Perasaan Terkekang, Cerbung Tagur ke-147
Perasaan Terkekang
Ibaratnya pelajar, semua harus melampaui setiap jenjang kelas. Pada suatu saat harus berpindah sekolah karena menuju tingkat yang lebih tinggi. Itu artinya akan berhadapan dengan segala hal baru. Teman, guru, buku, lingkungan, bahkan aturan yang baru.
Demikian juga dengan pindah rumah ini akan menghadapi tetangga baru dengan berbagai kebiasaan, watak, aturan yang tentunya menjadi suatu keunikan tersendiri.
Di rumah baru ini kami bertiga. Aku, suami, dan ragilku karena barepku masih menyelesaikan kuliahnya di Jakarta. Penyesuaian untuk menjadikan suatu kebiasaan di rumah baru diawali secara intern terlebih dahulu. Kami bertiga harus saling menciptakan suatu kebiasaan yang sama-sama saling kami pahami.
Ragilku, dengan kesendiriannya ini kadang membuat dia tidak betah tinggal di rumah. Kami jarang sekali berbincang-bincang yang menyebabkannya merasa canggung. Bicara hanya sesuai keperluan. Tugas-tugas dilakukan ala kadarnya, kemudian langsung masuk kamar. Demikian juga aku dan suami sering berada di dalam kamar. Maklumlah pengantin baru di rumah baru. Mas Robby sendiri begitu menikmati situasi rumah yang sepi dari hiruk pikuk.
Rumah berpagar yang selalu ditutup merupakan kebiasaan orang Jakarta. Sebenarnya aku kurang nyaman dengan kondisi ini karena bisa bertemu tetangga hanya pada saat mengikuti kumpulan yasinan dan saat belanja di tukang sayur saja. Selain itu, aku keluar rumah untuk segala urusanku sendiri. Padahal aku lihat ada ibu-ibu yang sering ngobrol di poskamling. Namun, aku merasa tidak sempat untuk bergabung. Pulang sekolah langsung berurusan dengan kewajiban di rumah tangga.
Inilah kesalahanku, kesibukan mengurus keperluan suami mengurus rumah dan kesibukan tugas di sekolah yang telah menyita waktuku. Suami memang seorang yang tidak bisa mandiri. Semua keperluan harus aku persiapkan. Inilah ladang ibadahku. Bersyukur sekali aku bisa memperbanyak ibadah dengan mengurus semua kebutuhan suami.
Bahagianya aku merasa sangat dibutuhkannya. Dalam pikiranku, andaikan dia di rumah sendiri, aku belum tega. Itulah sebabnya aku selalu berdoa agar tidak ada panggilan pendidikan dan latihan ke luar kota. Alhamdulillah, ternyata memang kondisi seperti ini cukup disadari juga oleh teman-teman sehingga tiada pernah aku ditugasi ke luar kota.
Aku cukup menyadari dan memaklumi. Kebiasaannya hidup di kota besar tentu berbanding terbalik dengan kehidupan di kota kecil. Keinginan suami untuk jalan-jalan ke mall harus aku turuti dan memerlukan perjalanan yang cukup jauh.
Waktu yang digunakan kadang ketika anak masih di sekolah. Nah, ini salahku. Seharusnya aku menunggu kelonggaran anakku juga. Aku yang hanya memikirkan suami. Karena aku berpikir kasihan sekali di sini tidak punya teman. Sedangkan anakku sudah besar dan punya banyak teman dan saudara, sehingga dia tak terlalu peduli dengan kegiatan kami.
Pernah suatu ketika kunci rumahku tertinggal. Anakku sudah membawa kunci sendiri. Aku keluar dengan suami, dan pulang tak bisa masuk rumah. Anakku aku minta untuk pulang.
“Le, sampeyan dimana?”
“Di rumah teman Buk. Ada apa?”
“Ibuk gak bawa kunci rumah, ini Ibuk gak bisa masuk. Acara apa to?”
“Rapat dengan grup pencak silat Buk. Yaw is aku tak pulang dulu.”
Ternyata dia sedang ada kepentingan dengan temannya dan aku mengganggu konsentrasinya. Aku terlalu egois. Maafkan ibukmu ya, Le.
Pernah juga anakku yang lupa tidak membawa kunci rumah, sedangkan aku masih pergi dengan suami. Dia pun tak bisa masuk rumah sampai harus memanjat pagar. Aduuh.. kasihan sekali.
