Hariyani

Hariyani adalah nama asli sejak lahir dari Ibu bernama Marsini dan Bapak bernama Paniran yang tinggal di Blitar. Berlatar pendidikan SDN Jatituri 2 Blitar, SMPN...

Selengkapnya
Navigasi Web

Sang Megalomania

Sang Megalomania

Hariyani

Langkah lelaki itu semakin lama semakin cepat. Begitu tergesa. Dadanya membusung. Pandangannya kadang ke depan kadang ke atas. Mungkin ada yang mengganggu pikirannya. Bibirnya mengerucut. Rapat sekali. Nyaris tanpa senyum.

"Aku yang lebih berkuasa di sini. Aku sudah belasan tahun menjadi pengurus. Begitu saja seenaknya mereka memajang majalah dinding tanpa sepengetahuanku. Seharusnya mereka bertanya kepadaku." Batinnya geram.

Pak Fero adalah pengelola majalah sekolah. Bahkan sebagai redakturnya. Namun, untuk majalah dinding dibuat oleh peserta ekstrakurikuler jurnalistik yang didampingi oleh pembinanya.

Sampai di depan papan majalah dinding, Pak Fero memelototi konten apa saja yang diunggah. Ada yamg tidak cocok dengannya.

"Apa maksudnya membuat gambar seperti ini? Benar-benar mencolok." Pak Fero komat-kamit sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Hal ini tak boleh terus dibiarkan. Gambar ini harus dibuang. Aku tidak bisa menerima. Penghinaan ini namanya." Gerutunya dalam hati.

Matanya semakin nanar. Pak Fero berusaha membuka papan mading kaca itu. Dia mencari kuncinya. Tak ada. Memang dia tidak tahu di mana disimpan.

Dia pergi. Disimpannya segala keluh kesah. Entah kapan akan terluapkan.

***

Terang membentang. Hiruk pikuk mewarnai suasana hari sekolah. Mobil-mobil berseliweran. Motor-motor berkejaran takut ketinggalan. Entah apa yang diburu. Waktu? Bisakah memburu waktu? Waktu berjalan tanpa lelah. Bekerja tanpa keluh kesah. Mengapa harus diburu. Kemalasan yang seharusmya disandarkan.

Dua anak lelaki berseragam putih abu-abu berjalan berdampingan. Mereka begitu serius berbincang-bincang.

"Joy, aku dengar Pak Fero tidak berkenan dengan mading kita, ya?" Rama membuka percakapan.

"Hlo, masak, sih?" Joy melongo.

"Iya. Manzil tahu waktu Pak Fero berdiri berkacak pinggang di depan mading kita." Rama mempertegas suaranya.

"Apa masalahnya?" Joy mengernyitkan dahi.

"Coba nanti kita tanya Bu Reny." Ajak Rama.

Tak terasa, langkah kaki mereka sudah sampai di gerbang sekolah. Pak Hery, Satpam sekolah, menyapa.

"Berdua saja ,Joy?"

"Iya, Pak. Hadi dan Sobir terlambat bangunnya. Kami duluan jadinya." Joy menjawab dan mendekati Pak Hery.

"Masih lama, kok, kurang 15 menit lagi bel masuk." Sambil Melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Kami masuk kelas, Pak."

"Iya, silakan!"

Setiap tamu sekolah akan bertemu Pak Hery di pintu gerbang. Apa pun urusannya harus melapor. Jika tidak? Pak Hery akan mengikuti, menghentikan, dan menanyai. Itulah tugasnya. Menjaga keamanan sekolah.

Sebelum ada Satpam sekolah, bapak ibu guru pernah kehilangan laptop yang dibiarkan terbuka di meja guru. Kebetulan ruang guru kosong. Raiblah tiga laptop dicuri. Pelakunya pun tak ditemukan. Karena peristiws itulah, maka perlu penjaga keamanan.

Joy dan Rama melewati segerombolan anak yang sedang membaca majalah dinding. Ada hal yang menarik rupamya sehingga mereka berjubel ingin tahu. Tak biasanya ini terjadi.

Joy dan Rama ikut antre. Mereka ada pada urutan kelima. Satu demi satu keluar dari barisan antrean. Tibalah Joy dan Rama pada posisi terdepan. Mata mereka menelusuri konten demi konten mading itu. Salam Redaksi, artikel, profil, cergam, cerpen, puisi, opini, dan karikatur. Yang terakhir inilah begitu mengagetkan mereka, sampai-sampai mereka saling menoleh, berpandangan tanpa berkedip.

Mereka segera keluar dari barisan. Berjalan cepat. Mencari ketua jurnalistik.

“Nen, yang bawa kunci mading siapa?”

“Hamzah.”

Kembali mereka berjalan tergesa mencari Hamzah. Satu-satunya yang mengetahui siapa yang membuat karikatur itu adalah Hamzah. Tentulah Hamzah memberikan kunci pada pembuat karikatur.

“Ham, mana kunci papan mading?”

“Ada, ini aku bawa.” Tenang sekali Hamzah mengeluarkan kunci dari dalam tasnya. “Ada apa sebenarnya?” lanjutnya tak mengerti.

“Ada sedikit masalah, Ham.” Joy dan Rama bercerita dengan saling menimpali. Hamzah manggut-manggut.

“Sekarang kita cari Bu Reny.”

Bu Reny adalah guru Bahasa Indonesia yang sekaligus pembina majalah dinding. Selama ini tidak pernah terjadi masalah. Konten karikatur selalu menggambarkan profil tokoh ternama. Tapi kali ini?

