haryono

Harry B. Pras nama ini menggabungkan nama pemberian orang tuaku, dan nama bapakku. Aku diberi nama Haryono oleh bapakku yang bernama Bedjo Prasodjo. Sebagai seo...

Selengkapnya
Navigasi Web
NASI GORENG GENERASI MICIN

NASI GORENG GENERASI MICIN

Pernahkah selama hidupmu belum menikmati nasi goreng? Mungkin yang kalian kenal bukan nasi goreng, tetapi fried rice yang harganya seporsi 30 ribu. Kalau kamu beli nasi goreng mungkin cuma 12 ribu sepiring. Terus pernahkah kalian makan lotek yang sebungkus cuma tujuh ribu. Tapi waktu kamu nraktir gebetanmu minta dibeliin Peanut Sauce seharga 25 ribu seporsinya. Apa bedanya semua itu?! Istilah saja ya brow yang membedakan. Zaman micin ya seperti itu adanya..

*****

Brow, aku pingin tanya. Serius nih...

Siapa yang tidak menyukai nasi goreng? Salah besar kalau ada orang sampai bilang begini,”Aku paling benci dengan makanan ini—nasi goreng!” semua orang tentu suka dengan makanan kuliner yang satu itu.

Tapi aku gak suka. Lha kok bisa? Bisa brow! Entahlah, mungkin salah satunya, aku gak suka micin. Salah duanya apaan ya...?!

Kalau aku memang gak begitu suka dengan nasi goreng. Di manapun berada, kalau lapar dan diajak oleh teman atau saudara, kemudian ditraktir makan nasi goreng, selalu saja yang ada dihadapanku bukan nasi goreng. Walaupun di menunya sudah diberi embel-embel nasi goreng spesial pakai telur, dan lain sebagainya. Aku gak tertarik. Kenapa brow?! Karena itu nasi kecap brow! Mau makan di warung pinggir jalan, atau rumah makan di suatu mall ternama, yang namanya nasi goreng sudah diganti dengan fried rice, bagiku itu nasi dikecapin!

Itu yang membuatku gak begitu suka. Alasanku, karena nasi yang digoreng pakai minyak dengan bumbu bermacam-macam warna—juga rasa, setelah dihidangkan dihadapanku yang terasa oleh lidahku hanya rasa kecap doang. Gak lebih! Kalau hanya rasa kecap kenapa harus digoreng segala? Minyaknya kan bikin kolesterol! Kalau pingin aman, ambil saja nasi putih kemudian di taruh di piring—kucrutin saja pakai kecap. Setelah itu aduk nasi kecap itu sampai rata—jadi deh nasi kecap! Irit, gak usah beli minyak goreng segala.

Pernah suatu ketika, aku pesen bihun godog tanpa kecap. Sudah menunggu lumayan lama. Karena yang beli banyak--auto deh antri. Namun setelah tiba giliran menu itu selesai dihidangkan--bihun godog tanpa kecap, rasanya hambar gak karuan. Tuh, hanya kecap doang yang merasukimu....

Sebelum aku merantau ke luar kota, aku dulunya paling hobi makan nasi goreng. Itu benar-benar nasi goreng alamiah. Karena bumbu-bumbu racikannya tidak bercampur dengan bumbu penyedap masakan. Itu resep yang dibuat oleh almarhum ibuku. Kegemaranku makan nasi goreng buatan ibuku berlangsung hingga menjelang aku meninggalkan kota kelahiranku. Sejak orang yang melahirkanku itu berkalang tanah, kerinduanku dengan nasi gorengnya selalu saja merasukiku. Resep yang dulu sering dibuat oleh ibuku, aku intip rumusnya. Bagaikan deteltif cilik di cerita jadul, si Kimung, aku mencatatnya di dalam ingatanku. Dan aku sepertinya lebih tahu dari kakak dan adikku. Karena aku anak laki-laki yang sering disuruh untuk menghaluskan bumbu-bumbu itu saat beliau membuat nasi goreng untuk sarapan pagi. Cowet dan munthu—sepasang alat penghalus rempah-rempah untuk nasi goreng buatan ibuku. Ibarat pistol dan pelurunya. Karena salah satu hilang, gak ada gunanya.

Itu kenanganku. Jadi melo nih, baper. Brow, kamu mau tahu resepnya apa…??!!

Oke..., come on... follow me... gak usah sungkan-sungkan..

Brow, bahkan sejak kedua anakku masih kecil, hingga dewasa seperti saat ini, kalau malam menjelang tidur, mereka selalu pesan melalui ibunya. Mereka sudah ketagihan menu nasi goreng buatanku. Entah apa yang merasukinya...

“Bu, besok pagi sarapan bikin nasi goreng mbah Bedjo Putri..,” kata si Aa. Anak sulungku.