Kemelut tentang suasana baru , penyesuaian di dalam rumah tanggaku sendiri membutuhkan waktu yang cukup lama. Sudah satu tahun, tetapi masih belum merasakan tenang dan damai. Karena apa? Posisiku harus berada di tengah. Aku harus menciptakan kondisi berimbang di dalam rumah. Baik kepada anakku maupun kepada suami.
Kesalahanku selama ini, aku sering menyalahkan anakku. Seharusnya aku bisa menahan diri. Lagi-lagi aku hanya kasihan kepada suami yang jauh dari teman dan saudaranya jika dia tidak merasa nyaman. Seharusnya aku tidak menegur anakku di hadapan suami. Tentu dia malu karena dia merasa bapaknya sudah tidak ada. Dia sekarang berhadapan dengan orang baru yang harus dan terpaksa untuk mengakui dan menjadikan sebagai bapak. Tentu hal ini juga sangat menyiksanya.
Dia tentu merasa dibedakan. Kadang pemikiran kerdilnya mengemuka.
“Buk, aku mau naik hunung sama teman-teman.”
“Le, kamu sekarang naik kelas 12. Sebentar lagi ujian. Kamu harus fokus pada pelajaran sekolah. “
“Ibuk mesti melarang. Mas saja boleh naik gunung kenapa aku tidak?”
“Mas kan sudah kuliah Le, Mas sudah lebih dewasa daripada kamu. Selain itu, sekarang ini musim hujan. Aku khawatir dengan musim yang tidak bersahabat ini.”
Matanya berkaca-kaca. Dia masuk kamar lagi dan mengurung diri. Tak mau bertegur sapa denganku.
“Sayang, ayo makan di luar.” Inilah usul suamiku kalau sudah melihat kondisi tak sehat di rumah kami.
Kami bertiga ke luar mencari makan. Aku lihat anakku makan dengan berderaian air mata. Aku tak lagi berkata-kata. Biarlah dia sendiri yang memaknai laranganku untuk tidak ikut naik gunung dan keinginan suamiku meredam emosinya dengan memanjakannya.
***
Waktu sudah menunjuk pada angka 23.00 WIB. Aku masih terjaga. Memang kusengaja menanti anakku pulang. Sudah pukul 24.00 WIB belum juga pulang. Aku tahu dia tidak neko-neko di luar. Paling dia main game dengan temannya. Akan tetapi, aku sangat ingat bagaimana tindakan almarhum yang benar-benar naik pitam jika anaknya tidak di rumah lebih dari pukul 21.00 WIB.
Dengan kondisi yang sudah menurun kesehatannya setelah serangan stroke pertama, suami nekat mencari barepku yang izin ikut takbir di malam Hari Raya Idul Adha. Yang dituju utama adalah rumah temannya karena suami tahu dengan siapa anaknya bergaul. Ternyata benar, di rumah temannya tidak ditemukan. Mereka berdua pergi ke luar rumah katanya dan tidak ada acara takbir keliling.
Almarhum suamiku terus mencari dengan diantar tetangga,, Pak Dar, namanya. Yang ditujunya adalah tempat-tempat game. Ini pun terinspirasi dari peristiwa mangkirnya anakku dari sekolah malam yaitu tarbiyah. Waktu itu ada laporan bahwa barepku tak mengikuti pelajaran sudah beberapa hari. Aku dipanggilnya dan diberitahu itu. Aku pun langsung mengonfirmasi ke sekolahnya.
Memang betul dia tidak masuk sudah satu bulan lebih tanpa kami tahu. Aku pun sempat menyalahkan sekolahnya, mengapa tidak ada pemberitahuan dari sekolah. Katanya sekolah ini bukan sekolah formal, jadi jika memang anak putus sekolah di tengah jalan tidak aka nada tindakan apa-apa. Sekolah ini memang hanya untuk anak-anak dan orang tua yang benar-benar ikhlas mengikutinya.
Aku terus mencari informasi kepada adiknya di mana biasanya dia pergi main game. Aku susuri tempat-tempat warnet. Nah, aku temukan dia.aku lihat dia memakai kaos. Di mana baju koko seragamnya? Pasti dimasukkannya ke dalam tas. Aku panggil dia dari luar.
“Le, ayo pulang, dicari Bapak.” Tampak kaget dan takut sekali raut mukanya. Minimal dia sudah merasa bersalah. Sebelum dia keluar, aku tak akan pergi. Dan kuikuti dia dari belakang.
Karena begitu sesak dadaku ini aku yang memarahinya.
