harry agus yasrianto

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
DI UJUNG MALAM
DI UJUNG MALAM

DI UJUNG MALAM

Di Ujung Malam

Suatu malam kita bertemu. Baru berapa hari lalu. Kita bercerita. Tentang semuamu. Semuaku. Semuanya. Tertawa. Terkekeh kekeh. Di ruang yang berbeda. Di waktu yang pasti tak sama.

"Aku sudah terlalu tua untukmu.", Pernyataan konyol. Terkuak dari mulut tengik Uyab.

Sizca tertawa. Tergelak.

"Aku tak peduli.", Perempuan muda itu menjawab lantang.

"Aku punya istri. Empat anak.", Uyab menambah kalimat

"Aku tak mau mendengar." Sizca semakin lantang bicara.

Warung makan remang remang itu semakin syahdu. Alunan musik dangdut semakin kencang. Goyangan penyanyi dangdut keliling di luar semakin menggila. Uyab dan sizca membayar kopi panas. Menembus angin malam.

"Aku tidak mau meninggalkan istri dan anak anakku.", di atas motor butut Uyab menegaskan.

"Siapa yang menyuruhmu untuk meninggalkan mereka. Aku hanya ingin bersamamu. Itu saja. Apakah itu salah ?", Sizca menjawab.

"Kamu gila ", Uyab menerobos ujung malam

"Kalo aku gila, terus kamu apa ? Waras ?" Sizca nyerocos seperti petasan.

"Sampai kapan kita begini ?" Uyab coba meyakinkan dirinya.

Perempuan berhidung mancung itu tertawa. Suaranya samar samar. Kalah hebat dari suara knalpot motor butut.

"Ditanya malah ketawa." Kata Uyab jengkel. Gas motor tetap digeber.

Sizca malah cekikikan. Mirip suara kuntilanak.

"Dasar bocah gemblung."

Motor butut berhenti sejenak. Kaki Uyab menyentuh tanah becek. Memiringkan motor. Menaikkan standar motor.

"Kok marah." Sizca mulai ngedumel.

"Aku takut istriku tahu."

Sizca duduk di motor. Menunggu kelanjutan kalimat laki laki bertubuh gelap itu.

"Kembali saja padanya. Apa susahnya ?"

Uyab melongo. Tidak percaya pada apa yang didengarnya.

"Kamu yang datang padaku. Jika dirimu mau pergi, mengapa aku harus ikut pusing memikirkanmu." Kata kata itu menohok jiwa Uyab. Hatinya terasa miris mendengarnya.

"Terus bagaimana dengan diriku ?", Uyab coba bertanya.

"Hidupmu ya hidupmu. Aku tidak peduli."

Sizca tersenyum.

"Maksudnya ?'

Uyab semakin penasaran.

"Aku membutuhkanmu sebagai teman rahasia. Itu saja. Jika kamu sanggup kita lanjutkan. Jika tidak, ya tidak apa-apa."

Perempuan cantik itu membelakangi Uyab.

Uyab bingung. Tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.

"Di awal pertemuan kita, sudah aku katakan padamu, aku membutuhkanmu. Masih ingat ?"

Uyab mengangguk. Sizca melanjutkan kalimatnya.

"Malam itu sudah aku katakan, aku tidak mau tahu urusanmu dengan istrimu. Yang aku tahu, ketika aku membutuhkanmu, kamu selalu ada di sisiku."

Uyab tercengang. Ia menatap nanar wajah cantik itu.

"Apakah aku pernah menuntutmu untuk selalu menemaniku ? Aku rasa tidak. Terus apa masalahmu ?"

Uyab mengangguk. Membenarkan kata kata perempuan cantik di sebelahnya itu.

"Aku tidak biasa merahasiakan sesuatu." Kata Uyab kemudian.

"Dasar buaya. Semua mau disantap."

Uyab tertawa.

"Seandainya aku memilihmu, apakah kamu tidak akan menyesal ?"

Sizca terbahak-bahak mendengar pertanyaan itu.

"Kamu lihat bulan di atas sana. Apakah ia akan berhenti menyinari dunia ini ? Seperti itulah rasaku padamu."