“Tuh, si Aa minta dibuatin nasi goreng buat sarapan..,” lanjut istriku menyampaikan pesan berantai dari anakku.

Kenapa anakku tidak langsung pesan ke aku? Kenapa melalui ibunya? Nah, kalian pasti kepo. Aku kan setelah waktu isya selalu ngetem di meja kerjaku. Bergulat dengan kata-kata. Sementara istriku sering nongkrong di depan TV, ngobrol dengan kedua anakku di lantai bawah. Otomatis kan, pesan itu akan disampaikan lewat ibunya.

“Oke. Nasinya ada kan?” tanyaku.

“Nasi sih banyak…,” istriku langsung memotongnya.

Nah, brow, kalau sudah teken kontrak seperti itu, aku harus memenuhi janjiku. Janji itu kan utang. Utang itu kudu dibayar. Aku gak mau berjanji, takut ditagih nantinya. Kalau orang-orang sukanya kan janji-janji melulu tapi lupa dengan janjinya. Atau utang sana-sini, lupa bayarnya.

Nasi goreng ala mbah Bedjo Putri. Aku pun memulai menyiapkan rempah-rempahnya. Bawang putih dua siung. Cabai merah besar dibelah perutnya, kukeluarkan biji-bijinya (Jangan pakai cabe-cabean lho, gak enak rasanya!). Sudah semua. Terus apa lagi? Garam secukupnya. Nah, sudah siap nih. Ketiga bumbu itu kucampur di cowet batu. Tanganku dengan lincah menggerus ketiga rempah-rempah itu sampai benar-benar halus. Nasi sudah aku siapkan, kira-kira aku takar untuk 4 orang banyaknya. Eh, brow... kamu mau juga? Nanti pesen aja kalau mau kubuatin...

Oh, iya. kudu bikin telor dadarnya dulu nih. Tadi sebelum mengulek rempah-rempah, aku sudah mencincang daun bawang. O iya benar. Tuh, ada di cawan. Malah sudah aku taburi garam secukupnya. Tinggal dicampur dengan dua butir telur ayam. Kemudian dikocok hingga rata, tau kan brow, setelah itu kudu memanaskan minyak goreng. Hmm, sreeeeeeeeeng…!! Jadi deh telur dadar ala martabak resepku. Tanpa campuran rempah-rempah. Kalau kalian mau coba yo monggo...

Nah, puncak pekerjaan utamaku tinggal yang satu ini. Intinya membuat nasi goreng mbah Bedjo Putri. Minyak bekas telur dadar aku tambah lagi, sedikit minyak yang masih baru. Setelah agak mendidih, satu butir telur ayam aku goreng dan dicampur dengan adonan rempah-rempah yang tadi sudah dihaluskan. Warna telur menjadi sedikit kemerahan, karena terpapar oleh warna cabai. Setelah merata, baru deh nasi yang ada di piring aku masukkan ke penggorengan semuanya. Ayo brow, aduk sampai merata, terus aduk terus. Jeng—jeng..!! Jadi tuh nasi goreng ala mbah Bedjo Putri. Higienis—jelas, karena tidak memakai bumbu penyedap rasa! Tentunya tidak ada rasa kecap yang menyertainya...

Itu brow, resep mujarab untuk Generasi Micin. Nasi goreng turun temurun. Bisa kalian buat untuk tujuh turunan. Tidak pakai bahan pengawet dan bahan kimia. Pasti berkasiat untuk anak cucumu....

Brow, kalau mau pesen nasi goreng, silakan menulis di sini...

1. ..............

2. ..............

3. ..............

4. dst

Besok aku mau pasang papan pengumuman di depan rumahku....

"Kamu puas membaca, beri tahu teman dan berilah komentar. Kamu tidak puas, boleh memberikan revisi di komentar..."

Terima kasih banyak....

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Saya suka nasi goreng pete

25 Oct
Balas

Mas haryono, kalo sya, tiap minggu pagi rutin buatkan anak, istri, cucu dan mantu nasi goreng, kata mereka Nasi Goreng Pak Guru Enak Gurih, kapan 2 , klo ke solok coba juga Nasi goreng p Guru ya mas Haryono

18 Jan
Balas

Saya daftar ya.. 1.piring nasgor mbah bejo putri.. Tes rasa duluuu.. Wk wk wk

26 Oct
Balas

Enak ya nasi goreng spesial...

24 Oct
Balas

Hehehe, kangen buatan almarhum ibuku, pak Suharno...

24 Oct

Bacaannya sangat bagus dan menarik,dan dapat juga menambah ilmu pengetahuan dan menambah wawasan bagi yang membacanya

29 Oct
Balas

Wih sangat menarik sekali nasi goreng nya jadi ingin memcoba dirumah saya dengan resep bapa ini

29 Oct
Balas



search

New Post