Hasan Basri Zen

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web
Antara Hitam dan Putih

Antara Hitam dan Putih

Oleh : Hasan Basri Zen dan Marsa Tanzila Putri Nur Basri (Anakku)

Susu cokelat adalah satu-satunya hal baik yang dapat kumiliki hari ini. Map yang sedari tadi aku jadikan harapan tergeletak begitu saja di sampingku. Kemeja yang aku jaga agar tidak kusut sekarang sudah berubah menjadi tidak karuan. Senyum yang aku coba untuk pertahankan runtuh begitu saja, otot-otot di wajahku menyerah. Sama halnya denganku.

Aku menatap langit kelabu dengan penuh kebencian. Mengingatkanku alasan kenapa hari ini berakhir sama dengan hari-hari sebelumnya.

“Sedang mencari pekerjaan?” Aku terkejut dengan kedatangan orang yang sekarang mengambil alih tempat kosong di sampingku. Tangannya sibuk membuka map milikku, bibirnya menyinggungkan senyum. Yang aku artikan sebagai sebuah ejekan.

“Lancangnya kau!” Aku merampas map darinya. Menatap dirinya dengan tidak suka.

“Pantas saja ditolak. Pakaianmu kusut, wajahmu juga tidak ada senyum-senyumnya. Galak sih, siapa yang mau menerima?” katanya dengan nada bercanda.

Aku tidak membalas perkataannya dan lebih memilih untuk meminum kembali cokelat susu milikku.

“Ahh ... pahit sekali!”

Laki-laki di sebelahku ini tertawa. “Jelas saja pahit, kamu baru saja meminum teh hijau punyaku.”

Aku dengan cepat mengembalikan minumannya dan meminum susu cokelat milikku. Laki-laki itu terkekeh. Sedangkan aku masih tertunduk menutupi pipiku yang memanas.

“Maaf,” ucapku pelan dan malu-malu.

“Bagaimana bisa sampai salah?” tanyanya.

“Kemasannya sama.” Aku mendengus kesal. Jelas saja aku salah ambil. Kemasan yang digunakan sama persis. Ralat, keduanya ternyata dari kedai minuman yang sama. Padahal kedai minuman banyak tapi dia malah memilih kedai yang sama denganku. Jadi sulit dibedakan.

“Eh? Cokelat dan teh hijau jelas beda warna.” Ia menunjuk kedua minuman yang kemasannya transparan itu.

Aku merasakan mukaku memanas dengan perkataannya. “Jelas berbeda untuk orang normal sepertimu! Tidak dengan aku yang buta warna!” Napasku memburu, aku memang sedikit sensitif.

Laki-laki itu terdiam dan menatapku. Seulas senyum tipis muncul di wajahnya. Aku juga terdiam mencoba menstabilkan deru napasku.

“Jadi itu alasannya,” ucapnya pelan namun masih dapat aku dengar. Tiba-tiba saja laki-laki itu mengulurkan tangannya. Aku menatapnya bingung kemudian tersadar apa maksudnya.

“Chiffon”

“Pretzel”

Hening melanda kami setelah perkenalan singkat. Hening yang cukup nyaman bagiku. Aku menghabiskan cokelat susu yang tersisa dan Chiffon melakukan hal yang sama pada teh hijaunya. Beruntung dia tidak mempermasalahkan sedotannya yang bekas bibirku.

“Aku selalu bertanya-tanya bagaimana indahnya dunia penuh warna. Mereka yang dapat melihatnya pasti beruntung. Duniaku hanya sebatas hitam dan putih atau diantaranya,” kataku sambil melihat orang yang lalu-lalang di depanku.

“Aku bisa membuatmu merasakan indahnya warna,” tawarnya padaku.

Aku tertegun. Seorang laki-laki yang baru kukenal beberapa menit yang lalu seketika saja menawarkan sesuatu yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Ini bukan dunia para putri disney tinggal. Jangan-jangan ...

“Apa kamu Ibu Peri utusan dari mendiang mamaku?” tanyaku penasaran.

