Tidak seperti biasanya, keberangkatan Widan ke Makassar kali ini terasa berat bagiku. Aku beraaat melepasnya. Aku masih menginginkan dia tinggal bersama kami. Kesehatan paksu belum pulih benar. Kalau ada Wildan, paling tidak ada yang kutemani dan ada yang bisa dimintai tolong membelikan obat. Tapi waktu liburnya sudah hampir habis.

Satu bulan Wildan berlibur bersama kami terasa sangat singkat. Kehadirannya membuat suasana rumah lebih hangat. Sebelum kedatangannya hanya ada aku dan Paksu bapaknya. Walau kami mengharapkan dia masih bersama kami, namun pendidikannya mengharuskan dia kembali ke kota tempatnya menimba ilmu dan mengejar impian untuk masa depanmya.

Bersama bapaknya, aku mengantar Widan sampai depan rumah. Pelan-pelan motornya bergerak maju setelah salim dan mengucap salam kepada kami. Beberapa meter ke depan, dia mulai melaju. Aku terus mengikuti dengan pandangan sampai dia terlindung di balik pohon-pohon yang memagari sisi gerbang kompleks. Mataku terasa sembap. Ada sesuatu yang terasa hangat mengalir di sudut mataku. Walau berat, aku harus ikhlas.

Bersambung