Hariyani

Hariyani adalah nama asli sejak lahir dari Ibu bernama Marsini dan Bapak bernama Paniran yang tinggal di Blitar. Berlatar pendidikan SDN Jatituri 2 Blitar, SMPN...

Selengkapnya
Navigasi Web

Tamu dari Jakarta, Cerbung Tagur ke-150

1. Tamu dari Jakarta

Panggilan hati untuk segera bersujud membangunkanku dari mimpi panjangku. Mimpi kali ini tak jelas karena banyak sekali temanya. Aku tak bisa mengingatnya satu per satu. Begitulah adanya. Kadang mimpi sebagai tanda atau d[petunjuk yang bisa ditakwilkan. Namun, kadang juga hanya sebagai bunga tidur yang tak jelas ujung pangkalnya.

Selesai melakukan pertemuan dengan Robbku, aku segera memegang HP untuk melihat kalau ada pesan penting yang masuk. Kami sedang menanti kehadiran teman suami yang sudah dianggap saudara sendiri karena terlalu sering membantu keluarganya. Pekerjaannya sebagai montir yang menjadi langganan keluarganya sejak Mas Robby masih remaja. Pak Endang namanya.

Mobil diambil dan dibawanya ke Jakarta untuk diperbaiki. Banyak onderdil yang rusak. Ada beberapa yang diganti, ada juga yang hanya diperbaiki jika kondisinya masih bisa dipakai.

***

Bulan puasa. Kebetulan hari libur sekolah. Pak Endang, anak, dan istrinya datang untuk mengambil mobil. Mas Robby dan keluarganya meletakkan kepercayaan perbaikan mobil kepadanya. Aku tak bisa mengelak keinginan ini meskipun di kotaku ini banyak bengkel mobil maupun tenaga mekanik panggilan.

Kami menjemput ke terminal. Begitu bahagianya mereka sampai di Blitar, di Bumi Bung Karno, kami menyebutnya. Mereka kami ajak mengelilingi Kota Blitar yang tak seluas kota mereka. saya ajak ke tempat wisata religi Makam Bung Karno, Musium Bung Karno, Perpustakaan Nasional Bung Karno, dan ke Taman Pecut.

Seperti pengunjung-pengunjung yang lain, kami mengambil foto-foto mereka biar punya bukti dan kenangan bahwa mereka sudah pernah berdoa di Makam Bung Karno. Bacaan Yasin dan Tahlil mereka lantunkan dengan fasih. Bu Endang rupanya membawa buku kecil itu ke mana-mana.

Tas khas Blitar dan kaos dibelinya untuk kenangan. Mereka sangat bersyukur sudah bisa sampai di Blitar. Kota yang tersohor dengan ketenaran Presiden RI pertama ini.

Sebagai oleh-oleh jajanan khas Blitar kami bawakan kue-kue yang bisa dibuat camilan selama perjalanan dan juga sambal pecel khas kota kami. memang khas karena ada perbedaan dengan pecel Madiun. Bumbu kencur yang membedakannya. Orang Madiun tidak suka kencur untuk tambahan bumbu, sedangkan kami tidak menemukan sensasi jika tidak ada rasa kencur. Hambar begitu menurut kami.

“Ibuk, banyak sekali sih ini.jadi ngrepoti ini.”

“Nggak kok Bu, kami gak repot. Semoga berkenan sebagai oleh-oleh ya.”

“Terima kasih banyak lo ya Bu,”

“Iya, sama-sama. Kami juga sangat berterima kasih, mau dolan njenguk Mas Joedi ke Blitar sini.”

Mereka tidak bermalam. Mobil langsung dibawanya. Kami sudah menyiapkan tempat bermalam sebenanrnya, tetapi mereka tetap menolak.

***

Aku menanti kalau-kalau Pak Endang kirim pesan. Aku yakin dia sudah sampai di Blitar. Setelah salat subuh ternyata mengirim kabar bahwa dia sudah berada di sebuah masjid. Lokasi dikirimkan ke aku. Aku mencari di mana alamat masjid itu.

Ya Allah, ternyata Pak Endang tidur di masjid.

“Bapak, kok tidak kasih kabar kalau sudah sampai. Kami menunggu lo.. pada dua jam sekali aku melihat pesan whatsapp kalau-kalau Pak Endang sudah nyampe.”