Ia tergelak sambil memegang perutnya. Padahal aku serius bertanya padanya. “Laki-laki mana ada yang jadi Ibu Peri sih?” tanyanya sambil tertawa.

“Ada kok. Buktinya Mimi Peri.” Aku menjawabnya dengan serius.

Ia terdiam mengangkat sebelah alisnya. “Mimi apa?”

“Err ... lupakan saja,” ucapku sambil mengibas-ngibas udara. Dan ada jeda yang cukup panjang.

“Kamu mau apa tidak?” tantangnya.

Rasanya tidak masuk akal, sungguh. Namun entah mengapa dalam tatapan yang ia berikan terdapat sebuah kepercayaan diri yang kuat. Membuat diriku mengangguk iya menerima tawarannya.

☻☻☻

“Maaf membuatmu menunggu.” Chiffon datang dengan terburu-buru. Penampilannya lebih berantakan dari sebelum ia pergi 30 menit yang lalu. Terlihat dari rambutnya yang semula seperti Adipati Dolken berubah menjadi wig yang selalu dipakai Sule. Tidak sungguhan. Hanya perumpamaan.

“Kau kelihatan sangat terburu-buru,” komentarku.

“Tidak ingin membuatmu menunggu, Pretzel,” jawabnya.

Ia menyuruhku untuk memejamkan mata. Aku sempat menolak karena takut ini hanya lelucon. Namun saat matanya menatapku dengan serius, aku tidak bisa berkata apa-apa selain menurutinya.

“Warna apa yang ingin kamu lihat?”

Aku berpikir sejenak. Warna yang sejak dulu ingin aku lihat adalah warna dari langit yang kelabu.

“Warna langit.”

Ia memintaku untuk mengulurkan tangan. Aku tidak tahu apa yang ia lakukan karena mataku tertutup. Aku terkesiap setelah merasakan tanganku basah tersiram air.

“Apa-apaan ini? Kenapa aku disiram?! Aku bukan tumbuhan milik mama!” Aku berteriak dengan mata terpejam. Menepis-nepis udara.

Chiffon menyuruhku untuk diam dan merasakan. Lalu terdengar suara ombak yang kuyakini berasal dari telepon genggam miliknya.

“Bagaimana rasanya?” tanyanya.

Aku mengeratkan pejamanku. “Aku merasa tenang dan damai,” jawabku.

“Sekarang bayangkan dalam pikiranmu seperti apa warna yang memberi rasa ketenangan dan kedamaian.”

“A-aku dapat melihatnya. Tenang, damai dan juga segar,” ucapku dalam kondisi terpejam. Aku tahu aku memang tidak dapat melihat warna itu secara langsung, namun aku bisa merasakannya dan dapat membayangkannya.

Aku perlahan membuka mataku dan menemukan Chiffon sedang tersenyum ke arahku. “Itu warna langit dan juga lautan Warna yang memberi ketenangan, kedamaian. Warna biru namanya.”

“Aku ingin tahu warna matamu itu apa,” kataku cukup antusias membuat Chiffon terkekeh, namun ia tetap mengangguk.

“Sama seperti sebelumnya. Pejamkan matamu itu.” Dan lagi-lagi aku mengikuti perintahnya. Tidak pernah terpikirkan olehku bertemu dengan laki-laki asing—yang sempat aku asumsikan sebagai Ibu Peri—dan membiarkan dirinya menjelajah dunia kelabuku.

Aku merasakan tanganku menggenggam sesuatu, cukup kasar. Chiffon membawa tanganku mendekati indera penciumanku. Tahu maksud dari gestur ini, aku menghirup dalam-dalam benda yang kugenggam ini. Seperti aku sedang menghirup aroma makanan. Serius sekali. Dan tidak dapat diganggu.

“Bagaimana?” tanyanya.

Bau yang cukup familiar bagi indera penciumanku. Bau nyaman yang selalu kudapatkan ketika lari pagi di sekitar taman. Bukan. Bukan bau jajanan pagi. Bau rumput yang segar dan menyejukkan.

“Kau memberiku rumput?” tanyaku sesaat aku membuka mata dan mendapati tanganku menggenggam penuh rumput.