“Le, Ibuk memintamu sekolah malam, tarbiyah, itu untuk apa? Biar kamu seperti Bapak, mengerti ilmu agama. Tidak seperti Ibuk yang hanya mengaji membaca saja tanpa mengerti maknanya. “ Dia menangis. Aku sampai menarik rambutnya karena jengkelku mendapat laporan sudah satu bulan lebih dia tidak masuk paadahal setiap hari berangkat. Lalu apa yang dibilang almarhum? Sabar dan bijak.
“Le, bayangkan kalau itu Bapak yang memukulmu, pasti lebih sakit dari pukulan Ibukmu.” Hanya dengan kalimat itu sudah begitu dalam maknanya.
“Tadi Ibuk tanya ke sekolah, kalau kamu masih mau melanjutkan masih diterima, asalkan kamu mau ikut ulangan susulan.” Aku lanjutkan ocehanku.
“Iya, Buk, aku masuk lagi.” Sudah plong rasanya. Kalau begitu aku akan siap mengurusinya.
“Kalau kamu mau masuk lagi, ulangan susulan nanti diantar Ibuk atau Bapak?”
“Ibuk.” Padahal aku sudah menarik-narik rambutnya saat marah sedangkan bapaknya tidak melakukan apa-apa, tetapi masih juga dipilihnya aku yang menungguinya waktu ulangan.
Timbul perbedaan prinsip dengan almarhum. Dari kejadian-kejadian itu aku berpendapat bahwa anak-anak perlu diberikan wadah di rumah agar tidak terus-terusan mencari hiburan di luar. Biarlah dia main game di rumah sekalian aku bisa mengontrolnya. Namun, suami merasa komputer dan wifi adalah barang yang belum dibutuhkan. Aku tetap saja memaksa membelikan komputer dan memasangkan wifi demi keselamatan anak-anak yang tidak mencari kesenangan di luar.
Alhamdulillah, memang benar. Mereka bermain game pada saat-saat libur sekolah. Kadang aku ikut juga diajari bagaimana memainkan game yang mudah saja. mereka ikut bahagia dengan permainan barunya.
***
Aku kirim pesan whatsapp kepada anakku. Aku suruh dia pulang.
[“Le, pulang. Ini sudah sangat malam. Bapakmu almarhum sangat tidak suka anaknya tidak di rumah melebihi pukul 21.00.”]
[“Buk, nanti aku langsung I’tikaf ke Masjid Agung.”]
[“Nggak, pulang saja dulu.”] Aku sudah mulai emosi karena dia masih tidak mengikuti keinginanku dan keinginan almarhum.
Tak seberapa lama pintu gerbang dibuka. Dia pulang dan langsung aku tutup pintu gerbang itu. Alu marahi dia. Aku bilang bahwa almarhum bapaknya memberikan amanah ini. kalau aku tak bisa mengubah kegiatannya pulang malam untuk bermain game dengan temannya ini itu artinya aku tidak bisa menjaga amanah. Dia protes kepadaku.
“Buk, aku ini butuh hiburan. Aku tidak suka tinggal di rumah ini. Aku ingin kembali di rumah lama. Apa-apa yang aku lakukan selalu salah. Aku di sini tidak punya teman. Aku cari teman di luar tidak boleh.” Dengan menangis dia menyangkal semua kata-kataku.
“Le, kalau bapakmu masih ada. Apa yang akan dilakukan bapakmu melihat anaknya seperti ini. Ingat nggak bagaimana dulu masmu juga dicari bapak karena malam belum pulang. Lalu sekarang, bagaimana Ibuk harus mencarimu kalau kamu tidak di rumah?” Aku pun menyaingi suara tangisnya. Bayangan almarhum terus seakan duduk di hadapanku ikut memarahi anaknya.
Mas Robby bangun mendengar kami rebut.
“Sudah Buk, sudah malam, biar Yusuf tidur. Dan yusuf, ikuti saran Ibuk, ya dan minta maaf sama Ibuk.” Hanya inilah yang diucapkannya. Anakku memelukku dan menangis. Kami sama-sama menangis. Kuciumi kedua pipinya dan aku pun meminta maaf jika selama ini aku tidak bisa memberikan rasa nyaman kepadanya di rumah baru ini.
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.
Laporkan Penyalahgunaan
Komentar
Cerita kehidupan yg harmonis dlm sebuah keluarga. Smg samawa... Sukses bunda...
aamiin.. terima kasih Ibu.. sukses juga buat Ibu