Afifah Haryanti

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

My Story

                                                             DRAMA  PASTEL

                                                           Oleh: Afifah Haryanti

            “Tip…top…tip…top…tip…!”

            Gawat! Ada yang datang. Buru-buru aku menyingkir ke sudut ruangan. Diam dan duduk dengan manis mungkin lebih aman bagiku sekarang. Dengan hati berdebar, aku menunggu. Bunyi langkah siapakah barusan?

            Ternyata Bu Aira. Aku  lega, berarti aman. Bu guru satu ini terkenal  baik. Lembut, penyayang dan pintar. Mungkin seluruh siswa SMP Al Mukminin menyukainya. Satu lagi, dia guru  yang berpenampilan sederhana, namun anggun.

            Bu Aira menarik kursi persis di hadapanku. Begitu duduk, dia langsung sibuk membaca. Kehadiranku tidak dia gubris sama sekali. Dia juga tidak menyentuh teh dan kue pastel yang terhidang di depannya. Ah, padahal pastel itu sungguh gurih.

            Selang lima menit kemudian, ruangan guru mulai ramai. Apalagi ketika Bu Rani masuk. Suaranya yang bak kicauan burung di pagi hari memenuhi ruangan. Dia langsung mencomot sebiji pastel sebelum pantatnya menyentuh kursi. Tangan kirinya meraih secangkir teh dan menyeruputnya sambil masih berdiri. Aku heran melihat sikapnya yang norak. Dengar-dengar dia juga judes dan paling hobby memberi banyak pe-er. Wajar kalau dia kurang disenangi oleh anak-anak.*****

            “Pastelnya enak, ya?” komentar Bu Rani.

            “Iya!” sambut Bu Laily.

            Kalau bikinan Bu Yati sih, jelas enak,” celetuk Bu Ratna.

            Rekan-rekanya sibuk makan dan berceloteh tentang pastel, Bu Aira tetap membaca. Sesekali dia melempar senyum.

            “Bu Aira! Ayo! Pastelnya enak lho,” ajak Bu Hera.

            “Terima kasih!”

            “Ah…orang sudah duluan. Iya, kan Bu Aira?” sindir Bu Rani.

            Aku gemas mendengar pertanyaan Bu Rani yang tidak berjawab.*****

            Tiba-tiba Aulia dan Firah masuk. Keduanya memberi hormat.

            “Ada apa dengan kalian?” tanya Bu Ratna.

            “Maaf bu, kami disuruh mengambil jatah kue pastel,  buat Kepala Sekolah,” ucap Firah.

            “Haaa?”

            Mereka berseru kaget dan serempak menoleh ke piring yang sudah licin. Mereka saling bersitatap. Tiba-tiba handphone milik Bu Hera berdering.

            “Bu Hera, Aulia dan Firah sudah di ruangan guru ya?”

            “Oh, iya…mereka di sini…,” jawab Bu Hera gelagapan.

            “Aku menyuruh mereka mengambil pastel dan teh untuk Pak Irwan. Tolong ditangani ya, Bu!”

            “Oh, baik…baik Bu,” ucap Bu Hera sambil menutup telepon.

            “Dari Bu Ismi ya? Dia ngomong apa?” tanya Bu Ratna.

            “Pastel! Dia minta pastel dan teh untuk  Pak Irwan.”

            “Lho, pastelnya kan sudah habis. Kenapa Bu Hera tidak terus-terang?” tanggap Bu Aira.

            “Iya…tapi, Bu…malu rasanya…”

            “Kok, malu?” tanya Bu Aira heran.

            “Bu Aira bagaimana sih? Jelas malulah. Jatah orang dimakan…” ketus Bu Rani.

            “Tapi…aku cuma makan 2 biji. Sesuai jatah kan?” sergah Bu Laily.

            “Aku juga cuma 2…,” timpal Bu Ratna.

            “Siapa juga yang melebihi jatah? Atau…”

            Bu Rani menggantung kalimatnya. Dia melirik Bu Aira. Aku deg-degan melihatnya. Jangan-jangan dia mencurigai Bu Aira. Bu Rani kan kurang menyukainya?

            “Waktu aku masuk tadi, Bu Aira sudah di sini kan?”

            “Iya, benar! Terus…?” tanya Bu Aira dengan mimik heran.

