Hasrida Nengleli

Belum menuliskan informasi profilenya.

Selengkapnya
Navigasi Web

Sendu Mengusik Jiwaku ke Masa Lalu (Part 33)

Tantangan Hari ke-86

#TantanganGurusiana

. . .

Ayah, Aan, dan Fauzi, sibuk menata buah yang baru di beli Aan. Aku senang, ayah penuh perhatian di saat acara penting dalam hidupku. begitu juga dengan ibu, Fauzi dan Aan. “Kak Veny, ini buahnya sudah selesai kami susun, kita taruh di sini saja ya?” suara Aan terdengar meminta pendapatku untuk tataan buahnya. “Iya, sebentar kakak lihat dulu.” Aku datangi Aan, ayah, dan Fauzi yang masih berdiri di samping meja makan. “Ok, sudah mantap, sudah rapi dan sudah tepat pengaturannya.” Komentarku atas kerja mereka bertiga.

“Siapa yang punya ide ini?” tanyaku. “Tentu saja kami mengikuti ide ayah.” Jawab Fauzi sambil memandang wajah ayah yang terlihat senyum bahagia. “Terima kasih ayah, ternyata ayah punya jiwa seni yang luar biasa dalam menata susunan buah ini.” Aku memuji ayah sambil bersandar di punggung ayah. “Wah, kakak, sudah mau menikahpun masih suka bermanja dengan ayah.” Fauzi agak cemburu memandangi aku dan ayah terlihat kompak. “Iya, benar, kak. Aku dukung kakak masih bermanja dengan ayah, ntar kalau sudah menikah bermanjanya tentu dengan suami.” Aan membela aku dan ayah yang membuat Fauzi semakin bermuka masam. Aku tersenyum saja melihat perdebatan itu. Yang terasa olehku, kembali hari ini kebahagian yang aku rasakan di tengah-tengah mereka. “Alhamdulillah ya Allah.” Ucapku dalam hati.

Dari luar sana terdengar klatson mobil masuk ke pekarangan rumah. Ada beberapa mobil yang masuk. Aku yakin itu adalah rombongan Bang Darman dan keluarganya. Aku bergegas lari kedepan cermin yang berada di kamarku. Aku rapikan hijab dan pakaian yang aku kenakan. Aku lihat keserasian bedak makeup yang aku gunakan. “waduh, kenapa aku masih terasa salah tingkah.” Aku masih saja mematut-matut bajuku yang tidak ada masalah. “Aku akan ke luar kamar kalau nanti ayah atau ibu sudah memanggilku untuk keluar. Sementara aku berdiam diri dulu di kamar.” Bisik hatiku. Hal itu aku putuskan sendiri tanpa beri tahu ayah atau ibu. Tanpa ada aba-aba, terlihat olehku Ayah langsung ke ruang tamu. Aan dan Fauzi langsung ke halaman menyambut kedatangan keluarga Bang Darman. Menyusul ibu dan mama yang sudah menunggu di halaman depan pintu rumah.

Dari jendela kamar, aku melihat mereka ke luar dari mobil. Aku lihat ada sekita lima belas orang yang datang mengiringi Bang Darman. Tapi aku belum melihat Bang Darman. Di mana Bang Darman? Pikiran konyolku mulai nakal karena penasaran. Kemarin katanya akan datang tapi kenapa hari ini belum terlihat jua. “Sialan, jangan-jangan aku di kerjain Bang Darman.” Bisik hatiku yang berkecamuk karena kesal. Oh, ternyata masih ada satu mobil lagi yang datang. Aku amati siapa yang keluar dari mobil itu, wah, ternyata Bang Darman. Rasa kesalku mulai pupus. Wajahku mulai berubah. Tetapi tetap saja rasa grogi belum bisa aku kendalikan. Terlihat olehku adiku Fauzi menyambut kedatangan Bang Darman dan mengajak Bang Darman masuk.

Dari dalam kamar terdengar olehku cerita ringan diantara mereka untuk saling kenal satu dengan yang lainnya. Adik-adiku, ibu dan mama menghidangkan makanan kecil dan buah-buahan. Aku dengar dari salah seorang juru bicara dari keluarga Bang Darman membuka acara yang berhadapan langsung dengan ayahku. Arah pembicaraannya yaitu ingin melamar aku untuk pendamping hidup Bang Darman. Pembicaraan berjalan santai namun tidak bertele-tele. Sehingga kata sepakatpun didapat. Ayah mengajak seluruh tamu makan siang. Ibu memanggilku. Barulah aku keluar dari kamar. Aku lihat semua sudah makan. Ketika aku keluar kamar, seluruh mata terarah padaku. “Ini, veny, ya?” tanya salah seorang keluarga Bang Darman. Aku anggukakan kepala sambil menyalami beliau. “Saya Iza, kakaknya Darman. Sewaktu kami datang kesini Dik Veny belum pulang kerja,” katanya menjelaskan. “Oh, Iya, Kak.” Aku hanya menjawab singkat. Rasa grogi masih belum bisa aku kendalikan secara maksimal. Tapi aku harus bisa kenali mereka satu persatu. Kalau nanti aku menikah dengan Bang Darman, tentu mereka juga menjadi keluargaku. Setelah selesai makan siang, satu persatu mereka aku salami. Sambil juru bicara memperkenalkan mereka satu persatu padaku. Acara siang ini berakhir juga. Mereka tanpa senang atas sambutan kami. Tak lupa kami bekali mereka makananan yang sudah kami siapkan untuk mereka bawa pulang. Aku dan Bang Darman tak sempat bercerita banyak. Tapi aku yakin setelah ini pastilah Bang Darman akan telepon aku. Keluarga Bang Darman berpamitan pada keluarga kami. Kamipun melepas mereka dengan hati yang bersih dan muka yang jernih.

-BERSAMBUNG-

DISCLAIMER
Konten pada website ini merupakan konten yang di tulis oleh user. Tanggung jawab isi adalah sepenuhnya oleh user/penulis. Pihak pengelola web tidak memiliki tanggung jawab apapun atas hal hal yang dapat ditimbulkan dari penerbitan artikel di website ini, namun setiap orang bisa mengirimkan surat aduan yang akan ditindak lanjuti oleh pengelola sebaik mungkin. Pengelola website berhak untuk membatalkan penayangan artikel, penghapusan artikel hingga penonaktifan akun penulis bila terdapat konten yang tidak seharusnya ditayangkan di web ini.

Laporkan Penyalahgunaan

Komentar




search

New Post