Hasrat yang Terpental, Cerpen Tagur ke-157
Hasrat yang Terpental
Rapat pertemuan RT kali ini tak seperti biasanya. Ketua RW dan Pak Lurah akan hadir dalam musyawarah. Mungkin terjadi perseteruan sehingga sangat diperlukan pemimpin sebagai moderator. Sebegitu pentingnyakah masalah yang timbul sehingga menghadirkan para petinggi?
Tempat rapat yang dipilih adalah tengah-tengah kampung yang berhalaman luas. Persiapan konsumsi sudah tertata. Kotak kue berisi dua potong kue basah, satu kue kering, satu cemilan, dan satu gelas air mineral sudah ditempatkan di meja dekat pintu masuk. Bu RT nampak mondar-mandir berjalan mengontrol konsumsi.
“Halah, kok dihitungin terus..!”
“Hehehe, takut kurang, Mbak.” Begitulah Bu RT. Berulang-ulang menghitungnya.
Penata perlengkapan pengeras suara juga sibuk mencoba.
“Tes..tes..tes.. satu..dua..tiga,” kadang pelantang suara itu diketuk-ketuknya dengan jari untuk memastikan suaranya jernih.
Undangan kepada sejumlah kepala keluarga sebagai wakilnya sudah tersebar. Dalam lingkungan yang tak begitu luas itu dibangun sekitar dua puluh lima rumah dengan tiga puluh kepala keluarga. Tempat duduk yang disediakan ada 40 kursi plastik.
Kasak-kusuk terdengar masalah muncul dari dua kelompok. Ada kubu yang pro dan tentu ada pula yang kontra. Yang pro dan kontra hampir berbanding sama. Bisa jadi keputusan akan ditentukan dalam rapat itu nanti.
***
Semua undanga sudah lengkap. Pak Lurah dan Pak RW sudah hadir. Ketua RT membuka rapat.
“Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh.”
“Waalaikum salam warah matullahi wabarokatuh.” Semua menjawab serempak. Pembukaan dengan berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Warga RT itu penganut tiga keyakinan. Menurut Pak RT tidak etis jika hanya menggunakan doa dari satu jenis agama. Tujuan diadakannya musyawarah adalah untuk menyatukan kedua pendapat yang pro dan kontra.
“Bapak, Ibu yang saya hormati, berdasarkan laporan dari beberapa warga, timbul satu permasalahan di lingkungan ini. Di satu pihak ingin membangun tempat ibadah dengan alasan memang sangat dibutuhkan karena lingkungan ini cukup jauh menjangkau tempat ibadah di tempat lain. Posisi RT ini terlingkungi oleh sungai, jalan raya, dan gedung bertingkat sehingga akses menuju tempat ibadah tersebut cukup sulit apalagi pada musim hujan. Ada satu lokasi yang bisa ditempati. Mengingat status tanah yang menjadi milik negara maka pemerintah kota memberikan izin. Nah, bagaimana pendapat yang lain?”
“Maaf, Pak, saya pribadi tidak bisa menyetujui karena tempat ibadah itu hanya untuk satu keyakinan mayoritas, lalu bagaimana dengan keyakinan yang lain?” Mulai ada yang menyuarakan alasan menentang.
“Baik, saya tanyakan kepada pemeluk agama lain. Apakah pemeluk agama lain ini juga ingin membangun tempat ibadah di tempat tersebut?’
“Waduh, siapa nanti yang ngurusi, Pak. Sementara penganut agama kami di lingkungan ini hanya empat keluarga. Selain itu, kami sudah punya tempat ibadah, Pak.” Penganut agama yang berbeda memberikan alasan. “Namun, bagaimana jika dibangun dua tingkat, yang atas bisa digunakan untuk kepentingan warga,” lanjutnya.
“Haiyaaa, mau membangun satu tingkat saja masih belum jelas dari mana sumber dananya, kok, mau bangun dua tingkat.” Terdengar suara ketawa dari semua yang mendukung dibangun tempat ibadah. Suasana mulai panas. Mulai ada yang menyindir. Pak Lurah harus segera tampil sebagai penengah.
“Baik, Ibu, usulan Ibu akan kami catat sambil menunggu perkembangan.” Cukup bijaksana cara memberikan saran yang tidak menyinggung perasaan si Ibu yang mengusulkan.
“Pak, kalau memang pembangunan tempat ibadah disetujui, saya juga mengusulkan pembangunan ruangan untuk menyimpan perlengkapan dari Rukun Kematian.” Perlengkapan kematian diletakkan di tengah kampung.? Mulai timbul tanda Tanya.
