Hariyani

Hariyani adalah nama asli sejak lahir dari Ibu bernama Marsini dan Bapak bernama Paniran yang tinggal di Blitar. Berlatar pendidikan SDN Jatituri 2 Blitar, SMPN...

Selengkapnya
Navigasi Web

Mendamba Rona Merahmu, Cerpen Tagur ke-149

Mendamba Rona Merahmu

Mendung bergelayut syahdu menghalangi cahaya mentari yang mulai menyapa pertiwi. Awan gelap dan semakin gelap. Gerimis turun membasahi tanah-tanah kering. Selama beberapa hari matahari memang bersinar amat garang. Titik-titik air tipis membasahi daun-daun bergetar tertimpa butiran rinainya. Debu mengepul naik tertimpa tetesan air. Petrikor ‘bau tanah kering tertimpa air hujan’ menimbulkan aroma yang khas. Keinginan menghirupnya akan menemukan sensasi. Apalagi dengan mata sedikit terpejam aromanya seakan mengalir dan merasuk ke sumsum tulang.

Aku berdiri di balik gorden jendela. Kuamati tetesan air hujan yang gemulai. Rinainya lembut mengelus relung hati. Romantisnya pagi ini diperkuat lagi dengan suasana sepi karena hari libur sekolah. Kanak-kanak tak berlari-lari dikejar waktu. Aku dan suami tak disibukkan dengan persiapan ke sekolah.

Kami mengajar di satu tempat yang sama. Masih sebagai honorer. Apa pun itu namanya ilmu yang kami peroleh di perguruan tinggi sudah dapat kami amalkan sesuai jurusan. Rasa syukur selalu mewarnai kehidupan kami. Ditambah dengan akan hadirnya buah cinta kami.

Hari ini adalah minggu kelima kehamilanku. Perubahan hormonal yang sudah aku rasakan dengan berbagai macam kondisi. Mual, muntah-muntah, badan lemas, dan anehnya lagi akan sering menelan air liur ketika mendengar orang menyebutkan makanan. Inilah yang disebut dengan ‘ngidam’.

Entah mitos atau bukan yang jelas kini aku mengalaminya sendiri. Keinginan yang tak bisa ditunda muncul dengan sendirinya. Jika belum juga terpenuhi akan terbawa sampai dalam mimpi. Memang mimpi adalah refleksi dari keinginan bawah sadar. Jika siangnya menginginkan sesuatu yang begitu menggebu, maka rasa itu akan terbawa dalam tidur.

“Assaalamualaikum.” Suara seorang wanita yang mengetuk pintu.

“Waalaikum salam.” Segera aku menjawab salamnya dan ke depan untuk melihat siapa yang datang.

“Masya Allah!” pekikku gembira setelah melihat siapa yang datang. Bu Ririn Dwi Winarni, temanku menjadi guru honorer yang lama tinggal di Batam mengikuti suaminya. Kini dia ada di depan mataku. Aku seperti mimpi. Kejutan sekali bagiku karena sebelumnya tidak mendengar bahwa dia ada di sini, di kota kelahirannya.

Kami segera bersalaman dan berpelukan. Rasa kangen yang begitu lama tidak berjumpa. Banyak kenangan menghiasi perjalanan kami. Dia adalah sahabat dekatku dan juga sahabat suamiku. Sikap kepedulian dan perhatiannya kepada kami begitu besar. Sejak tinggal di Batam kami sering berkirim kabar. Bagaimana bayanganku tentang Batam diceritakannya dalam berlembar-lembar suratnya.

“Bagaimana kabarnya, Bu? Kapan nyampe Blitar? Waaah.. berceritalah…” aku mencercanya dengan pertanyaan dan permintaan.

“Hehehe..” senyumnya yang khas dan pandangan mata bersahabat menambah kecantikannya. Dia memang tercantik di sekolah tempat kami mengajar. Gaya bicaranya yang friendly menimbulkan rasa senang kepadanya. Itulah sebabnya, banyak teman yang kehilangan ketika dia berpamitan untuk mengundurkan diri dari sekolah. Setelah menikah dia mengikuti suami yang bekerja di Batam.

Ternyata dia juga sedang hamil pada minggu kesembilan. Ini adalah putra yang kedua. Putranya yang pertama meninggal karena terkena virus kucing yaitu taksoplasma. Cara berceritanya masih tetap seperti dulu. Kami seperti bersaudara.

“Bu, tadi aku diberi jambu mede yang sudah dimakan codot. Yummmyyy.. kok manis sekali ya Bu.” Tetiba bayanganku menyudut pada jambu mede yang merah ranum.

Jambu ini juga biasa disebut dengan jambu monyet. Tapi kami tetap memberinya nama jambu mede. Biji jambu bisa dikeringkan dan digoreng yang disebut dengan kacang mede. Di setiap lebaran dan hari raya Natal kami sering menemukan cemilan ini di meja-meja tamu orang kaya. Harganya memang selangit. Kami tak mampu membelinya.

Membayangkan merah ranumnya jambu ini aku menelan ludah dan terasa menyemburat keinginanku untuk memakannya. Biasanya cara kami memakan dengan penuh hati-hati. Jika belum berwarna merah, kami tak berani menyesap airnya. Rasanya memang segar, agak pahit, dan mendatangkan sensasi kering di tenggorokan.

