuk ke sekolah tinggi kedinasan itu harus melalui beberapa tahap. Tahap pertama adalah seleksi administrasi. Jika ini sudah lolos, berikutnya harus lolos tahapan tes CAT ( Computer assisted Test). Tes yang berupa Seleksi Kompetensi Dasar, Tes Potensi Akademik, serta Tes Bahasa Inggris. Agar bisa lolos pada tahap ini harus mendapatkan nilai minimal dari passing grade yang sudah ditentukan pada masing-masing tes CAT. Nilai Emilia sudah melebihi batas minimal. Matanya berkaca-kaca ketika melihat itu. Gelombang di dalam dadanya semakin bergetar hebat. Dia mengambil nafas yang begitu dalam. Tekadnya lebih kuat untuk mengikuti tes tahap II yang diselenggarakan di kota lain.

Langkah kakinya diayunkan dengan pasti ketika mengikuti tes tahap kedua yaitu tes kesehatan dan kebugaran. Berbagai pemeriksaan telah dia lalui. Pemeriksaan berat dan tinggi badan, tekanan darah, virus mata, semuanya dapat terlampaui. Untuk tes kebugaran, Emilia sudah mempersiapkan diri dengan berlari pagi setiap dua hari sekali di lapangan sepakbola dekat rumahnya. Dengan latihan itulah ia dapat mencapai waktu yang sesuai target.

Tinggal selangkah lagi yaitu psikotes atau wawancara. Pertanyaan seputar sikap, alasan atau motivasi, dan harapan jika diterima ini pun dapat dilaluinya dengan lancar karena dia juga sudah mendapat pelatihan di tempatnya mengikuti bimbingan belajar.

***

Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu seratus ribu peserta seleksi masuk sekolah tinggi bermasa depan itu. Dengan teliti Emilia mengecek nomor pesertanya dalam daftar yang dinyatakan lulus. Emilia melonjak kegirangan setelah mengetahui nama dan nomornya tertera dalam deretan daftar. Dia diterima di jurusan Kebendaharaan Negara D-1. Emilia segera bersimpuh, sujud syukur, lalu mencari ibuknya untuk menyampaikan berita gembira itu dan tentunya mengucapkan terima kasih yang tak terhingga. Tanpa doa ibuknya dia juga tak akan bisa menggapai impiannya.

“Selamat ya ,Nduk, Allah meridoi kerja kerasmu,” Ibuk menciuminya dengan berderaian air mata penuh syukur. Emilia ikut meneteskan air mata bahagia.

***

Dingin yang mengiringi gerimis pagi ini menelusup ke relung hati. Menghadirkan rasa rindu Emilia pada tiap kebersamaan dengan Reza. Dua tahun adalah waktu yang begitu singkat berada di sampingnya. Bola matanya mengerjap. Rindu itu menyesak dalam dada. Dia mengambil napas panjang lalu dihembuskannya perlahan.

“Mas, apa yang Mas lakukan saat ini? Gerimis jugakah di sana?”

Emilia duduk merenung. Masa-masa manis di kampus itu begitu jelas menari di bola matanya. Kekagumannya pada sosok ketua IMALITA kembali terusik ketika mengadakan kegiatan. Pertemuan demi pertemuan menambah rasa suka.

“Ayok, nonton film!” ajakan teman-teman SMA-nya.

Emilia mengikuti ajakan itu mengingat jarang sekali bersama mereka karena berbeda jurusan. Ternyata di sana ada Reza. Kebetulan teman satu kos Reza juga teman Emilia sejak SMA.

Entah memang ini sudah direncanakan temannya atau tidak Emilia tidak berpikir ke sana, Tempat duduk Emilia disandingkan dengan Reza. Dalam waktu dua jam menonton film itu tentulah terjadi percakapan-percakapan kecil. Reza mulai menanyakan jurusan yang diambilnya, alamat tempat kosnya, alamat rumah asalnya, dan tak lupa nomor ponselnya.

Film horor yang ditonton begitu mendebarkan. Namun, debaran yang dirasa ini berbeda sebab ada yang menoreh pada nalurinya. Entah apa artinya? Emilia memendam rasa itu. Hanya sesekali ekspresi ketakutan karena kaget itu diluapkannya dengan memegang erat lengan Reza ketika hantu-hantu dalam film itu mengusik ketenangannya. Reza tertawa menerima reaksi itu. Bahagiakah?

***

Think … think … think .., ponsel Emilia berbunyi tanda pemberitahuan adanya pesan masuk.

[“Besok, malam minggu, kita nonton lagi, yuk.”] Reza mengirim pesan. Getaran halus mulai merambah dadanya. Emilia tersentak. Setelah agak lega napasnya, dibalasnya pesan itu.

[“Sama siapa, Mas?”] Emilia hanya ingin tahu nonton sama siapa mereka nanti. Dia tak peduli apa filmnya.