Hati Uyab mulai ketar ketir mendengar buaian Sizca. Benarkah ucapannya itu.

"Dengan usiaku yang mulai menua ini ?"

Sizca mengangguk setuju.

"Kok bisa ?"

Perempuan cantik itu kembali tertawa.

"Cinta itu luar biasa. Ia bisa menggetarkan hatiku padamu."

Uyab terdiam sesaat.

"Meskipun kamu tahu setiap resiko yang akan kamu hadapi nanti ?"

Sizca mengangguk keras.

Uyab bingung. Bertanya dalam hatinya, sedemikian hebatkah dirinya.

"Mengapa ?"

Sebuah pertanyaan kembali meluncur dari bibir Uyab.

"Aku merasa tenang. Aku bebas menjadi diriku sendiri. Terlebih saat bersamamu."

Uyab terheran heran. Sungguh aneh. Sangat aneh.

"Kok diam.", Sizca coba membuka keheningan

Uyab gelagapan.

"Semua keputusan ada di tanganmu. Di posisiku saat ini, Aku hanya mampu menunggu."

Uyab memasukkan kunci motor bututnya, menancapkan gas di tengah kabut malam. Dingin mencari celah kehangatan. Sizca bercerita tentang semua pengalaman hari ini di tempat pekerjaannya. Uyab mendengarkan dengan samar. Kadang menanggapi. Kadang terdiam. Memikirkan nasib istri dan anak-anaknya. Memikirkan keputusan yang harus diambilnya. Suatu saat nanti. Bukan malam ini. Ya, bukan malam ini. Karena malam ini, istri dan anak anaknya hanya tahu dirinya mengantar penumpang ojek ke kampung sebelah. Entah sampai kapan ia akan mampu menyembunyikan semua rahasia ini. Entahlah. Mungkin hanya takdir yang mampu mengungkap semua kebahagiaan.

Untuk Siska

Maafkan aku

Berau, 06 Mei 2019

03.45 WITA

Di Ujung Malam Kita

Harry Agus Yasrianto

Suatu malam kita bertemu. Baru berapa hari lalu. Kita bercerita. Tentang semuamu. Semuaku. Semuanya. Tertawa. Terkekeh kekeh. Di ruang yang berbeda. Di waktu yang pasti tak sama.

"Aku sudah terlalu tua untukmu.", Pernyataan konyol. Terkuak dari mulut tengik Uyab.

Sizca tertawa. Tergelak.

"Aku tak peduli.", Perempuan muda itu menjawab lantang.

"Aku punya istri. Empat anak.", Uyab menambah kalimat

"Aku tak mau mendengar." Sizca semakin lantang bicara.

Warung makan remang remang itu semakin syahdu. Alunan musik dangdut semakin kencang. Goyangan penyanyi dangdut keliling di luar semakin menggila. Uyab dan sizca membayar kopi panas. Menembus angin malam.

"Aku tidak mau meninggalkan istri dan anak anakku.", di atas motor butut Uyab menegaskan.

"Siapa yang menyuruhmu untuk meninggalkan mereka. Aku hanya ingin bersamamu. Itu saja. Apakah itu salah ?", Sizca menjawab.

"Kamu gila ", Uyab menerobos ujung malam

"Kalo aku gila, terus kamu apa ? Waras ?" Sizca nyerocos seperti petasan.

"Sampai kapan kita begini ?" Uyab coba meyakinkan dirinya.

Perempuan berhidung mancung itu tertawa. Suaranya samar samar. Kalah hebat dari suara knalpot motor butut.

"Ditanya malah ketawa." Kata Uyab jengkel. Gas motor tetap digeber.

Sizca malah cekikikan. Mirip suara kuntilanak.

"Dasar bocah gemblung."

Motor butut berhenti sejenak. Kaki Uyab menyentuh tanah becek. Memiringkan motor. Menaikkan standar motor.

"Kok marah." Sizca mulai ngedumel.

"Aku takut istriku tahu."

Sizca duduk di motor. Menunggu kelanjutan kalimat laki laki bertubuh gelap itu.

"Kembali saja padanya. Apa susahnya ?"

Uyab melongo. Tidak percaya pada apa yang didengarnya.