            “Lha, kami-kami kan sudah membuat pengakuan. Tinggal Bu Aira yang belum…”

            “Maksud Bu Rani…?” potong Bu Hera.

            “Yah…siapa tahu, Bu Aira bisa menjelaskan mengenai pastel-pastel yang hilang itu…”

            “Bu Rani menuduh Bu Aira makan jatahnya Pak Irwan? Keterlaluan…!”

            “Aku tidak bilang seperti itu lho, Bu Hera!”

“Tapi arahnya ke situ kan, Bu?” kata Bu Hera gusar.

            “Kok, ibu yang sewot? Bu Aira sendiri tidak membantah?”

            “Sudah! Tidak malu apa? Bertengkar gara-gara pastel!” lerai Bu Laily.

            “Bukan bertengkar Bu! Cuma heran, raib kemana  pastel-pastel itu?” bantah Bu Rani.

            “Coba lihat! Kok …ada satu sachet saos yang masih utuh ya?” seru Bu Ratna.

            “Nah, berarti ada yang makan pastel tapi tidak pakai saos. Yang tidak suka saos kan…Bu Aira…” ucap Bu Rani sepelan mungkin.

             “Astagfirullahaladzim!” desis Bu Aira sambil geleng-geleng kepala.

            “Maaf Bu, kami keluar dulu,” sela Aulia tiba-tiba.

            Kedua gadis remaja itu terbirit keluar. Drama pastel yang baru saja mereka tonton sungguh tidak lucu. Aku sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Padahal, sumpah! Aku menyaksikan pastel-pastel yang masuk ke dalam perut Bu Rani, bukan hanya 2 biji. Aku sendiri lupa menghitungnya. Mengenai saos yang masih utuh, itu karena aku. Sama sekali bukan karena Bu Aira. Tapi…aku tidak mungkin menceritakan yang sebenarnya.

            Dalam suasana yang masih tegang, Firah dan Aulia masuk kembali membawa sepiring pastel.

            “Dari siapa nih?” selidik Bu Rani.

            “Atas nama cinta kami kepada Bu Aira…kami…rela tidak jajan. Ini kami belikan, pengganti pastel yang hilang…”

            “Kalian? Mau jadi pahlawan untuk Bu Aira? Kalian kira sikap ini terpuji? Bukannya kurang ajar, ya?” teriak Bu Rani marah.

            “Cukup Bu Rani! Kelakuan kita yang kelewat batas. Tidak pantas dilakukan oleh seorang guru. Apalagi di depan anak didiknya. Tindakan Aulia dan Firah adalah tamparan keras untuk wajah kita semua. Lagian, aku sedang puasa. Jadi tuduhan ibu tidak berdasar!”

            Kata-kata Bu Aira cukup tegas dan keras. Aku senang mendengarnya. Tidak ada yang berani membantah, termasuk Bu Rani. Sementara itu Bu Hera segera menyuruh Aulia dan Firah mengantar pastel untuk Pak Irwan. Suasananya sunyi sejenak. Mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, terutama rasa bersalah dan malu kepada Bu Aira.

            “Aku tahu yang makan pastel tanpa saos!” seru Bu Rani tiba-tiba memecah keheningan.

            Semua kaget mendengarnya, tak terkecuali aku. Apalagi ketika dia memelototiku. Tatapannya kejam. Aku mengkeder. Apalagi ketika semua mata tertuju kepadaku. Aku bersiap lari saat Bu Rani mengambil ancang-ancang untuk menghantamku dengan sapu.

            “Sudahlah! Dia juga mahluk Allah. Lagian, dia makan cuma satu!” cegah Bu Aira.

            Kutatap wanita itu dengan tatapan penuh rasa terima kasih. Sungguh mulia hatinya. Dia membelaku, menghalalkan sebiji pastel yang kumakan. Padahal aku telah membuat dia terfitnah. Meski aku tidak bermaksud mencuri, tetap saja aku salah. Seharusnya dia marah kepadaku. Bu Aira memang guru sejati. Hari ini aku belajar banyak darinya. Terutama cinta yang dimilikinya. Cintanya yang bukan hanya untuk sesamanya. Ada porsi untuk mahluk sepertiku.

            Kutinggalkan ruang guru sambil mengeong dan mengibas-ngibaskan ekorku. Terima kasih Bu Aira!************

 

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

menarik Bun ceritanya,tapi kok penasaran...yang mengeong?????

19 Jul
Balas



search

New Post