Hartini

Hartini adalah seorang guru IPA di SMPN 1 Cigombong, Kabupaten Bogor...

Selengkapnya
Navigasi Web
MERANGKUL LANGIT 2 (74)

MERANGKUL LANGIT 2 (74)

Bu Maryati

Pikirannya kusut, bagaikan benang yang tidak diketahui ujung pangkalnya. Entah apa yang harus dilakukan untuk membangun kembali piung-puing hatinya yang telah runtuh ditinggal belahan jiwanya. Sebagian jiwanya yang tertinggal lemah, tak sanggup untuk berdiri tegak.

Di tempat tidur dia membaringkan tubuhnya. Ditatapnya foto lelaki yang telah menemaninya selama 22 tahun itu dengan penuh kerinduan. Foto berpigura yang sengaja ditempel di dinding kamarnya.

“Mas, kenapa kamu tidak mengajakku? Mengapa kamu tega meninggalkan aku? Bukankah kamu dulu berjanji, tidak akan pernah meninggalkanku? Aku bingung, Mas. Menghadapi beban hidup yang terasa berat tanpa kehadiranmu.” Tatapannya mulai kabur, tertutup butiran-butiran halus yang keluar dari sudut-sudut matanya.

Suaminya semasa hidupnya adalah seorang penjaga toko grosir pakaian di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Menjadi penjaga toko yang lumayan ramai pembeli tersebut dua puluh tahun sudah dijalaninya. Penghasilannya cukup untuk menghidupi isteri dan ketiga anaknya. Apalagi majikannya sangat baik terhadap keluarganya. Pak Subhan menjadi orang kepercayaan majikannya. Dia sering keluar kota untuk urusan pembelian dan penjualan produk grosir yang ada di toko.

Semasa hidupnya, keluarga dapat hidup dengan layak, anak-anaknya mendapatkan pendidikan yang baik. Pak Subhan pulang seminggu sekali untuk berkumpul dengan keluarganya di Tasikmalaya. Sepeninggal suaminya, hidup terasa berat. Bu Maryati mulai mengasah keahliannya menjahit baju yang telah lama ditinggalkan untuk kebutuhan keluarganya.

Perasaan bersalah kadang datang, bila teringat tiga anaknya yang masih membutuhkan biaya dan perhatian darinya. Tapi penyakit asam lambung yang dideritanya sering datang tanpa diduga-duga. Kadang bila kambuh, bisa berhari-hari terkulai lemas di tempat tidur. Penyakit dari yang dideritanya bertahun-tahun ini sulit untuk dihilangkan.

Dido anak sulungnya sekarang sudah berusia 26 tahun, terpaksa harus membanting tulang, menjadi tulang punggung keluarganya. Rina dan Rini putri kembarnya yang berusia 19 tahun membutuhkan biaya yang banyak untuk kuliahnya. Sebenarnya setelah lulus SMA, mereka tidak ingin melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Mereka ingin membantu perekonomian keluarga, dengan menjadi pekerja pabrik konveksi milik perusahaan Korea tak jauh dari rumah. Tetapi, Dido bersikeras untuk membiayai mereka hingga menjadi sarjana. Dia tidak mau pengalaman putus bangku kuliah terjadi pada adik-adiknya. Dia ingin melihat adik-adiknya bisa hidup lebih layak dibandingkan dengan dirinya. Dia belum mau memikirkan urusan pribadinya walaupun sudah menginjak usia 26 tahun.

Jahitan baju tetangganya sudah hampir seminggu tidak disentuhnya. Tubuhnya masih lemah, kepalanya masih terasa sakit. Dia berharap besok tubuhnya sudah mulai membaik, sehingga jahitan yang menumpuk bisa diselesaikan secepatnya.

(BERSAMBUNG)

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Keren Bu ceritanya..lanjutkan

03 Apr
Balas

Terima kasih.... Bu Edit....

03 Apr

Perjuangan seorang ibu, cerita yang menyentuh semangat saya sebagai ibu untuk terus memberika yang terbaik buat anak-anak.. terima kasih ibu

06 Apr
Balas

Top markotop

03 Apr
Balas

terima kasih....Jeng Ela...

04 Apr

Terharu saya baca cerita ibu. Lanjutkan...

04 Apr
Balas

Terima kasih, Bu....

04 Apr



search

New Post