"Kamu yang datang padaku. Jika dirimu mau pergi, mengapa aku harus ikut pusing memikirkanmu." Kata kata itu menohok jiwa Uyab. Hatinya terasa miris mendengarnya.

"Terus bagaimana dengan diriku ?", Uyab coba bertanya.

"Hidupmu ya hidupmu. Aku tidak peduli."

Sizca tersenyum.

"Maksudnya ?'

Uyab semakin penasaran.

"Aku membutuhkanmu sebagai teman rahasia. Itu saja. Jika kamu sanggup kita lanjutkan. Jika tidak, ya tidak apa-apa."

Perempuan cantik itu membelakangi Uyab.

Uyab bingung. Tidak tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah ini.

"Di awal pertemuan kita, sudah aku katakan padamu, aku membutuhkanmu. Masih ingat ?"

Uyab mengangguk. Sizca melanjutkan kalimatnya.

"Malam itu sudah aku katakan, aku tidak mau tahu urusanmu dengan istrimu. Yang aku tahu, ketika aku membutuhkanmu, kamu selalu ada di sisiku."

Uyab tercengang. Ia menatap nanar wajah cantik itu.

"Apakah aku pernah menuntutmu untuk selalu menemaniku ? Aku rasa tidak. Terus apa masalahmu ?"

Uyab mengangguk. Membenarkan kata kata perempuan cantik di sebelahnya itu.

"Aku tidak biasa merahasiakan sesuatu." Kata Uyab kemudian.

"Dasar buaya. Semua mau disantap."

Uyab tertawa.

"Seandainya aku memilihmu, apakah kamu tidak akan menyesal ?"

Sizca terbahak-bahak mendengar pertanyaan itu.

"Kamu lihat bulan di atas sana. Apakah ia akan berhenti menyinari dunia ini ? Seperti itulah rasaku padamu."

Hati Uyab mulai ketar ketir mendengar buaian Sizca. Benarkah ucapannya itu.

"Dengan usiaku yang mulai menua ini ?"

Sizca mengangguk setuju.

"Kok bisa ?"

Perempuan cantik itu kembali tertawa.

"Cinta itu luar biasa. Ia bisa menggetarkan hatiku padamu."

Uyab terdiam sesaat.

"Meskipun kamu tahu setiap resiko yang akan kamu hadapi nanti ?"

Sizca mengangguk keras.

Uyab bingung. Bertanya dalam hatinya, sedemikian hebatkah dirinya.

"Mengapa ?"

Sebuah pertanyaan kembali meluncur dari bibir Uyab.

"Aku merasa tenang. Aku bebas menjadi diriku sendiri. Terlebih saat bersamamu."

Uyab terheran heran. Sungguh aneh. Sangat aneh.

"Kok diam.", Sizca coba membuka keheningan

Uyab gelagapan.

"Semua keputusan ada di tanganmu. Di posisiku saat ini, Aku hanya mampu menunggu."

Uyab memasukkan kunci motor bututnya, menancapkan gas di tengah kabut malam. Dingin mencari celah kehangatan. Sizca bercerita tentang semua pengalaman hari ini di tempat pekerjaannya. Uyab mendengarkan dengan samar. Kadang menanggapi. Kadang terdiam. Memikirkan nasib istri dan anak-anaknya. Memikirkan keputusan yang harus diambilnya. Suatu saat nanti. Bukan malam ini. Ya, bukan malam ini. Karena malam ini, istri dan anak anaknya hanya tahu dirinya mengantar penumpang ojek ke kampung sebelah. Entah sampai kapan ia akan mampu menyembunyikan semua rahasia ini. Entahlah. Mungkin hanya takdir yang mampu mengungkap semua kebahagiaan.

Untuk Dwi Siska Amelia

Maafkan aku

Berau, 06 Meu 2019

03.45 WITA

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Mantap master. Cerita nya mengalir bak grojogan Sewu. Semoga sehat dan sukses selalu.

07 May
Balas

Baru belajar, nih. Harus banyak latihan lagi

08 May

Cerita yang penuh perasaan

07 May
Balas

Pengalaman teman yang minta dijadikan cerpen, om. Coba coba belajar nulis cerpen, ternyata asik juga ya menulis

08 May



search

New Post