Sepetak tanah yang diusulkan untuk bangunan menyimpan alat kematian itu sangat sering dimanfaatkan untuk kegiatan. Misalnya sebagai area kegiatan peringatan HUT Kemerdekaan RI yang diikuti oleh warga baik perlombaan maupun acara hiburan. Semua berpikir jika memang perlu penyimpanan alat kematian, bisa diletakkan di tempat ibadah di kamar kosong bagian selatan.
“Bagaimana jika tempat penyimpanan alat kematian diletakkan di kamar selatan?”
“Wah, ide yang sangat masuk akal itu.” Ada suara yang nyeletuk. Bapak yang usul membangun di halaman tempat warga berkegiatan jelas-jelas merasa ditampar. Mukanya merah padam. Bagaimana tidak? Ruang yang diusulkan itu berhadapan dengan pintu rumahnya. Jika ia membuka pintu, yang dilihat pertama adalah kereta jenazah.
“Wah, tidak bisa, di depan pintu rumah saya itu.” Nah, kalau dia tidak mau melihat kereta jenazah itu berada di depan rumahnya mengapa dia mengusulkan untuk dibangun di depan rumah orang? Di lahan bermain anak-anak pula. Apa maksudnya?
Rapat berakhir dengan keputusan pembangunan tempat ibadah disetujui, tetapi pembangunan tempat penyimpanan perlengkapan kematian belum mendapat persetujuan warga.
***
Suasana semakin memanas. Ketua Rukun Kematian juga ingin mengadakan rapat. Ketua Rukun Kematian tetap bersikukuh menempatkan alat-alat kematian di tengah kampung yang diusulkan. Entah ada unsur apa. Kali ini emak-emak yang akan angkat bicara dengan berbagai alasan mereka. Ketua Rukun Kematian harus mendengarkan suara emak-emak.
Rapat kali ini hanya dihadiri ketua RW, ketua RT dan pengurus Rukun Kematian. Warga yang diundang sesuai dengan keinginan. Yang ingin datang silakan, yang tidak ingin juga tidak ada sanksi. Martumi, Nanik, Suparti, Tumini, dan beberapa emak mulai berang dengan usulan yang konyol ini. mereka berangkat berduyun-duyun ke tempat pertemuan.
Rapat dimulai, kesempatan diberikan dulu kepada pihak-pihak yang keberatan untuk menyampaikan pendapat.
“Mohon maaf, Bapak. Secara psikhologis emak-emak di kampung kami tidak siap menerima jika peralatan kematian diletakkan di sana.”
“Wah, terima kasih atas keberatan Ibu, tetapi saya tidak mengerti dengan maksud secara psikhologis yang Ibu sampaikan.”
“Emak-emak mempunyai indra perasa yang sangat kuat. Kami merasa takut melihat kereta jenazah itu berada di tengah kampung kami.” Ibu itu menyahut lagi menjelaskan maksudnya.
Ketua Rukun Kematian hanya tersenyum saja.
“Mungkin ada yang punya pendapat lain.”
“Maaf, ketua, di lokasi yang diusulkan itu biasa digunakan anak-anak untuk bermain. Tolong jangan menghalangi anak-anak kami bermain di sana. Jangan membatasi ruang gerak anak-anak.”
“Baik, Ibu, kami catat usul Ibu. Ada lagikah usulan keberatan?”
“Ada, Pak Ketua, mengapa tidak diletakkan di dekat TPU saja? Toh beberapa RW juga meletakkan di sana.” Tampaknya usulan ini logis dan dipertimbangkan oleh pengurus.
Hampir semua warga yang akan ketempatan tempat menyimpan alat kematian merasa keberatan. Mereka, para pegurus, kasak-kusuk di depan kemudian rapat dibubarkan. Selesai acara semua berjalan pulang sambil terus membicarakan keberatan mereka.
“Enak saja buat aturan tanpa kesepakatan kita.”
“Iya. Coba alat kematian itu ditaruh di depan rumahnya, mau nggak?”
“Kalau mereka tetap maju, kita harus terus menghadang.”
“Siap.” Semua setuju.
“Kayak gak ada tempat lain saja.”
Mereka mempunyai taktik lagi jika masih ngotot membangun tempat itu.
***
Seperti biasa, berbincang-bincang secara bergerombol dilakukan di depan rumah pemuka kampung sambil duduk-duduk santai. Dikatakan pemuka karena memang ide-idenya yang sangat tajam dan membangun selalu dibutuhkan masyarakat. Meskipun pria hampir 60 tahun itu tidak mau berada di depan.