[“Berdua saja.”]

Dug! Tambah keras dentuman itu menghantam relung hatinya. Emilia bertanya-tanya dalam hati.

“Apa yang akan disampaikan Mas Reza, hingga dia ingin berdua saja denganku? Apakah … apakah …?”

Emilia semakin merasa melambung, namun, segera ditepisnya pikiran dan harapan itu. Apakah Reza mulai menyukainya? Apakah Reza akan mengungkapkan perasaannya? Beberapa pertanyaan terus memburu perlu segera mendapat jawaban.

Menanti waktu malam Minggu begitu lama. Dari detik ke detik, menit ke menit, jam ke jam selalu dihitungnya. Emilia terus terkurung dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Tidurnya semakin tak nyenyak, makan pun tak enak, bayangan Reza selalu melenggang di pelupuk matanya. Keraguan dan kepastian silih berganti menyelimuti pikirannya.

***

Sebenarnya film yang akan ditontonnya ini tak begitu menarik ketika membaca sinopsisnya. Kebersamaan dan kedekatan yang menjadi tujuan. Tiada aral melintang, Emilia dan reza berangkat ke CGV Transmart Bintaro. Getaran-getaran halus mengiringi tiap gerak, ucap, dan tatapan mata. Diam sekejap dalam pikiran masing-masing. Ada hal kecil yang diperlukan untuk mengisi kekosongan.

Beberapa makanan kecil dan air mineral disiapkannya. Rasa canggung sedikit tertutupi dengan hadirnya snack itu. Pintu masuk studio terbuka. Reza menggamit lengan Emilia untuk segera masuk. Situasi di dalam studio akan lebih menyenangkan karena tidak berdesak-desakan.

Mereka mencari nomor tempat duduk yang berada sesuai tertera pada tiket. Dipilihnya nomor di tengah-tengah ini karena resonansi suara dan jarak pandang yang enak. Posisi ini memang paling banyak peminatnya. Emilia dan reza duduk berdampingan.

Sebelum film dimulai, berbagai iklan atau cuplikan film yang segera tayang diputar. Beberapa penonton berkeluh kesah ketika menonton iklan yang di luar jalur. Tapi penonton tak bisa berbuat apa-apa karena pemasang iklan juga membayar biaya pemutaran.

Dua hati dalam rasa yang sama, namun pikiran berbeda. Reza sedikit gemetar ketika jemarinya mulai menyentuh jemari Emilia. Aliran gelombang itu berpindah ke jari-jari Emilia. Bibir Reza bergetar hingga tak sepatah kata pun terucap. Mereka sama-sama bergelut dengan perasaan masing-masing.

Jalan cerita film itu sudah tak lagi masuk dalam jalan pikiran mereka. Aksi para aktor tak mampu merebut perhatian mereka. Reza beringsut membetulkan tempat duduknya. Kursi yang ditempatinya seperti menyimpan bara api. Emilia merasakan hal yang sama. Dadanya semakin bergemuruh, bergejolak tak tentu arah.

Think … think … think … tetiba bunyi ponsel Emilia berbunyi. Pemberitahuan adanya pesan WhatsApp masuk. Dia segera membuka ponselnya. Kegalauan hatinya sedikit teralihkan.

Nama Reza tertera pada paling atas deretan nama pengirim pesan. Emilia tersenyum. Reza duduk di sampingnya, tetapi mengirimkan pesan.

“Ada apa?” Batinnya bertanya.

Warna hijau yang melingkari angka 1 itu ditekannya. Terbukalah pesan yang dikirim Reza.

[“Bolehkah aku mencintaimu dan ingin membahagiakanmu?”]

Pertanyaan Reza yang sangat berhati-hati ini menambah getaran dalam dada Emilia. Denyut jantungnya semakin tak berirama. Emilia tak berani menoleh. Dia genggam erat ponselnya. Dia masih memilih-milih kata yang paling tepat untuk membalasnya.

Reza semakin tak jenak dalam duduknya. Hatinya bertanya-tanya.

“Diperbolehkan atau tidak? Mungkinkah Emilia sudah ada yang mencintai dan membahagiakan?”

Sementara itu, Emilia masih merangkai kata-kata yang akan dituliskannya. Pandangan matanya tetap tertuju pada ponsel yang digenggamnya. Alur cerita film itu sudah luput dari perhatiannya. Ia lebih menikmati alur cerita kehidupannya.

[“Aku juga merasakan hal yang sama. Kini aku sudah bahagia membaca keinginan, Mas.”]

Reza membaca pesan Emilia. Dia menoleh memandang Emilia. Sekejap mata mereka beradu mengungkap rasa yang sama. Senyum keduanya mengembang.