Memang sudah bertahun-tahun aku tak makan jambu ini sebab jarang sekali ditemukan di pasar-pasar buah. Kalau toh ada yang menjual, mereka memetiknya dari pohon di ladang mereka sendiri. Bagaimana aku akan mendapatkan jambu ini? Tiap terbayang, air liur ini tiba-tiba berasa kecut.

Sepulang Bu Ririn dari rumahku, segera aku mengabari suamiku. Dia sedang membantu mengepak barang kerajinan di rumah kakak sepupunya, Mas Haji Tohari. Mas Hari menawari suami untuk membantu di sana agar bisa menambah penghasilan apalagi sudah akan mempunyai anak. Begitu perhatian saudara suamiku ini. Aku telepon dia.

[“Mas, Bu Ririn tadi ke sini lo.”]

[“Oh ya, bagaimana kabarnya?”]

[“Alhamdulillah, baik dan sehat, Mas, malah lagi hamil ni.”]

[“Sama ya , Dik.”]

[“Iya, aku tadi dikasi cerita, Mas.”]

[“Hehehe, ..cerita apa?”]

[“Katanya, sama neneknya diberii jambu mede yang baru dimakan codot. Maniiiss sekali,”]

[“Pingin, ya?”] suamiku sudah paham dengan maksudku menelepon. [“Ya wis, nanti tak carikan.”]

[“Makasih ya ,Mas..”] Telepon aku tutup. Bayangan jambu mete masih di pelupuk mataku. Nanti akan hilang kalau suamiku sudah datang membawanya.

Betul juga, suami datang membawa tiga biji. Tertawaku tanda bahagia dan syukur didapatkannya pesananku.

“Di mana Mas mendapatkannya?” kuhadiahi sebuah ciuman di pipinya.

“Ya dari pohon.” Dia mulai menggoda.

“Iyaaa, tahu.. pohon siapa?”

“Pohon milik umum.” Sambil disentilnya hidung-ku karena aku mulai centil.

“Di mana itu?”

“Di dekat makam umum. Alhamdulillah, yang penting dapet. Biar nanti anakku gak netes terus air liurnya, alias ngiler.

Kami tertawa bersama, suamiku izin ke tempat kerja lagi. Kubuka dengan hati-hati. Hmmmm… lagi-lagi air liurku mengucur, tetapi kutelan lagi karena jambu itu belum matang. Warnanya masih kuning kemerahan. Pasti masih ada getahnya. Kalau makan masih ada getahnya seperti ini kutakutkan bibirku akan gatal. Masa kecilku dulu, aku pernah mencicipi yang kurang merah begitu dan berakibat gatal sampai seperti sobek bibir ini rasanya. Aku takut akan terulang lagi. Kubiarkan saja jambu ini di lemari makan biar memerah.

***

Suamiku berangkat lagi ke rumah Mas Haji Tohari masih melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai. Pengepakan kerajinan kendang jimbe yang akan dikirim ke Bali harus diselesaikan hari ini. aku ingat lagi dengan jambu medeku. Kembali air liurku mengucur. Untuk kali ini aku harus memenuhi. Kubiarkan air liurku tertelan bersamaan jambu mede nanti. Pelan kubuka lemari dan kuintip jambu mede itu sudahkan ia berubah warna? Merahkah atau masih semburat? Ya Allah, kok tidak merah ya. Kucoba aku pegang, kuelus, sudah layu. Ini artinya getahnya sudah tidak keluar lagi jika dimakan. Tapi keraguanku muncul ketika pikiranku kembali ke warna yang belum memerah itu. Rasa takut akan gatal setelah memakannya timbul lagi. Ah, biarlah kutunda besok saja memakannya. Tunggu ya Le, sabar ya. Kututup lagi lemari itu.

Adduuh… perutku terasa sakit melilit-lilit. Aku sudah sarapan tadi bareng suami. Tapi kenapa masih melilit-lilit seperti ini? Aku ambil minyak kayu putih, aku gosokkan merata untuk meredakan rasa sakitnya. Lima menit, sepuluh menit, bahkan sampai setengah jam rasa melilit itu bertambah. Aneh, kenapa tidak berhenti pula.

Terlintas dalam benakku, apakah anakku sudah ingin benar jambu mede itu ya? Iseng saja aku buka lemari itu. Dengan bismillah aku ambil satu biji yang sudah semburat merah. Aku kunyah dan aku sesap air jambu itu. Alhamdulillah, manis ternyata. Aku lanjutkan dan kuhabiskan satu biji. Keanehan terjadi. Rasa melilit pada perutku telah hilang. Eeee… begini ya rasanya orang ngidam itu?

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bunda hariyani. Salam literasi, sukses selalu.

23 Aug
Balas

terima kasih Bapak.. salam sukses buat Bapak

23 Aug
Balas

selamat.. ngidamnya dah keturutan.. sekarang lg ngidam pengin bikin antologi ngidam y bu.. hehe..

23 Aug
Balas

Asyeeeek...

23 Aug
Balas



search

New Post