Ibu Penjual Nasi, Sosok yang Kuat

Sosok ibu di mataku adalah wanita yang kuat. Kuat dalam arti fisik maupun psikhisnya. Kalau aku boleh menyebutnya, Ibu adalah perempuan perkasa. Bekerja dari ujung pagi sampai ujung malam sebagai penjual nasi. Dari persiapan memasak, membuka warung, menjual, membersihkan, sampai menutup warung.

Dini hari bangun mengawalinya dengan memasak menu yang akan dijual. Menu yang dijual harus masakan yang baru. Bumbu-bumbu sudah dipersiapkan sejak kemarin. Bahan-bahan pun dicuci, dikupas, dan dipotong sejak kemarin. Pagi hari tinggal mencampur bumbu dan bahan maka jadilah masakan baru yang siap saji. Mengapa harus baru? Jika masakan kemarin dijual hari ini, pembeli akan jera dan tidak akan kembali lagi.

Selain persiapan masakan, juga persiapan tempat yang harus bersih dan tertata rapi agar calon pembeli merasa nyaman dan senang. Peralatan dan ruang dibersihkan dan ditata sampai siap untuk menerima pembeli. Mengelap, menyapu, mengepel, dan merapikan. Jika masakan sudah siap, diaturnya di rak tempat penyimpanan masakan siap saji. Penyajian harus dalam kondisi bersih, rapi, dan menarik agar pembeli tergoda.

Merasa sudah siap, ibu pergi ke pasar berbelanja kebutuhan untuk bahan-bahan yang akan dijual esok hari. Pada pagi buta sehabis salat subuh berangkat dengan jalan kaki dan kadang juga naik sepeda. Hanya apabila ada pesanan saja pulang naik becak. Perhitungan yang begitu jeli agar tidak terlalu banyak pengeluaran tak berarti sehingga laba bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhan sehri-hari. Meskipun Ibu tidak pernah belajar tentang akuntansi, ilmu yang diperolehnya secara otodidak sudah menjadi bekal untuk membukja usaha ini.

(bersambung)