***

Maret 2020 pemerintah mengumumkan bahwa Indonesia dalam masa pandemi. Penerapan PSBB di mana-mana. Perintah bekerja dari rumah diterapkan di semua instansi dan lembaga. Ini artinya masa magang Emilia diperpanjang. Imbas keberkahan tentu pada Reza dan Emilia akan diperpanjang dalam kebersamaan di kota yang sama. Surat Keputusan penempatan sudah ditetapkan pada Reza. Tetap di kota yang sama mereka menempuh pendidikan.

Emilia masih menunggu masa penempatan. Pandemi ini memperpanjang waktu mereka untuk saling berdekatan. Namun, entah sampai kapan. Jika suatu saat surat penempatan sudah diterbitkan, Emilia harus berpindah tugas. Tempat yang dipilihnya adalah Lampung dan Bali. Pertimbangannya, tidak terlalu jauh dengan Reza dan kota kelahirannya.

***

Kebijakan normal baru diterapkan. Boleh bepergian dengan tetap menaati protokol kesehatan. Surat penempatan Emilia sudah jatuh ke tangan. Bali sebagai ketentuan. Matanya berkaca-kaca antara sedih dan senang. Sedih meninggalkan Reza, tetapi senang karena tidak ditempatkan di pedalaman. Tempat kerjanya di kota meskipun kota kecil.

Dengan turunnya surat itu, Emilia harus segera berpindah tugas. Hatinya begitu berat. Bagaimana pun perpisahan adalah suatu hal yang menyesakkan. Meski zaman modern bisa berkomunikasi setiap saat, tetapi terpisah jarak tetaplah jauh dari pandangan.

Dua tahun waktu yang pendek untuk menyatunya sebuah jalinan ikatan cinta. Merasa kehilangan itu pasti. Semula selalu nyaman berdekatan, tetapi nanti harus berjauhan. Setiap ada permasalahan biasanya akan bertemu dan dipecahkan bersama. Namun, nanti kala berjauhan tidak bisa menyelesaikan secara langsung.

***

Malam ini malam terakhir mereka bersama. Emilia berpamitan, esok harus pindah tugas. Mata indahnya mulai berawan. Napasnya sesak, naik turun menahan rasa sedihnya. Awan yang mengumpul pada bola matanya akan meleleh. Reza pun mulai merasakan panas pada sudut matanya. Ia segera menepis dengan ketegarannya karena dia merasa lelaki yang tak boleh menambah masalah dengan air mata, dia mencoba menghibur.

“Ay … , kita juga bisa bertatap mata melalui videocall. Dalam kondisi apa pun dan kapan pun kita bisa berkomunikasi.” Reza menghapus air mata Emilia.

Emilia menelungkupkan wajahnya di meja. Ia makin terisak. Dalam kondisi seperti ini Reza akan mendiamkan sementara agar puas dalam tangisnya. Jika sudah lega, ia akan berhenti.

“Ayo, Ay …, diminum teh hangat ini!” Reza berusaha mengalihkan perhatian. Sambil meneguk teh dalam cangkir itu ia melanjutkan bicaranya.

“Nanti, kita bisa bertemu di kota kelahiran kita. Desember kan ada cuti bersama, Ay. Kita manfaatkan hari cuti kita.” Dipandanginya wajah Emilia yang sembab dengan tersenyum. Emilia sedikit terhibur. Ia mengangguk lemah.

***

Mawar merah di pelataran semakin merona. Melambai-lambaikan mahkotanya pada Emilia. Emilia masih tetap lunglai pada tempat duduknya. Dia takut dengan ketentuan mutasi. Kebijakan mutasi kerja akan sering terjadi. Bagaimana jika nanti menimpanya? Reza yang sudah menetap, sedangkan dia akan sering berpindah tugas?

Dikeluhkannya kebijakan itu kepada Reza. Kekhawatirannya diadukan dalam kalimat-kalimat resahnya.

[“Mas, bagaimana jika peraturan itu juga diberlakukan padaku?”]

[“Ay, semua yang terjadi dalam perjalanan hidup manusia, perjalanan cinta kita selalu atas izin Allah. Kita berserah diri pada-Nya. Karena hanya Dialah yang mengatur semua ini. Yakinlah, Ay, aturannya selalu tepat untuk kita. Awalnya kita memang merasa takut atau bahkan kecewa. Ternyata Allah menyembunyikan rencana yang paling indah-Nya.”]

[“Iya, ya, Mas. Lalu aku harus bagaimana?”]

[“Coba saja menambah kesibukan dengan mengambil kuliah, Ay. Dengan kesibukan baru itu, nantinya akan menghilangkan rasa resah. Selebihnya rencana apa pun kita pasrahkan kepada-Nya. Pikiran kita akan tenang menghadapinya.”]

Pesan Reza semakin melecutnya untuk lebih konsentrasi pada pekerjaan dan keinginan untuk melanjutkan kuliahnya. Emilia tersenyum lagi pada mawar merah yang basah oleh gerimis.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post