Dia membuat wajah kesal yang pura-pura dan menyuruhku untuk memejamkan mata kembali. Yang dengan sangat terpaksa aku lakukan karena aku belum dapat gambaran utuh warna pada matanya itu.

“Sekarang bayangkan dirimu sedang berdiri di atas serumpun rumput dan dikelilingi dengan pohon-pohon rindang.”

Aku merasakan hawa sejuk yang menyelimutiku. Bau rumput yang bercampur dengan embun di pagi hari. Pohon-pohon yang seakan saling berbisik saat terpaan angin datang. Semua hal sederhana yang terlewatkan olehku.

Jelas saja terlewatkan, setiap pagi setelah lari yang menjadi incaranku adalah gerobak bubur ayam.

“A-aku merasa nyaman, tenang dan sejuk. Hampir sama dengan rasa yang dikeluarkan warna biru. Tetapi ada yang berbeda, mereka tidak sama.” Aku mulai dapat membayangkan seperti apa warna rumput dan pohon ini.

“Kamu sudah dapat melihatnya?” Chiffon bertanya padaku sambil menepuk pundakku. Membuat diriku seperti mendapat sengatan statis.

Aku mengangguk dengan antusias. Chiffon menyuruhku untuk membuka mata yang aku lakukan dengan perlahan.

Aku tidak menyangka sepasang mata milik Chiffon berada hanya sejengkal dariku. Tidak ada dari kami yang membuat jarak. Masih pada posisi sama aku menatap matanya lebih dalam. Mata yang semula bagiku hanya campuran antara hitam dan putih dan membosankan. Sekarang berubah.

Tidak berubah warna. Hanya saja aku merasakan perasaan sejuk, tenang, nyaman sekaligus tajam dari kedua mata kelabu di depanku ini. Aku tersenyum. Chiffon membalasnya.

“Hijau,” ujarku pelan tidak berniat untuk didengar. Namun Chiffon mendengarnya dan mengangguk.

Mata kami tidak lepas satu sama lain. Bahkan semakin tajam menatap satu sama lain. Jarak sejengkal itu entah kian lama seperti memendek. Pupil mata Chiffon kebalikannya, seperti lebih membesar.

Aku merasakan rasa ingin yang begitu besar saat mataku melihat mata Chiffon. Mencoba untuk mengabaikannya sedari tadi namun rasanya justru semakin besar. Saat matanya menunjukkan tidak ingin melepaskan, begitu pula aku. Jarak yang semulanya hanya kurasakan memendek kini nyata. Karena kedua dari kami saling mendekatkan wajah. Aku mengambil langkah berani untuk melepaskan rasa ingin yang begitu mendalam ini. Dan ...

Hatsyiiii

Lega sekali bisa melepasnya.

☻☻☻

Aku memainkan kesepuluh jariku. Tidak berani menatap wajah Chiffon karena malu. Aku memang sedang tidak enak badan dari kemarin. Flu lebih tepatnya. Dan beberapa menit yang lalu aku bersin persis di wajahnya dengan jarak kurang dari sejengkal.

Memalukan bukan?

Tepukan halus di pundakku membuat aku terkejut. Aku menoleh perlahan, seperti pada film-film horor. Namun aku tidak bertemu dengan sesosok muka seram. Hanya wajah Chiffon yang sedikit basah karena habis cuci muka.

Dengan tanggap aku menyodorkan tisu basah. Chiffon menatapku bingung kemudian mengambil sapu tangan dari kantung celana belakangnya.

Aku menatapnya sebal. Padahal tisu basahku itu lengkap dengan aroma parfum. Tapi malah ditolak mentah-mentah. Dasar laki-laki.

“Kenapa tidak bilang kalau sedang sakit?” tanya Chiffon.

“Kalau aku bilang juga tidak bisa buat sembuh, kan?” Aku menaikkan sebelah alisku menantang.

Chiffon hanya menatapku datar. “Memang. Tapi setidaknya aku menghindari wajahku jadi target bersinmu itu.”

Berani sekali dia bawa-bawa kesalahan orang lain. Memangnya dia pikir dia siapa? Netizen Indonesia?