“Nggak apa-apa Ibuk.”

“Jam berapa nyampe?”

“Sekitar jam 24.00. Semula mobil aku parker di dekat alon-alon Buk. Tapi diminta pindah katanya tidak boleh. Ya udah aku jalan aja cari masjid.”

“Aduuh, maaf lo pak Endang. Kok aku juga nggak nanya-nanya sampe mana begitu, ya.”

“Nggak apa-apa kok Ibu.”

Jawaban yang bijak dan tidak ada keluhan ataupun penyesalan. Sopan dan ramah sekali. Lalu aku berjalan dengan diikutinya arah jalanku dari belakang.

Mas Robby sudah menanti di depan rumah. Dia hanya geleng-geleng kepala saja melihat Pak Endang setelah tahu kalau sudah sampai di Blitar sejak pukul 24.00 WIB.

“Ngapain gak kirim pesan?”

“Gak papa Mas, nyantai aja. Nyaman kok tidurku.”

“Iya, ya.. paling kalau nyampe di rumah elu gak jadi tidur, jadi cerita terus ya.” Lalu mereka tertawa bersama. Logat Betawinya keluar. Aku hanya senyum-senyum saja. keakraban mereka memang sudah terjalin bertahun-tahun. Sudah seperti kakak adik cara bercandannya.

“Udah, sambil ngobrol, minum teh hangat dulu. Sama cemilannya dicicipi.”

“Aduuh, Ibu.. repot amat.”

Aku segera menyiapkan sarapan pagi dengan makanan khas Blitar. Aku buatkan nasi pecel, lauk telur ceploh, jerohan ungkep, rempeyek, dan rending. Biarlah dipilih sesuai seleranya.

“Eeee.. kok hanya sedikit makannya.”

“Udah Bu.. gak biasa makan sepagi ini sih.”

“Buk, sekalian nanti langsung pamit pulang ya. Naik bus saja.”

“Ngapain gak nginap aja.” Mas Robby memintanya menginap, tetapi dia tetap menolak. Katanya sudah banyak mobil yang antre untuk diperbaiki. Aku segera membelikan tiket bus dan aku persiapkan oleh-oleh, minuman, cemilan, serta makan siang di bus nanti.

Pak Endang dan Mas Robby asyik sekali menghitung beaya perbaikan mobil. Setelah beres dan terbayar semua aku tawari mandi air hangat.

“Pak Endang, mandi air hangat ya, aku jerangkan air.”

“Ah, nggak, Bu.. air dingin saja. nggak papa kok.” Benar-benar tidak ingin merepotkan. Sembari menanti Pak Endang mandi, Mas Robby minta maaf kalau perbaikan mobilnya habis banyak sekali. Katanya memang sudah lama tidak turun mesin.

“Sudahlah, Mas, yang sudah terjadi tidak dapat disesali. Yang penting sekarang mobil sudah enak jalannya.”

Kami mengantarnya ke agen bus. Banyak cerita yang disampaikan selama perjalanan. waktu berangkat mobil mogok di daerah Solo karena permasalahan pada oli. Ya Allah, kami merasa bersalah, karena mereka harus menginap di Solo. Sebenarnya mereka ingin menginap di Semarang, karena istri berasal dari Semarang. Namun karena memang montir dan sudah membawa peralatan, saat cahaya matahari sudah menerangi, dibenahinya sendiri dan bisa jalan sampai Semarang.

Tak henti-hentinya permintaan maaf aku sampaikan. Sudah merepotkan satu keluarga yang harus tidur di mobil menunggu matahari terbit. Pak Endang tertawa saja dan mengatakan hal itu masalah kecil.

“Ya udah, makasih banyak ya, dan salam buat keluarga.”

“Sama-sama Mas Robby, kamia juga terima kasih ya. Kemarin tu sudah dibawain oleh-oleh, sekarang dibawain lagi.”

“Cuma itu yang bisa kami berikan, Pak.” Aku menjawab ucapannya.

Sampai di agen bus kembali mereka saling berjabat tangan dan berpelukan. Jakarta-Blitar seperti tak membuatnya capek.

“Semoga selamat sampai Jakarta, berkumpul lagi sama anak istri, Pak.”

“Terima kasih, assalamualaikum.”

“Waalaikum salam,” kami menjawab bersamaan.

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post