“Begini sajalah, kita menggalang tanda tangan warga yang tidak menyetujui dibangunnya tempat penyimpanan alat-alat kematian itu.” Pemuka kampung yang mengusulkan pada awal perbincangan.
“Oooo.. iya, ya, kenapa kita tidak mengeluarkan jurus itu lagi seperti saat kita akan mengajukan pembangunan tempat ibadah ini?” Ibu Murtini teringat dengan trik sebelumnya.
“Bu Nanik, buatkan ya suratnya. Di awal buatkan surat pemberitahuan keberatan. Berikutnya isi semua nama yang menyetujui usulan itu.”
“Siap, Pak.” Bu Nanik menyetujui.
“Jangan lupa berikan juga tembusan kepada Kantor Koramil, Polsek, Kelurahan, kecamatan, dan tujuan utama surat kepada Pengurus Rukun Kematian. “
Bu Nanik mulai membuat coretan isi suratnya untuk ditanyakan kepada pemuka kampung.
“Beginikah, Pak?” Sambil menunjukkan surat yang dibuatnya dalam tulisan tangan.
“Iya, benar. Kalau sudah selesai siapa besok yang keliling minta tanda tangan. Jangan sendiri, minimal berdua.”
“Betul, kalau berdua lebih siap dalam menjawab berbagai pertanyaan. “
***
Malam-malam sejak digulirkan rapat pembahasan pembangunan tempat ibadah itu menjadi malam yang mencekam. Kedua kubu yang berseteru saling meluncurkan trik untuk mematahkan dan menggagalkan suatu rencana.
Sebenarnya perseteruan ini bukan antaragama, antar suku, atau antar golongan. Perseteruan terjadi hanya karena ada pribadi yang merasa dirugikan. Keinginan menguasai tanah negara untuk pribadi ternyata digulingkan oleh masyarakat. Dari sentiment pribadi inilah akhirnya muncul keinginan penggalangan pengikut yang memihaknya.
Sriani segera menghubungi Bu Nanik yang membuat surat.
“Ayo, kita jalan mumpung masih pagi. Selesai langsung kita antar ke kantor-kantor yang ditembusi.”
Mereka berdua dengan gaya gagahnya membawa map berisi surat pernyataan ketidaksetujuan seperti dikonsep semalam. Dengan keyakinan penuh mereka akan berhasil mencapai kuota. Mereka mendatangi warga ke rumah.
“Iya, Nduk, aku juga nggak setuju, takut aku Nduk. Biasanya kalau ada orang yang meninggal, alat-alat itu akan berbunyi. Tapi aku nggak bisa tanda tangan lo!”
“Tenang saja Mbah, kami membawa tinta buat cap jempol.” Sambil memgel;uarkan kotak bantal untuk cap jempol. Setelah diolesi tinta, Mbah Rus membubuhkan cap jempolnya.
“Semoga niat mereka nggak berhasil, ya Nduk.”
“Aamiin,”
Langkah mereka semakin ringan ketika tanda tangan sudah mencapai 70%. Itu artinya tinggal 5 % lagi. Keluarga pemuka kampung melengkapi pemenuhan kuota.
Mereka segera menggandakan surat dan berangkat ke pihak-pihak yang diberi tembusan surat. Rasa lelah sudah terbayarkan dengan keberhasilan menyampaikan suara dan hak menolak.
^^^
Kampung itu menjadi kampung yang terpenting. Surat tembusan mendapat tanggapan dari Kantor Kelurahan, Kantor Kecamatan, Koramil, dan Polsek. Mereka mengirimkan petugas untuk mengamankan kampung agar tidak terjadi kericuhan. Anggota kepolisian, TNI siaga di pintu gang masuk kampung. Emak-emak dan bapak-bapak cukup menyadari kondisi itu. Mereka sudah menduga akan terjadi gerakan pengamanan dari aparat. Mereka sangat berterima kasih kepada pemuka kampung karena jurus jitunya.
Kubu yang mengusulkan pembangunan tempat alat kematian di tengah kampung hanya gigit jari. Mereka sudah tak berani naik bandingi. Inilah akibat sentimen pribadi yang dibawa-bawa. Tidak memikirkan kepentingan umum hanya mengejar kemenangan sehingga melakukan hal yang fatal bagi dirinya sendiri.
***
Blitar, 31 Agustus 2020
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita keren Bu Hariyani. Semangat berliterasi, semoga sukses selalu.
Keren bu.. sukses selalu