“Kau sendiri menaruh wajah dekat-dekat denganku!” Aku mencoba membuat pembelaan diri. Ia hanya menggeleng dan meraih rambutku. Memerlihatkan sehelai daun di depan mukaku.

Bagus. Sekarang dia membuat pertunjukan sulap. Mengeluarkan sehelai daun pula, dasar tidak modal.

“Tadi aku ingin mengambil daun yang tersangkut di rambutmu,” jelasnya.

Oh ...

Chiffon tiba-tiba menatapku serius. Aku yang semulanya duduk bersandar mengganti posisi menjadi duduk tegak. Inikah momen dimana Chiffon mengungkapkan jati dirinya sebagai Ibu Peri.

“Kamu masih ingin merasakan warna lain, tidak?”

Aku menepuk jidatku dramatis. Kemudian mengangguk kepada Chiffon. Dan sekali lagi memejamkan mataku. Namun kali ini Chiffon memintaku untuk tidak membukanya tanpa seizin darinya.

Aku merasakan air mata menetes dari mataku yang tertutup. Untuk pertama kalinya aku tidak ingin merasakan warna. Warna merah ini begitu kuat dan membara. Sama seperti lidahku yang memanas setelah menggigit cabai.

“Pedas. Kuat. Membara. Panas,” ucapku mendeskripsikan bayangan warna merah dalam pikiranku. Aku dapat mendengar tawa Chiffon. Ini tidak lucu. Ini pedas.

“Sekarang aku minta ulurkan tanganmu,” pinta Chiffon. Aku menggeleng, takut jika nantinya disuruh menelan cabai lagi. Chiffon meminta maaf dan berjanji padaku jika ini bukan cabai seperti yang ada di pikiranku.

Dan dengan perlahan aku mengulurkan tangan yang disambut oleh genggaman Chiffon. Ia membawa tanganku sedikit berkelana. Hingga aku merasakan sebagian dari tanganku menghangat. Bukan. Ini bukan gombalan, tanganku memang terasa lebih hangat.

Hangat yang selalu kurasakan saat berjalan membeli es krim ke luar rumah. Hangat terpapar sinar matahari. “Hangat. Bahagia. Begitu mencolok. Seperti itu warna kuning dalam pikiranku.”

Chiffon hanya berdeham dan tetap tidak memberi intruksi membuka mata. “Sekarang kamu tahu bagaimana merah dan kuning. Jingga adalah warna diantaranya. Seperti abu-abu yang merupakan perpaduan hitam dan putih. Kamu bisa membayangkannya?” tanya Chiffon di akhir kalimat.

Aku membayangkan rasa kuat dan membara dari merah. Kemudian rasa hangat dan ceria dari kuning. Mereka melebur menjadi kesatuan warna yang indah. Jingga. Aku merasakannya. Warna yang kuat tetapi tidak membara, ada kehangatan di sana. Hangat yang sama seperti hangat matahari sore.

“Jadi sunset itu jingga?” tanyaku masih dalam mata tertutup. Aku mendengar jawaban iya dari Chiffon yang disusul dengan intruksi membuka mata.

Chiffon tersenyum padaku. “Masih ada banyak warna di dunia ini. Tapi waktu kita terbatas. Jadi warna apa yang ingin kamu lihat sekarang?”

Aku berpikir dengan serius. Menatap sepatuku yang sudah terlihat sangat usang, bahkan dengan warna kelabu saja aku bisa tahu sepatuku usang. Tapi wajar jika usang, sepatu ini yang selalu menemaniku menapaki jalan.

“Bagaimana dengan warna dataran?” Mataku langsung beralih dari sepatu menuju Chiffon. Ia tersenyum saat pertanyaan itu keluar dari mulutku.

“Pejamkan matamu.”

Aku meraba benda yang diberikan padaku. Licin dan halus. Seperti tekstur benda yang mengkilap dan mahal. Berbeda sekali dengan benda yang kuraba selanjutnya. Tidak beraturan dan kasar juga bisa dibentuk. Dan baunya seperti tanah basah.