Sebuah karikatur dengan pakaian berjas, berdasi, dada membusung, dan wajah terangkat, menggambarkan lelaki penguasa. Dari bagian tubuh yaitu dada yang membusung ini menggambarkan watak seseorang yang sombong. Kesombongan akan kekuasaan. Sedangkan wajahnya yang terangkat menandakan orang yang suka merendahkan orang lain. Dia tidak pernah mengakui orang lain mempunyai kelebihan. Dia merasa tak terkalahkan.

Mereka tetap berjalan menyusuri koridor dari satu kelas ke kelas lain. Diam dalam pikiran masing-masing. Tetiba mereka berhenti.

“Itulah yang menjadi sebab mengapa Pak Fero begitu marah.” Rama menoleh.

“Iya, wajahnya mirip Pak Fero.” Joy menyetujui.

“Tapi, bukankah kita selalu menampilkan tokoh penting.”

“Kawan, karikatur ini satire.”

Mereka semua diam. Ada banyak pertanyaan berkecamuk. Siapa yang berani membuat karikatur yang menyindir Pak Fero? Siapa yang memajang ke papan mading? Siapa yang memberikan kunci? Mereka semua tahu kalau Pak Fero yang dijuluki Sang Megalomania. Pak fero selalu merasa paling bisa. Dia tidak ingin ada orang yang merasa lebih pintar darinya.

Pak Fero memang pintar dan punya daya kreativitas yang tinggi. Namun, perilakunya yang juga suka menjatuhkan orang lain inilah yang paling membuat mereka kurang menghormati.

Tetiba serempak mereka menghentikan langkah, terdengar perdebatan yang seru dari sebuah ruang. Ruang penerbitan majalah sekolah. Suara seorang wanita dan laki-laki. Kata-kata karikatur sering disebut dalam perdebatan itu.

“Seharusnya Ibu mengecek karya-karya itu sebelum dipajang. Tanpa persetujuan Ibu, karya tidak boleh dipajang, tetapi mengapa Ibu membiarkan saja karikatur itu terpajang di sana?”

“Karikatur yang mana?”

“Nah, itu, bukti jika memang Ibu tidak mengecek konten mading yang akan dipajang.”

“Untuk pemajangan bulan ini sudah saya cek dan tidak ada karikatur.”

Senyap. Tanpa suara. Mereka sama-sama mengernyitkan dahi tanpa mengerti. Pertanyaan besar menyelimuti. siapa yang membuat karikatur itu dan siapa pula yang berani memajangnya. Padahal kunci mading yang membawa Hamzah dan Bu Reny. Keduanya sama-sama tidak memajang karikatur itu.

***

Siang ini berada pada suhu 28 derajat celcius membuat badan cukup berkeringat. Tak terkecuali pada Hamzah. Butir keringatnya sebesar biji jagung. Terus menetes dari dahi ke pipi. Sesekali diusap dengan punggung tangannya. Tambahan lagi mendengar bentakan-bentakan Pak Fero, dadanya semakin bergemuruh. Rasa takut dan marah tak bisa dibedakan dari ekspresi wajahnya. Dia hanya dapat tertunduk lesu. Tak perlu menjawab. Alibi tak dibutuhkan. Pak Fero selalu merasa dirinya paling benar. Dia tak bisa ditentang.

Tetiba terdengar suara langkah sepatu dalam hentakan yang berdegap layaknya hentakan kaki prajurit, mendekati mereka. Langkah yang berwibawa. Terdengar dari langkahnya, pemiliknya pastilah seorang lelaki paroh baya yang bertubuh tinggi tegap. Kedatangannya begitu mengagetkan. Bagaimana tidak? Ketegangan yang belum reda di antara mereka menjadi kembali pasang.

Pak Hamdani adalah kepala sekolah.

“Pak Fero, saya sudah mendengar masalah yang terjadi dalam penerbitan majalah dinding.”

Dia berusaha untuk meredakan, dia mulai menjadi penengah. Pak Fero menunduk.

“Iya, Pak, saya merasa dipermalukan dengan tampilnya karikatur yang persis saya di mading itu.” Masih tetap sambil menunduk.

Rupanya, di hadapan Pak Hamdani, Pak Fero berubah total. Mukanya yang selalu ke depan kini ditekuk.

“Apa Pak Fero berkeberatan?” timpal Pak Hamdani.

Anggukan kepala yang menjadi jawaban Pak Fero.

“Baik, diambil saja!” menoleh kepada Hamzah lalu melanjutkan, “Hamzah, buka pinti papan madding lalu ambil karikatur itu, ya?”

“Iya, pak.” Hamzah mendekat papan madding dan membukanya. Dilepasnya gambar karikatur itu, disimpannya ke dalam tasnya.

“Maaf, Pak, kalau boleh biar saya saja yang membawa gambar itu!” pinta Pak Fero.

“Hamzah, berikan Pak Fero, Ya.”

“Iya, Pak.”

Masalah selesai. Pak Hamdani berpamitan dengan masih meninggalkan tanda Tanya. Siapa yang membuat karikatur itu? Siapa yang berani memasang ke majalah dinding, padahal kunci yang membawa Hamzah dan Bu Reny, sedangkan keduanya tidak tahu-menahu dan tidak merasa membuka pintu apakagi memasangnya.

***

Terkadang masalah tidak harus diselesaikan dengan cara frontal. Masalah akan reda dalam hitungan waktu. Bahkan jika sudah lewat, maka masalah sudah berlalu, jadi tidak perlu diperdebatkan lagi jika akan memperuncing masalah. Biarlah waktu yang menyelesaikan. Semua akan baik-baik saja.

***

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post