“Kau yakin ini warna yang sama? Aku merasakan kemewahan di benda pertama namun tidak pada yang kedua. Yang kedua unsur bumi sekali, alami.”

Aku masih asik memegang kedua benda itu. Ini pertama kalinya aku diberikan dua benda untuk membayangkan satu warna. Dan kedua benda ini rasanya berbeda antara satu sama lain.

“Aku tidak bisa membayangkan sendiri kali ini,” ucapku frustasi. Chiffon menggenggam tanganku untuk berhenti.

“Pretzel, kamu tidak akan bisa membayangkannya jika kamu membangun sebuah alasan untuk kedua rasa ini bersatu. Yang kamu perlukan hanya pejamkan matamu, rasakan, dan biarkan.”

Aku meruntuhkan alasan yang menjadi dinding besar dua rasa ini bersatu. Seperti apa yang Chiffon katakan tadi, aku membiarkan kedua rasa menjadi satu membentuk bayangan warna coklat.

Aku merasakan alami dan kemewahan bersatu menciptakan rasa nyaman dan aman yang tidak pernah aku tahu sebelumnya. Coklat. Begini rasanya.

Aku membuka mataku tidak peduli apakah Chiffon sudah mengizinkannya apa belum. Dan sesaat mata ini menangkap sosok laki-laki yang duduk tenang di sampingku—menunggu setiap kali aku membayangkan satu persatu warna—aku tidak dapat menahan rasa bahagiaku. Aku memeluknya.

Aku selalu membenci bagaimana dunia ini terasa sangat membosankan di mataku. Iri terhadap mereka yang dapat tersenyum menikmati warna-warni dunia.

Dan saat ini aku merasa beruntung dapat merasakan bagaimana indahnya warna. Memang tidak secara nyata aku dapat melihatnya. Tapi bagiku hanya dengan merasakannya sudah cukup.

Chiffon. Orang asing yang rela menghabiskan waktunya memberiku jalan agar dapat merasakan ini semua.

“Kenapa kau melakukan ini?” tanyaku setelah sesi pelukan selesai.

“Aku ingin kamu bersyukur. Kekuranganmu bukan alasan untuk menyerah. Keindahan di muka bumi ini bukan hanya dari penglihatan tapi juga dari pikiran dan perasaan. Dan kebahagian itu kita sendiri yang menciptakan.”

Aku tertegun. Semua yang dikatakan oleh Chiffon seperti menamparku. Menyadarkanku betapa bodohnya aku selama ini. Diam menyelimuti kami.

Chiffon melirik jam tangannya. “Sudah hampir dua jam aku di sini. Aku rasa aku harus kembali.” Chiffon merapikan pakaiannya dan bersiap untuk pergi.

“Tunggu!” Chiffon yang belum sempat melangkah itu menoleh ke arahku.

“Kalau matamu warna hijau. Lalu apa warna mataku?” tanyaku. Pertanyaan yang sedari tadi hinggap di kepalaku ini.

Chiffon menatap mataku tajam. “Nyaman dan mewah. Mungkin coklat.”

Nyaman dan mewah. Mungkin coklat.

Ada yang aneh dari jawabannya itu. “Hey, tunggu!” panggilku sekali lagi. Chiffon yang sudah melangkah kembali berhenti dan menatapku dengan tatapan ‘apa lagi?’nya itu.

“Kau bilang mungkin. Apa maksudnya mungkin?”

Dia menghela napas sebelum menjawab, “Karena aku tidak bisa memastikannya. Aku hanya dapat merasakannya tidak melihatnya.”

☻☻☻

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar

Menarik sekali ceritanya Bapak

10 Jul
Balas

Bantu bimbing saya, ibu sutarti

10 Jul

Menarik sekali ceritanya Bapak. Salam untuk ananda, keren kolaborasi dengan ayahanda.

25 Jul
Balas

iya ibu dewi zulin

25 Jul

Kolaborasi aku dan Marsa Tanzila Putri Nur Basri

10 Jul
Balas

Anakku

10 Jul

Anakku

10 Jul



search

New Post